39.

127 37 13
                                    

Berada di rumah Idang, berteman televisi dengan siaran bola, Dewo menikmati hari tenang dia merepoti sahabatnya hampir dua hari ini ketika Faisal ada acara kunjungan di pabrik-pabrik luar kota. Sambil nyemil kacang disko oleh-oleh kedua orang tua Idang dari Bali, Dewo sampai lupa dirinya sudah duduk di sofa empuk ruang TV hampir tiga jam pemuh. Sepi, karena orang tua Idang sendiri terlalu sibuk bekerja. Bisa dikatakan nomaden. Rumah hanya untuk tempat mampir sejenak, menengok anak, sementara hidupnya lebih banyak tinggal di hotel, bertemu kolega-kolega besar dan orang penting lainnya. Salah satu alasan kenapa Idang bisa lebih dekat dengan Dewo dibandingkan yang lain, karena mereka sama. Jauh dari kasih sayang orang tua dan hanya ada uang sebagai penyambung komunikasi, itu pun tidak lagi didapatkan Dewo. Kini dia mandiri bahkan untuk menghidupi Faisal sekali pun.

Dewo mengerjap. Saluran bola di televisi tiba-tiba berganti ke berita. Dia pun menoleh.

"Apa? TV-TV gue, terserah gue lah!" ucap Idang songong. Ikut gabung di sofa ruang televisi setelah tadi cowok itu sempat menemui tamu.

Dewo menyalakan layar HP di atas pahanya. Pukul 4 sore.

"Mana Jihan?"

"Dia ke sini karna kangen sama gue, bukan niat nengokin elo!" cibir Idang.

"Oh, itu?" Dewo mengedikkan dagu ke bungkusan parsel buah yang tadi sempat ditaruh Idang ke atas meja.

"Gue yang suruh Jihan mampir toko buah."

Tidak ada tanggapan. Idang melirik. Kedua alis Dewo naik menggoda. Dia menahan senyum, membuat Idang makin ngotot.

"Demi Tuhan gue yang suruh Jihan mampir toko buah! Lo ya, ngadi-ngadi emang. Nggak cuma tangan lo nih yang patah sampe lo berani rebut cewek gue, jakun lo pindah ubun-ubun besok!"

Dewo terkekeh. Mengangguk beberapa kali lalu beranjak dari sofa. Tubuhnya butuh peregangan. Dewo pergi ke sudut ruang televisi rumah Idang yang terdapat lemari besar berisi tas-tas branded. Ada cermin besar di sampingnya yang kini digunakan Dewo untuk memeriksa perkembangan tubuhnya.

Gips itu terpasang rapi. Membungkus sebagian tangan Dewo. Ketika dua hari lalu dirinya dilarikan ke UGD terdekat, dokter langsung menyarankan untuk rontgen. Hasilnya tentu bisa diprediksi Dewo ketika tangannya saat itu mulai bengkak dan membiru. Tulang pengumpil Dewo patah, tulang hasta dan sebagian pergelangannya retak. Tidak heran itu terjadi karena Dewo jatuh dari ketinggian dengan tangan kanannya saat itu jadi yang pertama menyentuh lantai.

Berpose bak binaragawan, Dewo terus bercermin sambil meneliti gips tangan kanannya. Sangat tidak keren. Gips itu juga yang membuat Dewo harus cuti mengendari motor sport.

"Nggak ada keren-kerennya lo pose begitu," komentar Idang setelah melempari Dewo dengan kacang disko.

Dewo menoleh. "Otot gue masih ada."

"Cih! Mana muka lo yang kemaren mau nangis di UGD?" Idang memarodikan Dewo yang saat itu kesakitan. "Sakit, Dang. Tangan gue ...."

Dewo mendengkus. Pergi mengambil satu bantal sofa dan melemparnya ke Idang. Mereka sama-sama terkekeh. Duduk di sofa lagi sambil menonton siaran bola.

Sebenarnya Dewo bosan. Ingin pergi ke tempat tongkrongannya dengan anak-anak lain dan bertukar informasi seputar hari itu, tapi kondisi tidak membenarkan keinginan Dewo. Dirinya yang sudah merepotkan Idang selama dua hari ini saja, sudah membuat Dewo tak enak hati. Kalau harus pergi keluar, dengan gips membebat tangan kanannya, Dewo takut Idang merasa beban.

"Orang tua lo nggak balik?" tanya Dewo membuat Idang menggumam.

Jemari cowok itu terangkat seperti menghitung sesuatu.

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang