06.

189 47 9
                                    

Lagu Thank You dari Dido mengalun pelan, mengisi kesunyian kamar Dewo yang malam itu sengaja dimatikan semua lampunya. Hanya bagian wajah Dewo yang tersinari lampu dari layar HP. Kegiatannya malam itu sama dengan tiga malam kemarin, masih seputar mengecek sosial media. Jauh dari jadwal tongkrongan. Tidak ada kesibukan sama sekali karena skorsing dari Bu Fitri. Baru besok pagi Dewo bisa berangkat sekolah.

Lama scroll. Menemukan berbagai hal menarik sampai beberapa kabar miring soal tawuran, Dewo terhenyak sebentar melihat akun sosial media Dipta baru saja memposting cerita.

Sebelah alis Dewo naik. Jempolnya menekan layar supaya storygram Dipta tertahan.

"Pantes," gumamnya lirih lalu beralih membuka pesan.

Dewo mengecek lagi. Pesan yang dikirimnya ke Dinar dua jam lalu belum mendapat balasan. Ternyata jawabannya ada di storygram Dipta. Namun, tak lama Dewo mematikan layar—berniatan tidur. HPnya justru menyala terang. Satu pesan masuk dari Dinar.

Gausah. Terserah lo mau apa

Lagi dimana? (need to send)

Dewo menimbang. Posisinya yang sejak tadi rebahan, berganti duduk. Pertanyaan di kolom balasan yang baru diketik Dewo terpaksa ia hapus. Bukan lagi ranahnya untuk penasaran. Dewo memutuskan menghubungi Dinar meski hatinya tahu Dinar tidak akan menjawabnya.

"Dah gue bilang nggak usah!"

Helaan napas keluar begitu saja. Dewo kaget begitu sambungan diangkat, justru suara Dinar terdengar seperti orang ingin ribut.

"Baru pulang?" tanya Dewo. Badannya sedikit condong, berusaha meraih speaker samping tempat tidurnya untuk memelankan volume lagu.

"Pulang apaan? Perasaan gue nggak kemana-mana."

"Story Dipta."

Hening menjadi jeda. Dewo menimbang, cewek yang tengah ditelponnya saat ini pasti antara sedang shock atau bingung.

"Demi apa muka gue masuk story Dipta," bisik Dinar yang lebih ke penyataan.

Dewo kembali menghela napas.

"Maaf soal sore itu," ucap Dewo mengalihkan topik.

"Terserah, Wo. Jangan lagi lo libatin gue soal tawuran. Terserah lo mau apa, gue nggak peduli. Tiga hari gue anggurin SMS lo, masih aja lo ganggu gue."

Senyum kecut tercipta di wajah Dewo. "Kalo gue nggak mau?"

"Nggak mau apa, Sadewo??"

"Berhenti libatin lo soal tawuran."

"Ya, terus? Udah, ya, gue nyesel karna sempet laporan ke Bu Fitri waktu itu. Bener yang dibilang Dipta, tawuran bukan urusan gue, jadi jangan libatin gue lagi."

Sambungan ditutup tanpa permisi. Membuat Dewo justru makin punya keinginan mengganggu Dinar. Ia kembali menghubungi nomor itu, namun tidak ada jawaban. Kedua kalinya, juga tidak ada jawaban.

Dewo sampai berdiri, berjalan bolak-balik dari samping tempat tidur ke pintu kamar. Terus mencoba menghubungi Dinar yang tak kunjung mau mengangkat lagi.

"Sial!"

Dewo memukul saklar lampu kamar sampai lampu itu menyala. Kini kamar Dewo yang berantakan—khas kamar remaja cowok—terlihat jelas.

Plis. Berenti tlpn

Hanya sepenggal pesan itu yang diterima Dewo setelah hampir tujuh kali ia terus menghubungi Dinar. Dewo mendengkus, senyum kecut kembali menghiasi wajah. HP dengan wallpaper default itu dilempar ke atas tempat tidur. Dewo memilih keluar kamar. Pergi ke garasinya dan menyibak selimut plastik penutup motor.

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang