1 - Melarikan Diri Dari Pertunangan

360 5 0
                                    

"Wah ... Pasti Nona Muda akan terlihat sangat cantik malam ini," puji kepala pelayan rumah Wardana. Matanya berbinar, bertemu dengan pandangan Aurora dari pantulan kaca rias yang dipenuhi banyak lampu.

"Tentu dong, Nona Aurora kan bintangnya. Udah sepantasnya jadi yang paling cantik," sahut make up artist sambil menyapukan blush on pada pipi Aurora.

Aurora, saat ini berusia 22 tahun, tidak menyahut sama sekali pembicaraan yang terjadi di sekelilingnya. Wajahnya ia pasrahkan seutuhnya pada make up artist. Rambut hitamnya yang panjang ia serahkan pada hair stylist. Kuku pada jemari tangannya ia biarkan diwarnai oleh entah siapa pun.

Malam nanti memang menjadi malam yang penting bagi Aurora Wardana. Ia akan bertunangan dengan kekasihnya selama ini, Luan Tamawijaya. Aurora dan Luan mulai merajut tali asmara semenjak mereka berkuliah di universitas yang sama di Neabofrench.

Saat pulang ke tanah air, baik orang tua Aurora maupun orang tua Luan yang sudah saling mengenal dan merestui pun langsung mendorong mereka agar segera meresmikan hubungan. Di samping itu pula, baik keluarga Wardana serta keluarga Tamawijaya akan mendapatkan keuntungan tersendiri dalam ranah bisnis, jika terjadi pernikahan antara keduanya.

Ya, keluarga Wardana dan keluarga Tamawijaya adalah dua dari sekian nama yang merajai perekonomian di seantero negeri Deshnea. Reputasi mereka sebagai pebisnis ulung, sebagai konglomerat, sudah dikenal oleh sebagian besar masyarakat.

Aurora sebagai putri satu-satunya Wardana, hidup seperti seorang putri kerajaan yang memang pantas dan layak untuknya, berjodoh dengan Luan, putra semata wayang Tamawijaya yang nantinya akan mewarisi kerajaan bisnis Tamawijaya.

Sekilas tampak seperti pernikahan ideal. Terlebih karena pernikahan antara sepasang kekasih yang saling menyayangi ini bisa dimanfaatkan sebagai pernikahan bisnis. Dua taipan terkenal bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci dan penuh cinta.

Sangat ideal.

Setidaknya itulah gambaran pernikahan ideal yang sempat Aurora yakini juga sebelum ini. Sebelum ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya saat masih duduk di bangku SMA ...

Sena Pramudya adalah nama kekasih Aurora sebelum ia memutuskan berangkat ke Neabofrench dan berkuliah di sana. Neabofrench, negara berjarak tempuh 23 jam dari Deshnea, perjalanan menggunakan pesawat. Sama juga dengan Sena yang mendapat beasiswa dan kesempatan berkuliah di salah satu universitas negeri terbaik di Deshnea. Mereka memutuskan berpisah begitu lulus SMA, agar fokus pada studi masing-masing.

Empat tahun setelahnya, saat Aurora pulang, jodoh mempertemukannya kembali dengan Sena. Sejak saat itulah ia didera kegalauan. Hatinya terbagi dua antara Sena dan Luan. Tidak, bukan terbagi 50:50, bagi Aurora, tampaknya porsi Sena lebih besar dibandingkan dengan Luan.

Jelas Aurora berat pada Sena. Ditambah ia tidak bisa menolak desakan kedua orangtuanya agar ia segera menikah dengan Luan, sudah cukup alasan baginya untuk merasa galau, hingga tepat pada saat ini.

Aurora menghela nafas panjang. Apakah sudah tepat baginya, mengikat komitmen dengan Luan? Atau haruskah ia menuruti kata hati?

"Bi, tolong ambilkan ponselku dong," pinta Aurora pada kepala pelayan yang dengan sigap memberikan yang ia minta. Ada satu pesan masuk belum terbaca.

Mata Aurora membesar begitu melihat nama Sena di layar ponselnya. Segera ia buka pesan dari Sena tersebut, yang berbunyi, "Hey Ra. Sedang sibuk? Aku baru aja keluar kantor, kerjaanku bisa selesai lebih cepat. Terus sekarang mau cari makan, sedang kepengen steak di resto favorit kamu. Mau join?"

'Sena!!' teriak Aurora dalam hati. 'Oh Tuhan. Sena emang nggak aku beritahu soal pertunanganku dengan Luan hari ini ... Duh, soal aku dan Luan pacaran aja dia nggak tahu ... Dia pasti shock kalau aku beritahu! Tapi nggak mungkin aku diam-diam aja, kan? Aku harus beritahu dia, dan ceritakan semuanya. Tapi ... Tapi, apa benar ini memanglah jalan yang seharusnya aku pilih? Menjadi istri Luan?'

Lagi-lagi Aurora menghela nafas panjang.

'Bukannya aku nggak sayang Luan ... Tapi ... Jujur aja, perasaanku lebih berat pada Sena. Hanya Sena ... ' ujar Aurora kalut dalam hati.

'Aku harus memutuskan,' batin Aurora.

Tepat pada saat itu Aurora selesai didandani. "Nah, sudah cantik Nona Muda kita satu ini," ujar make up artist.

"Duh cantiknyaaa Nona Aurora!" puji kepala pelayan. "Nona mau dibantu pakai gaunnya atau sendiri saja?"

Aurora bangkit berdiri. "Aku pakai sendiri aja. Kalian keluar ya," ujarnya.

Semua yang ada di dalam kamar mengangguk patuh lalu segera meninggalkan Aurora sendirian. Gadis itu menunggu hingga semuanya keluar lalu mengunci pintu dari dalam. Ia menghela nafas panjang. Tak jauh darinya ada patung manekin, gaun satin keemasan yang akan dipakainya masih menempel di manekin itu.

Namun bukannya mulai berganti pakaian, Aurora malah membuang muka dan berjalan menuju pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan taman samping. Ia keluar dari pintu itu, lalu berjalan cepat menuju garasi. Untunglah tidak ada yang berjaga, tidak ada yang mengetahui bahwa Aurora hendak melarikan diri!

Tanpa buang waktu lagi Aurora masuk ke dalam mobil BMW putih miliknya, lalu menginjak gas. Tentu saja saat mobilnya melewati supir keluarga dan penjaga rumah, mereka semua terkejut, dan pasti mereka akan segera memberikan laporan pada ayah Aurora, Roland Wardana.

Aurora tidak peduli. Ia sudah mengambil keputusan. Jika Roland sampai marah, memang sudah sepantasnya. Acara pertunangan tinggal hitungan jam, tapi Aurora malah kabur. Sudah jelas ia akan mencoreng nama baik Wardana sekaligus membuat malu keluarga Tamawijaya. Roland pasti marah besar, dan mungkin akan mengusir dirinya.

Tapi bukankah sudah cukup masa yang Aurora berikan hanya pada keluarga Wardana? Menjadi putri tunggal yang selalu menurut, tidak pernah membantah apalagi membangkang. Apa pun yang keluar dari mulut Roland, Aurora tidak pernah tidak mengindahkannya.

Namun untuk saat ini, tidak bisa. Aurora dapat melihat betapa berambisinya sang ayah menyambut persatuan dua keluarga, tanpa memastikan apakah benar Aurora juga menginginkan terjadinya sebuah pernikahan. Tidak, untuk sekali seumur hidup Aurora harus bisa tegas mengambil keputusan demi dirinya sendiri. Untuk sekali seumur hidup, Aurora harus memiliki prinsip dan mempertahankannya!

Ini sudah jalan yang paling benar dan baik, demikian menurut Aurora.

Aurora meringis, terbayang di benaknya bagaimana reaksi sang ayah.

'Maaf, Papa,' ujar Aurora dalam hati, menggigit bibir. 'Bukannya aku nggak peduli pada Papa dan bisnis keluarga ... Bukan juga aku sengaja bikin malu Papa dan Mama, aku sayang kalian, sungguh. Tapi aku nggak bisa menikah dengan Luan. Aku nggak akan bahagia dengannya karena aku mencintai pria lain. Memang sebelumnya aku dan Luan pacaran, tapi bukan berarti aku mau nikahi Luan! Nggak salah kan kalau aku berubah pikiran dan nggak mau lagi dengan Luan? Buat aku hanya Sena ... Semoga kalian mengerti. Maaf, Papa Mama, sekali lagi maaf ... '

Ponsel miliknya bergetar panjang di atas jok kursi mobil di sebelahnya. Mata Aurora melirik, membaca nama sang ayah tertera di layar. Aurora mengeraskan hati. Sengaja tidak dijawabnya telepon itu.

Panggilan berikutnya masuk. Dari sang ibu. Sesaat sebersit perasaan bersalah dan iba menyelusup dalam relung hati Aurora. Apa salah ayah dan ibunya sampai Aurora memberikan treatment seperti ini pada mereka? 

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang