47.

127 41 5
                                    

"Ya, laporan terkini bahwa hingga hari ini, SMA Negeri Dharma masih belum memiliki kegiatan belajar mengajar hingga seminggu ke depan demi menetralkan situasi. Dan di belakang saya sekarang, adalah tempat kejadian di mana seorang siswa teladan kelas 12 inisial HG, meninggal dunia dengan luka tusuk di bagian perut kiri bawah. Di sini, saya akan coba untuk mengobrol dengan salah satu warga setempat yang menyaksikan kejadian tawuran—"

Jakun Dewo bergerak. Matanya terus menonton berita televisi yang ada di kantor polisi sembari menunggu proses bebasnya. Belokan gang belakang sekolah itu kini sudah bersih dari terakhir kali Dewo ingat. Namun, garis putih itu masih ada. Menandakan ada seseorang yang mati di tempat itu, membuat Dewo teringat kembali rasa sakitnya.

Mengenakan seragam sekolah yang lima hari lalu dipakainya tawuran, Dewo menghela berat. Bibirnya kering. Terlihat lebih kurus karena napsu makannya hilang beberapa hari ini. Ditambah, makanan di dalam sel terasa hambar. Dewo sempat berpikir kalau lidahnya bermasalah.

"Ini barang-barangmu."

Dewo menoleh. Menerima sekantong plastik berisi barang-barangnya dari petugas.

"Gips itu nggak bisa lepas darimu, jadi sekalian biar kamu bawa pulang."

Dewo mengangguk berterima kasih.

"Silahkan pulang. BAP-mu sudah proses. Pembebasanmu ditanggung orangtua saudara Andre."

"Soal Bimo ...."

"Dia diproses hukum karena terbukti bersalah tentang kematian saudara Idang. Tiga hari lalu Bimo sadar dari koma. Karena gipsmu itu, dia sempat mengalami gegar otak ringan."

Perasaan lega sedikit dirasakan Dewo yang lagi-lagi mengangguk. Dia berdiri. Menjabat tangan petugas tadi untuk pamit pulang. Namun, satu tepukan diberikan oleh petugas tadi hingga mengurungkan niat Dewo untuk pergi.

"Jangan lagi tawuran. Namamu dan Bimo sudah terkenal di sini. Kalau sampai kamu masuk sel lagi, saya pastikan tidak ada yang bisa buat kamu bebas, mau bersalah atau pun tidak statusmu besok. Kamu paham?"

"Paham."

"Oke. Hati-hati kamu pulang."

Petugas itu meninggalkan Dewo sendirian di lobi kantor. Sesaat Dewo menatap berita di televisi tadi yang masih membahas tawuran lima hari lalu. Dewo juga menyempatkan diri untuk melirik lorong kecil tempatnya lima hari ini sering melamun di dalam sel. Dingin, sekaligus kesepian.

Memeriksa kantong plastik di genggamannya. Dewo mengambil HP dan membuka pesan. Sejak semua barang-barangnya disita, HP itu tidak lagi memiliki passcode.

Dinar
Gue di depan

Dewo membuang napas lega. Mengantongi HP dan dompetnya ke saku celana abu-abu lusuh yang dipakai Dewo sekarang. Lalu Dewo melangkah keluar kantor polisi. Sesaat termangu mengamati gips yang dibawanya menggunakan kantong plastik. Gips itu kotor, rusak dan menaruh kenangan pahit tentang Dewo yang memukul Bimo secara membabi buta. Dewo mendekati tong sampah. Mengusap sekalimat idiom yang dituliskan Dinar saat itu sebelum membuang gips tersebut ke tong sampah.

Beberapa detik Dewo memandanginya kemudian menghela berat. Berharap semuanya berakhir di titik sekarang. Semua rasa pahit yang Dewo telan dan kenangan buruk yang selalu hinggap di mimpi malamnya. Dewo membuang itu semua ke tong sampah, lalu pergi dari kantor polisi.

Melangkah pelan tanpa peduli pandangan orang lain yang lewat, Dewo meneguhkan hati untuk menghadapi semuanya. Melewati gerbang, langkah Dewo mulai ditemani Dinar yang tersenyum manis di samping kirinya. Berikut Faisal. Dewo ikut tersenyum tipis dengan wajah kuyu kurang tidur. Tangannya digenggam Dinar erat. Sementara seseorang merangkul pundak Dewo membuatnya menoleh ke sisi kanan. Andre dan Marvin ikut berjalan bersama. Mereka berlima lalu pergi dengan hati kuat.

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang