end.

377 55 22
                                    

Derum mesin motor sport Dewo menggema di depan bengkel Arman. Menyita perhatian si pemilik bengkel yang langsung berdiri dan membersihkan kedua tangan dengan handuk kecil. Dewo memarkir motornya di depan bengkel kemudian mendekati Arman. Hari ini Minggu, sudah lama sekali Dewo tidak pernah menyambangi bengkel tersebut.

"Apa kabar?" sapa Arman lebih dulu, Dewo mengangguk tanpa ekspresi.

Saling berjabat tangan dan melempar pelukan singkat.

"Sorry, gue masih di Hongkong waktu Idang pergi, Wo. Gue nyusul ke makam beberapa hari habis itu."

"It's oke." bisik Dewo tersenyum singkat.

Mereka lalu pergi ke belakang bengkel. Duduk di kursi teras rumah Arman yang di mejanya sudah ada beberapa camilan dan gorengan. Arman masuk rumah lebih dulu sementara Dewo sudah duduk. Mengirim sebuah pap foto ke akun Instagram Dinar jika dirinya sudah sampai di bengkel.

"Gimana? Kayaknya bengkel gue kedatangan teknisi baru setelah acara lulus?"

Dewo tersenyum tipis. "Gue cuma main."

"Nggak ada niat ngebengkel, Wo? Yah, sayang banget, tangan emas lo soalnya berguna di bengkel gue."

"Tarif gue mahal."

Arman tersenyum miring. "Berapa pun juga gue bayar, bangsat!"

Mereka berdua lalu terkekeh.

Dewo mengusap dagu sekilas. Menatap bagian dalam bengkel Arman yang kini dihuni beberapa motor sport sekaligus teknisinya masing-masing. Hatinya berdesir. Kecintaannya pada motor sport masih besar. Namun, Dewo sadar tidak bisa berkutat pada apa yang dicintainya untuk melepas masa depannya yang berharga.

"Ada hal yang pengen gue capai, Man."

"Jadi anak rantau lo?" tebak Arman tepat sasaran.

"Menurut lo bagus?" Dewo menoleh. Menatap wajah Arman yang mengernyit bingung.

"Kemana? Gue kira dengan adanya adek tiri, lo masih menetap di sini."

"Gue juga masih mikir."

"Umur adek lo riskan untuk lo tinggal sendiri, Wo—"

Kalimat Arman terjeda sesaat melihat Dewo menatapnya begitu serius. Cowok itu mengedikkan dagu bertanya. Berpikir sejenak sebelum menunjuk dirinya sendiri setelah sedikit-sedikit paham apa yang ada di pikiran Dewo.

Dewo mengangguk kecil.

"Wah, gila lo!" cibir Arman setelah benar-benar menangkap apa maksud Dewo.

"Lo nggak serius, 'kan??" Arman melotot sementara Dewo tersenyum tipis.

"Jadi pertimbangan."

"Anjing, Wo, Wo .... seumur-umur gue nggak pernah punya adek. Lo beneran gila, sinting lo, nggak waras!"

"Gue minta tolong, Man," ucap Dewo lagi, melempar tatap serius untuk kesekian kalinya sampai membuat Arman gemas.

"Nggak!"

"Man."

"Anjing!"

Senyum Dewo terbit melihat Arman tidak punya pilihan berkata tidak ke Dewo lagi.

"Nyengir lo?!"

Dewo menghela, lalu mengangguk sedikit lega. "Gue bakalan pergi berdua Andre. Peruntungan kita kecil, tapi nggak ada salahnya nyoba."

"Lagian tau peruntungan kecil ngapain sih, Wo, nyoba-nyoba??"

"Gue mau sembuh total, Man."

Kini, giliran Arman sudah tidak bisa membantah lagi. Cowok itu mengamati Dewo yang menatap sendu ke arah tak tentu. Arman menghela. Jika dirinya berada di posisi Dewo kemarin-kemarin, mungkin Arman akan melakukan hal sama. Pergi sementara dari kota yang begitu banyak menciptakan luka.

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang