"Rora ... kenapa kamu masih mempertanyakan itu? Jelas aku sayang kamu," sahut Sena akhirnya.
Aurora menggeleng pelan. "Tapi aku nggak lihat itu."
Sena tampak bergelut dengan pemikirannya sendiri. "Rora ... tolonglah, hal kecil seperti ini jangan dibesar-besarkan. Kenapa kamu ragu kalau saya sayang sama kamu? Kalau saya nggak sayang kamu, kenapa saya nikahi kamu?" tanyanya.
"Hal kecil." Aurora tertawa miris. "Apa buatmu, kalau udah menikah, itu artinya ya udah, jadi suami istri, ya udah, nggak perlu lagi komunikasi yang baik? Nggak perlu lagi spending time bersama? Nggak perlu lakukan apa pun, karena aku udah jadi istri? Nggak gitulah, Sen."
Decakan samar lolos dari bibir Sena.
"Dan aku nggak terima permasalahan ini disebut hal kecil," lanjut Aurora.
"Jadi mau kamu gimana sih?"
"Masa masih nggak ngerti juga .... Aku mau kita habiskan waktu bersama-sama. Kita nggak pernah liburan. Kita bahkan nggak honeymoon lho, karena kamu bilang susah cari waktu cuti. Kamu sama sekali nggak mau luangkan waktu ...." Aurora memaksa diri memanjangkan sabar, meski air di pelupuk matanya terasa akan tumpah sebentar lagi.
"Saya nggak bisa. Oke? Saya punya tanggung jawab besar."
Aurora benar-benar kehilangan kata-kata. Ia terdiam lama, mencerna semua penolakan Sena yang terasa sangat pahit, juga menahan tangis sebisa mungkin. "Benar perkiraan aku ... pantas aja Inka selingkuh yah ...," katanya pilu.
"Inka lagi. Kamu mau mengikuti jejaknya?" Nada suara Sena sedikit meninggi.
"Kalau kamu terus seperti itu, jangan salahkan kalau ada laki-laki lain yang bisa kasih aku perhatian lebih dari kamu," sahut Aurora, bermaksud mengancam, tapi apakah itu ampuh?
"Fine. Silakan."
Mendengar jawaban Sena membuat Aurora semakin kehilangan kata-kata. Dibiarkannya air mata yang sedari tadi menyeruak tumpah membasahi kedua pipinya. Mengapa Sena mudah sekali mengatakan hal itu? Tidakkah dia berpikir sebelum berucap?
Tidak ada yang bersuara selama sekian menit. Hanya isakan samar Aurora yang terdengar, membuat Sena segera introspeksi diri. Dia tahu dia telah keterlaluan dan malah melukai hati wanita tersebut.
Sena menarik nafas panjang beberapa kali, sebelum berkata, "Baiklah .... Saya akui, saya emang nggak bisa luangkan waktu buat kamu."
Aurora menyeka air matanya, menatap Sena tak percaya. "Selamanya ... nggak akan bisa?"
Sena tidak menyahut, kepalanya tertunduk dalam.
"Kayaknya kita udah nggak satu tujuan lagi ya ...," ujar Aurora pelan.
Masih tidak terdengar sahutan Sena.
Aurora menggelengkan kepala. "Aku udah nggak bisa mengenali kamu lagi, Sen ...."
Untuk kesekian kalinya kondisi hening tercipta antara mereka.
Bagi Aurora, perih sekali menerima kenyataan bahwa Sena tidak bersedia meluangkan waktu hanya untuknya. Sesuatu yang sangat wajar didamba setiap istri dari suaminya. Sesuatu yang bisa memperkokoh dan memperdalam hubungan cinta antara mereka berdua. Bukankah cinta memang perlu dan memang seharusnya dipupuk terus menerus? Bukannya malah dibiarkan hingga layu dan kemudian mati tanpa ada harapan sama sekali.
Sementara itu Sena yang masih terus bergulat dengan pikirannya sendiri berulang kali menarik nafas dalam, memejamkan mata. Segala sesuatu yang memberatkan pikirannya memang harus dia ungkapkan pada Aurora, agar wanita itu bisa memahami apa yang dia alami selama ini. Jika Sena terus berdiam diri, hal itu tidak akan adil bagi Aurora.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...