Pergelutan yang cukup seru. Setelah berupaya keras Luan akhirnya bisa melepaskan diri dari Sena dan membalas pukulannya. Namun demi rasa marah yang terpendam selama ini membuat Sena terbakar semangat dan kembali berada di atas angin.
Santoso yang rupanya masih berada di sana, sedari tadi hanya diam menonton, mengangguk-angguk puas melihat kedua anaknya baku hantam. Jelas sekali Sena di atas angin.
"Papa? Lho ... ini kenapa?" Aurora tiba-tiba berdiri di samping Santoso, terlihat terkejut menyaksikan pergulatan kedua pria di sana. "Astaga! Mereka berantem, Pa!"
Santoso refleks menahan tangan Aurora saat menantunya itu hendak maju menengahi Sena dan Luan. "Jangan diganggu, biarkan saja mereka berantem sampai puas. Kalau nggak begini, sampai kapan pun masing-masing cuma bakal simpan dendam. Lebih baik dilampiaskan."
Aurora mengerutkan dahi memandangi Santoso. Aneh, pikirnya. Bukankah Santoso menjadi tokoh sentral yang membuat kedua anaknya saling menyimpan dendam? Aurora terlihat bingung, masih mencoba memahami dinamika keluarga yang semakin rumit. Ia menatap Santoso dengan ekspresi campur aduk, tidak yakin apa yang seharusnya ia lakukan.
Santoso menyadari ekspresi Aurora yang bingung. "Apa yang terjadi di antara mereka bukanlah urusanmu, Nak. Ini masalah antar laki-laki yang harus diselesaikan oleh mereka sendiri," ujarnya dengan tenang. "Kamu mengerti, kan?"
Setengah terpaksa Aurora mengangguk, meskipun hatinya masih berdesir melihat pertikaian di antara Luan dan Sena. Ia memilih untuk menuruti saran Santoso dan terus menyaksikan dari kejauhan.
"Kamu ke sini mau jemput Sena atau ...?" tanya Santoso.
Aurora menggeleng. "Gugatan cerai aku masih di Luan, Pa, udah berhari-hari nggak kembali ke tanganku .... Aku ke sini mau tagih itu dari Luan," jawabnya pelan. Sesekali ia meringis ngilu tiap menyaksikan ada pukulan mendarat di wajah atau tubuh para pelaku gelut.
"Ah. Oke. Biar saya nanti yang bantu ingatkan Luan," sahut Santoso tanpa diminta.
Luan jadi bulan-bulanan, berulang kali wajahnya menjadi sarang tinju Sena, hingga dia tidak lagi mampu membalas. Luan tidak sanggup bergerak, terbaring lemah di lantai.
Sena melepaskan cengkeramannya dari Luan, lalu bangkit berdiri. "Ini untuk semua kebohongan dan manipulasi yang kamu dalangi, Luan. Kamu pikir saya akan diam saja membiarkanmu menginjak-injak saya? Berharaplah terus," ujar Sena sebelum pergi meninggalkan Luan dengan langkah mantap. Wajahnya masih terlihat penuh amarah, tetapi juga ada kelegaan setelah berhasil membalaskan dendamnya. Dia tidak tahu apakah ini akan meredakan konflik di antara mereka, tetapi setidaknya dia merasa telah terlepas dari beban yang selama ini menghantuinya.
Sementara itu, Luan berusaha bangkit dari lantai. Dia menyadari bahwa dia mungkin telah kehilangan pertarungan ini, tetapi api semangat di matanya belum padam. Dengan perjuangan yang tersisa, dia merapatkan pakaian yang kusut dan mengatur nafasnya.
Tepuk tangan Santoso yang tiba-tiba keluar dari persembunyian bersama dengan Aurora menghentikan langkah Sena dan membuat Luan menengadah.
"Papa, rupanya Papa belum pulang? Kamu juga di sini, Ra?" Sena menyambut dua saksi mata yang tidak disangka itu.
Meski sudah mengetahui bahwa Sena telah memanggil Santoso dengan sebutan 'Papa' juga, tapi telinga Luan langsung terasa gatal. Sangat tidak biasa mendengar Santoso dipanggil dengan sebutan itu oleh orang selain Aurora dan dirinya.
"Ya, saya memang belum pulang dari tadi. Ini mau ambil pen Papa yang tertinggal di ruangan, nggak tahunya malah menyaksikan pertunjukan yang sangat menarik," jawab Santoso dengan seringai puas di wajahnya. "You did a good job, Sena," pujinya sambil menepuk bahu Sena.
Senyum canggung terulas di wajah Sena menanggapi sang ayah kandung, tidak mengerti mengapa ada pujian tersebut terlontar dari mulutnya.
Santoso mendekati Luan yang berusaha bangkit. "Ini mungkin waktu yang baik untuk merenung, Luan. Mungkin ada baiknya kamu introspeksi diri, kamu sudah sangat keterlaluan selama ini. Jika kamu sudah kembali waras, jangan lupa minta maaf pada Sena dan juga Aurora," ucapnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Luan memandangi Santoso dengan tatapan aneh, keningnya berkerut dalam. Tapi, dia sedang malas meladeni orang tua itu, maka dia memilih tidak merespon dan bermaksud kembali ke ruangannya.
"Segera tanda tangani surat ceraimu, anak muda!" perintah Santoso tegas, menahan langkah Luan. "Aurora sudah lama menunggu dokumen itu, tanda tangani sekarang!"
Luan menjawab dari balik punggung. "Saya nggak harus menuruti perintah Anda terus menerus."
"Oh ya?" Santoso tersenyum sinis, menilai sikap Luan dengan cermat. "Kamu mungkin merasa hebat dengan sikapmu yang pemberontak, tetapi jangan lupa, keputusanmu akan berdampak pada banyak orang di sekitarmu, termasuk Sena dan Aurora. Ini bukan hanya soal ego dan keinginanmu sendiri."
Luan menghentikan langkahnya, memandang tajam ke arah Santoso. "Mereka bisa menunggu. Aku tidak peduli."
Santoso menggelengkan kepala. "Kamu akan menyadarinya suatu hari nanti, Luan. Tindakanmu memiliki konsekuensi. Hidup ini tidak hanya tentang dirimu sendiri."
Luan tertawa kecil, seolah meremehkan kata-kata Santoso. Namun, dalam kepalanya, ada benih pertanyaan yang mulai tumbuh. Apakah dirinya benar-benar tidak peduli pada orang-orang di sekitarnya? Apakah ego dan keinginan pribadinya lebih penting daripada hubungan dengan orang-orang yang mungkin benar-benar peduli padanya?
Santoso melihat keraguan itu dalam mata Luan dan melanjutkan, "Kamu bisa menjadi lebih dari ini, Luan. Berhentilah melarikan diri dari tanggung jawabmu. Bangunlah, perbaikilah dirimu sendiri, dan berikan yang terbaik untuk orang-orang yang peduli padamu."
Luan masih memandang tajam, tetapi kali ini ada getar kecil di dalam hatinya. Apakah ini benar-benar saatnya untuk berubah, untuk menghadapi kenyataan, dan untuk menerima tanggung jawabnya? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
"Kamu juga sudah saatnya ambil tanggung jawabmu atas Inka," imbuh Santoso tegas. "Jangan kamu pikir kamu bisa bebas lepas pasca bercerai dari Aurora. Kamu berani berbuat dengan Inka, maka kamu juga harus berani bertanggung jawab! Dengar itu?!"
Luan menggemeletukkan gigi, geram. Menikahi Inka? Bermimpi pun tidak pernah. Mengapa harus menyia-nyiakan sisa hidupnya dengan menikahi wanita itu?
Santoso melihat ekspresi geram di wajah Luan, tetapi dia tidak mengalah. "Kamu mungkin tidak menyukainya, tetapi keputusanmu untuk terlibat dengan Inka membawa konsekuensi besar. Kamu harus bertanggung jawab, Luan."
Luan menghela nafas dalam-dalam. Inka, mantan selingkuhannya, adalah bagian dari masa lalunya yang penuh dengan kesalahan dan penyesalan. Meskipun mereka sudah tidak pernah lagi bertemu, bayang-bayang hubungan itu masih terus menghantuinya. Dia tahu, mendekati Inka adalah salah satu dosa terbesarnya.
"Tidak ada jalan keluar dari ini, Luan," kata Santoso dengan nada tegas. "Kamu tidak bisa terus berlari dari tanggung jawabmu. Hidup ini penuh dengan pilihan sulit, dan sekarang saatnya kamu menghadapinya."
Luan mengangguk, meskipun tidak rela. Perasaan benci dan keengganannya terhadap Inka masih membakar di dalam dirinya, tetapi dia menyadari bahwa dia harus mengatasi perasaan itu demi kebaikan semua pihak.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...