"Kamu ini mikir dulu tidak sih sebelum bertindak?" Ratih kembali melanjutkan omelannya ketika ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu.
Sungguh ia merasa kesal dan gemas sekali pada Jungkook. Kalau saja tidak ingat jika Jungkook merupakan anak semata wayangnya, sudah dipastikan wajah tampan Jungkook akan habis dicakar atau bahkan dikuliti olehnya.
Lagi pula Ratih heran, tidak ada angin tidak ada hujan, bisa-bisanya putranya itu menikah lagi. Apa kurangnya Lisa coba? Dasar membuat malu saja!
"Kamu itu ingat tidak sih, kamu bisa jadi seperti sekarang ini berkat siapa?" Emosinya masih menggebu-gebu, ia menatap nyalang pada sang putra yang masih diam membisu. "Kamu ingat tidak betapa susahnya dulu kamu berjuang untuk mendapatkan Lisa?"
Jungkook menunduk, ingatannya melayang pada saat dulu ia mendekati Lisa.
Lisa merupakan gadis yang sangat cantik dan menarik, tak heran awal bertemu dengannya saja, Jungkook sudah langsung begitu terpikat.
Memang bukan hal mudah untuk mendapatkan hati Lisa. Banyaknya laki-laki yang mencoba untuk mendekati Lisa kala itu menjadi salah satu faktor kesulitan untuk Jungkook. Apalagi laki-laki yang mendekati Lisa merupakan laki-laki tampan, populer dan kaya raya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan Jungkook yang hanya anak seorang petani di desa kecil. Bisa melanjutkan pendidikan di Universitas itu saja karena biasiswa.
Sempat merasa minder karena status sosial yang berbeda, tapi Jungkook meyakinkan dirinya untuk tetap memperjuangkan cintanya pada Lisa. Apalagi ketika ia sudah mendapatkan restu dari keluarga Lisa. Laki-laki itu menjadi optimis dan gencar dalam mendekati Si gadis, walau pada awalnya selalu diabaikan.
Namun berkat kegigihan dan support dari dua keluarga, pada akhirnya usaha Jungkook tidak sia-sia. Pria tersebut benar-benar mendapatkan pujaan hatinya.
"Heh. Jawab pertanyaan Ibu. Ingat tidak kamu semua itu?!" Ratih kembali melayangkan tanya membuat Jungkook tersadar dari lamunannya.
"Jungkook ingat Bu ..." Ucap Jungkook pelan.
"Kalau kamu ingat, kenapa melakukan itu? Buat ibu dan bapak malu saja!" Ratih memijat pangkal hidungnya seraya menggelengkan kepala. Memikirkan kelakuan putranya sungguh membuat ia menjadi pusing. "Aduh Jungkook, Jungkook ... Kita ini hanya orang kecil, bisa berbesanan dengan keluarga Pak Seno dan Bu Irene adalah sebuah kebanggaan untuk kita. Kamu juga bisa jadi seperti sekarang ini, tak lain karena berkat kebaikan mereka juga. Jadi jangan kebanyakan gaya!"
Berkat kedekatan Jungkook dengan keluarga Lisa. Jungkook yang kala itu hanya tinggal sendiri di kota tersebut, tak jarang mendapatkan support dari keluarga Lisa. Baik secara moril ataupun materi. Maka dari itu orang tua Jungkook merasa sangat berhutang budi.
"Jungkook punya alasan Bu, kenapa Jungkook melakukan itu."
"Halah, apapun alasannya, tetap saja Ibu tidak mau terima!" Sela Ratih cepat. "Pokoknya Ibu tidak mau tahu ya Jung, kalau sampai kamu bercerai dengan Lisa, Ibu tidak akan memaafkanmu! Biarkan saja Ibu tidak usah punya anak sekalian, daripada harus punya anak modelan kamu." Ratih berdiri. "Ayo Pak. Kita ke rumah besan saja. Mending kita bertemu menantu dan cucu. Daripada bertemu anak durhaka ini." Tunjuknya pada Jungkook lalu pergi begitu saja.
Jungkook sontak berdiri dan mengejar langkah Ratih. "Ibuuu..."
"Sudah maklumi saja Ibumu, Jung. Ibumu memang seperti itu." Aryo menepuk pundak sang putra. Ia juga mengejar langkah keduanya sehingga kini ia dan Jungkook berada di ambang pintu. Sementara Ratih sudah di luar pagar. Wanita itu sedang menunggu taksi yang mungkin saja lewat.
"Tapi Pak..."
"Sudah, nanti biar Bapak yang bicara pelan-pelan pada Ibumu."
Meski Aryo juga sama kecewanya, tapi ia tidak ingin menghakimi Jungkook. Bagaimanapun ia sangat mengenali putranya. Jungkook pasti memiliki alasan yang kuat atas tindakannya. "Ibumu hanya shock saja. Lambat laun juga dia pasti akan menerimanya."
Jungkook menganggukkan kepala. Ia baru saja membuka belah bibirnya untuk menanggapi ucapan Aryo, tapi suara teriakan Ratih sudah lebih dulu terdengar.
"Bapakkk ayok ..." Wanita itu sudah mendapatkan taksinya.
"Iya Bu sebentar ..." Sahut Aryo. Ia kembali menepuk-nepuk pundak Jungkook. "Kamu jangan pikirkan soal Ibu, fokus saja pada rumah tanggamu dengan Lisa. Biar Ibu, Bapak yang urus."
"Iya Pak terima kasih."
"Ya sudah kalau begitu, Bapak pamit"
"Iya. Hati-hati."
***
"Bunda... Senna mau pulang. Senna mau ketemu Ayah."
"Kenapa Ayah gak jemput? Kenapa kita gak pulang-pulang?"
"Senna kangen Ayah. Senna juga kangen sekolah."
Lisa menghela napas dengan kasar, sudah sejak pagi tadi Sienna terus rewel meminta ingin pulang. Saat pagi, Lisa masih bisa membujuknya dan mengalihkan perhatian Sienna yang ingin pulang pada hal lain. Namun malam hari, anaknya itu sudah tidak bisa dibujuk lagi dan berakhir dengan menangis kencang. Mungkin gadis kecil itu sudah kelewat rindu pada ayah dan juga sekolah.
"Iya nanti kita pulang ya?" Ucapnya lembut dan sabar.
"Kapan? Bunda selalu bilang iya tapi kita gak pulang-pulang." Balas Sienna dengan air mata yang masih deras berjatuhan. "Bohong itu dosa loh Bunda."
Lisa bingung dan tidak tahu harus membujuk Sienna dengan cara apa lagi. Namun kini ingatannya berputar pada beberapa hari yang lalu ketika orang tua Jungkook datang menemuinya.
"Nak, maafkan Jungkook ya? Kesalahan Jungkook memang sangat sulit untuk dimaafkan. Namun sebagai orang tua Jungkook, Ibu tidak ingin rumah tangga kalian kandas." Ratih meraih tangan Lisa dan menggenggamnya. "Ibu mohon, bertahanlah dengan pernikahan ini demi cucu Ibu."
"Ibu tidak mau kalau Sienna sampai kekurangan kasih sayang. Bagaimanapun juga, Sienna masih membutuhkan kalian."
"Benar apa yang diucapkan mertuamu." Timpal Seno. "Jadi tolong pertimbangkan lagi keputusanmu, lagi pula Papa sudah memberitahu alasan mengapa Jungkook menikahi wanita itu, bukan?"
Seno memang sudah memberitahu kebenaran dibalik pernikahan Jungkook dengan Aluna, beberapa hari yang lalu. Meski alasan tersebut tetap tidak bisa dibenarkan, akan tetapi, entah mengapa mengetahui kebenaran itu membuat hati Lisa sedikit goyah. Apalagi Jika ia mengingat betapa dekatnya Sienna dengan Jungkook. Lisa tidak bisa mengorbankan kebahagian Sienna dan merelakannya untuk wanita itu begitu saja.
Sepertinya alasan tersebut cukup kuat untuk mengubah keputusan awal Lisa. Iya. Ia tidak boleh menyerah dan membiarkan wanita itu menang. Ia harus mempertahankan dan merebut kembali kebahagiaannya.
Sienna menggoyangkan tangan Lisa sehingga membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. "Bunda, ayo kita pulang sekarang.."
"Ini sudah malam sayang. Kita bobo ya. Pulangnya besok saja."
"Janji ya, kita pulang besok?"
Lisa mengangguk. "Iya sayang."
Mendengar itu seketika tangis Sienna berhenti. Ia mengacungkan kedua tangan keudara seraya berseru. "Yey besok Senna ketemu Ayah. Makasih Bunda." Ia mencium pipi sang Bunda.
Semoga ini benar-benar keputusan yang tepat. batin Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir | Lizkook ✓
Romance[M] Manusia hanya mampu berencana--merancang sedemikian rupa agar hidupnya dapat berjalan dengan sempurna. Tapi kau tahu? Semua itu akan terkesan sia-sia jika Tuhan telah menetapkan garis takdirnya. Karena sejatinya rencana Tuhanlah yang lebih inda...