Ini hari pertama Dewo berangkat sekolah dengan tangan kanan dibebat gips dan memakai gendongan. Dewo enggan banyak menyita perhatian, dirinya memilih mengenakan jaket jeans belel tapi bagian lengan kanannya bebas.
Pergi ke gedung IPA untuk kedua kalinya di jam istirahat, Dewo mengobrol dengan Andre dan Dipta. Lama Dewo tidak ikut nongkrong, hanya berkutat dengan TV 60 inch dan Idang, Dewo merindukan interaksi akrab sahabat-sahabatnya. Meski banyak pasang mata masih menatap penasaran ke tangan Dewo, seakan-akan jaket jeans belel yang dikenakannya tak mampu menutupi kelemahan Dewo saat ini.
"Kantin," ajak Dipta tiba-tiba merangkul pundak Dewo.
"Hem."
"Giliran tadi gue yang ngajakin kantin aja pada gagu lo pada!" omel Inka kesal.
Memang, sebelum bel istirahat berbunyi pun, Dewo sudah mangkir dari kelas dan pergi ke gedung IPA. Berdiri bak manekin model pakaian musim panas di balkon depan kelas Andre, membuat decak kagum dari banyak siswi yang melihatnya lewat jendela. Mereka belum sempat ke kantin. Inka yang sejak tadi meminta bahkan merengek ke Andre untuk meneruskan obrolan di kantin, justru tak menggubris. Para cowok itu seperti asik dengan dunia mereka.
Andre merangkul pundak Inka dan menyentil singkat jidat cewek itu. "Ngomel."
"Lepas, nggak?!" tegas Inka galak. Andre menuruti sambil senyum.
Dewo sendiri lebih dulu jalan keluar kelas dengan Dipta masih merangkul pundaknya. Mereka berempat jalan di sepanjang balkon seperti model catwalk dengan sekumpulan para pengamat fashion di kanan-kiri.
"Sebenernya motor gue perlu servis, Wo."
"Bawa ke Arman."
"Maunya lo yang kerjain," goda Dipta membuat Dewo berdecak.
Dipta terkekeh singkat ketika berikutnya ia mendapat lirikan sengit dari Dewo, sambil cowok itu mengangkat sedikit tangan kanannya.
Menuruni anak tangga. Dewo masih dirangkul oleh Dipta. Mereka berempat turun dari gedung IPA menuju kantin, tapi baru di pertengahan anak tangga, langkah Dewo perlahan berhenti melihat seseorang tengah berdiri di bawah sana. Terengah, kelihatan kalut.
"Ngapain berhenti tengah jalan??"
Dewo mengerjap sadar begitu Inka menyuruhnya minggir sedikit memberi jalan. Cewek dengan kardigan rajut warna hitam itu lebih dulu turun. Merangkul pundak Dinar yang jadi alasan kenapa Dewo sampai berhenti sesaat di tengah anak tangga.
Rangkulan Dipta mengerat membuat Dewo kini benar-benar sadar. Dia melirik Dipta sesaat sebelum melanjutkan turun.
"Mana antek-antek lo?" tanya Inka pada Dinar.
"Mereka nggak ikut."
"Nggak liat Idang sama Marvin juga?"
Dinar menggeleng.
Sekilas Dewo menaikkan sebelah alis ketika dilirik Dinar. Ini bukan saat yang tepat bagi mereka berdua bisa saling menghapus jarak apalagi terlihat akrab seperti isi DM biasanya. Dewo memilih pergi lebih dulu ke kantin dengan Dipta yang masih merangkulnya. Entah kenapa, sahabatnya itu banyak diam di depan Dinar.
"Gips lo buat adu pukul sama Bimo kayaknya berguna, Wo," celetuk Dipta tiba-tiba setelah mereka sampai kantin. Duduk di meja andalan Dewo yang biasa digunakan para begundal.
Dewo meneliti gips tangannya. "Ngotorin tangan gue."
"Keras," kata Dipta mengecek gips tersebut. "Sorry, Wo."
Sebelah alis Dewo naik. Ekspresi bertanya terlihat. Dewo mengamati Dipta yang masih terus menatap gips tangannya. Sesekali menyentuh gips tersebut. Lalu, saat Dinar, Inka dan Andre menyusul, Dipta bertingkah seperti barusan tidak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us [ complete story ]
Teen FictionDipublish 31 Juli 2022 • ddr • tamat 2 Maret 2023 Terjebak dalam sebuah tawuran antar pelajar, belum pernah terbayangkan di hidup Dinar yang setahun lagi lulus SMA. Pengalaman buruk yang membawanya berurusan dengan dua cowok populer-yang bahkan sebi...