Inka Maharani kerap tampil modis dengan setelan berwarna senada. Nyaris tiap hari wanita mungil itu mengenakan rok di atas lutut, memamerkan kulit kakinya yang indah. Luan selalu dengan sengaja memilih tempat terstrategis untuknya agar bisa menikmati pemandangan indah kulit wanita tersebut. Inka sendiri tidak memiliki pikiran negatif apa pun, ia bahkan tidak pernah menyadari jika pemandangan kaki indahnya menjadi obyek tatapan sang bos.
Inka memang wanita yang manis dan enak dilihat. Wajahnya bundar namun imut, matanya selalu berbinar cerah terlebih setelah berubah status menjadi istri orang. Jelas ia telah bertransformasi menjadi seorang istri yang berbahagia dengan pernikahannya.
Tapi Luan tidak pernah berbuat aneh-aneh selain sesekali mencuri pandang pada tubuh Inka. Meski pemikirannya cabul tiap melihat kaki Inka, tapi dia tetap tahu tempat, tahu posisi. Luan mencari saat yang baik untuk memulai pendekatan pada Inka.
Pria yang memiliki tahi lalat tepat di bawah bibir itu mendapatkan kesempatan saat makan siang tiba, hari itu. Mengisi tumbler dengan air sampai penuh, menjadi alasannya masuk ke pantry yang kebetulan hanya ada Inka di sana, tengah bersiap menikmati bekal yang dibawanya. Kebetulan juga, hari itu Inka tidak melakukan panggilan video dengan suaminya, Luan mempergunakan kesempatan langka tersebut. Dia duduk di hadapan Inka.
"Makan, Pak," tawar Inka tersenyum canggung.
"Silakan." Luan mengangguk.
"Pak Luan nggak makan?" tanya Inka basa basi.
"Iya, habis ini saya makan. Tadi sih sudah suruh OB belikan di restoran di bawah."
"Ooh."
"Bekalmu menarik sekali kelihatannya," ujar Luan menatap isi bekal Inka. Spaghetti dengan saus berwarna merah dan potongan daging yang banyak, lengkap dengan parutan keju di atasnya.
"Hehe. Iya nih Pak."
"Tiap hari kamu bawa bekal, bangun jam berapa buat masak?"
"Jam lima," jawab Inka. "Yah ... kan sekalian bawain bekal juga untuk suami, Pak, sekalian masak banyak."
"Beruntung ya Sena, punya istri pandai masak seperti kamu," puji Luan.
"Ah Pak Luan ... ini biasa aja kok," sahut Inka merendah. "Pasti istri Pak Luan juga pandai masak di rumah."
Luan menggeleng. "Wah. Istri saya sih ...." Wajahnya berubah masam. "Nggak pernah masakin saya. Istri saya bukan tipe yang bisa masuk dapur," tuturnya.
Bola mata Inka yang jernih tampak bertanya. "Mmm. Tapi pasti beliau punya kelebihan yang membuat Pak Luan jatuh cinta."
Luan tidak menyahut, malahan termenung, tampak larut dengan yang ada di dalam kepalanya. Cukup lama situasi menjadi hening.
"Tidak ada cinta. Pernikahan saya dan Aurora bisa dibilang seperti membuang garam di atas laut. Sia-sia. Tidak ada nilainya, tidak ada artinya."
Inka membelalak lebar mendengar ujaran yang keluar dari bibir bosnya itu. Ia jelas kebingungan mengapa obrolan basa basi yang ia mulai malah jadi menjurus pada pengungkapan sang bos yang, tentu saja hal yang baru saja ia dengar bukanlah hal yang baik. Ia juga gamang bagaimana harus menyahut, maka ia hanya memandangi sang bos dalam diam.
"Beneran," kata Luan lagi, terkekeh, berusaha mencairkan situasi kaku yang tiba-tiba terasa. "Disebut punya istri ... ya memang punya istri. Hanya di atas kertas. Menikah atas dasar bisnis sih, mau gimana lagi ya?" Luan tersenyum getir. "Tidak ada cinta. Tidak ada apa pun. Kami jalan masing-masing. Lu lu, gue gue. Bahkan kami juga tidak bertegur sapa di rumah. Bisa bayangkan?"
"T-tapi ... waktu Bapak dan istri datang ke nikahan saya, kelihatannya ... nggak begitu?" Inka memberanikan diri bertanya.
"Oh ya?" Luan mengangkat alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...