"Aku bertanya padamu, Aurora. Bagaimana caranya kamu bisa berikan mereka cucu kalau kamu bersikap dingin seperti ini?" tanya Luan tenang.
"Papa mamaku nggak pernah sebut soal cucu tuh. Mereka nggak minta," kilah Aurora.
"Ya mungkin nggak saat ini juga. Tapi pasti mereka berharap demikian, Ra. Ra, ingat, kamu kan juga sama sepertiku. Anak tunggal. Kamu harus berikan cucu untuk mereka, karena hanya kamu satu-satunya keturunan mereka. Jadi persiapkan dirimu, suatu saat nanti pasti orang tua kamu bakal minta. Demikian juga denganku, aku harus punya keturunan karena nama keluarga Tamawijaya ada di pundakku. Nggak usah heran kenapa orang tua kita nagih soal cucu."
Aurora terdiam.
"Tinggal dari kamunya aja, Ra. Kalau kamu mau mulai buka hati kamu ... Belajar terima aku, kasih aku kesempatan sekali lagi, aku yakin kamu akan menjadi istri yang paling berbahagia di dunia," ujar Luan.
Aurora mendengus meremehkan. "Jangan kepedean lu ... Lu siapa bisa janjiin kebahagiaan buat gue? Emang kebahagiaan gue ada di tangan lu apa? Cih."
"Aurora, maksudku-"
Aurora segera memotong. "Luan kamu tuh terlalu banyak permintaan! Kamu terlalu menuntut ini itu ...! Kemarin kamu minta cuma sekedar tunangan. Lalu besokannya berubah minta sekedar nikah lalu nantinya cerai. Lalu sekarang kamu minta anak! Kamu minta supaya aku tidur sama kamu?! No way, Luan. No way. Jangan kepedean dan jangan seenaknya minta ini itu dong! Emangnya kamu pernah berbuat baik seperti apa sih sama aku? Sampai kamu beraninya minta macem-macem? Dikira aku punya kantong doraemon, punya semua yang kamu mau? Lagian juga kenapa aku harus nurutin kamu? Emangnya kamu siapa?" cerocos Aurora kesal.
"Aku suami kamu. Kamu suka atau nggak, kamu harus terima kalau aku sekarang adalah suami kamu. Itu kenyataan yang nggak bisa kamu ubah." Luan menjawab datar, ada nada marah tersirat dari suara pria berkaca mata itu.
Aurora membelalak sewot. "Dari status, oke! Kamu bisa nikahi aku tapi jangan harap kamu bakal dapat aku sepenuhnya! Aku nggak akan, catat ya, NGGAK AKAN pernah tidur denganmu! Kamu nggak kuizinkan menyentuh aku seujung rambut pun! Kamu tuh nggak layak dapat tubuhku, dan terlebih, kamu nggak layak mendapatkan hatiku juga!" serunya, nyaris tersengal menahan emosi.
"Jadi kalau papa kamu minta cucu, atau misal nanti orang tuaku juga minta cucu, ya udah biar aja mereka minta! Toh mereka nggak perlu tahu kalau aku menolak tidur sama kamu! Kenapa? Kamu juga pasti nggak bakal berani mengadu! Lagian untuk apa kamu mengadu? Kalau kamu sampai nekad ngadu, bilang ke papaku kalau aku nggak bersedia tidur sama kamu, yang ada kamu malah diledek, lelaki macam apa yang nggak bisa rayu istrinya?" Aurora tersenyum sinis menatap Luan.
"Punya malu dong Luan! Hal yang seperti itu kok ngadu! Pastinya kamu bakal dicap payah sama semua orang! Dan saat itu terjadi, duh, aku bakalan tertawa ngakak. Tentunya kamu nggak mau itu semua terjadi kan? Jadi aku bebas untuk menolak kamu atau ludahi kamu. Kamu berharap tidur denganku? Ngarep aja teruuss! Aku nggak bakal tidur sama kamu, dan aku nggak bakal pernah melahirkan anak kamu!" tandas Aurora.
Luan terdiam seribu bahasa memandangi sang istri. Sudah habis argumen dalam benaknya, sebab kini kepalanya terasa seperti air yang mendidih. Jika Luan nekad membuka mulut, bisa-bisa malah ucapan penuh emosi tak terkontrol yang keluar, dan itu tidak akan berakhir baik. Jadi dia memutuskan untuk tetap diam.
Aurora kini merasa di atas angin, menyadari lawan bicaranya tidak menyahut sepatah kata pun. Sang lawan hanya berdiri terdiam di hadapannya, menatap dirinya dengan pandangan tanpa asa. Aurora tersenyum penuh kemenangan, tangannya terlipat di depan dada.
"Camkan itu semua baik-baik, Luan, aku nggak akan mengulang kata-kata barusan tadi padamu," ujar Aurora.
"Aurora," panggil Luan, parau. "Apa kamu sama sekali udah nggak ada rasa padaku?"
"Menurutmu?" cibir Aurora.
"Itu tadi pertanyaan untukmu, dan butuh sebuah jawaban yang pasti."
"Luan, Luan," panggil Aurora. "Apa gunanya kujawab? Kalau aku bilang iya, aku masih ada rasa, hidungmu bakalan naik, kembang kempis. Dan kamu bakalan makin kepedean. Lalu kalau aku bilang nggak, aku yakin kamu tetap nggak akan melepaskanku karena sekarang aku tahu, kamu emang nggak pernah ada niat untuk ceraikan aku apa pun yang terjadi. Ya. Karena kamu orang yang egois dan ambisius. Kamu posesif. Tapi kukatakan padamu ya, Luan. Kubiarkan sifat posesifmu itu. Aku biarkan kamu mendapatkanku, tapi sebenarnya kamu nggak benar-benar mendapatkanku. Dan itu akan aku buktikan mulai dari sekarang," tegasnya.
Lagi-lagi Luan terdiam seribu bahasa. Bagai tertonjok tepat di ulu hati, semua yang dilakukan dan dikatakan oleh Aurora padanya.
"Enjoy it, Luan. Kamu akan merasakan hidup di neraka dengan hidup bersamaku. Sama seperti kamu telah menciptakan neraka untukku," desis Aurora. "Impas, kan?"
Mata Aurora bersinar tajam menembus Luan, dan bisa Luan sadari, tidak ada keraguan sedikit pun dalam pancaran binar mata itu.
Aurora benar-benar serius dengan semua ucapannya!
"Ra, you've changed so much," komentar Luan pelan.
"Iya. Aku berubah. Nggak kayak Aurora yang dulu kamu kenal. Dan kenapa aku berubah? Udah jelas itu semua karena ulah kamu sendiri. Sadar nggak? Keliatannya sih nggak bakalan sadar. Kamu kan bebal," cetus Aurora.
"Oke." Luan menarik nafas panjang. "Aku nggak mau perpanjang ini, masih pagi seperti ini udah ribut. Kamu ... Temani aku sarapan, yuk?"
"Nggak. Males," jawab Aurora sambil memandangi Luan jijik. "Malah nggak ada nafsu makan kalau sarapan sama kamu. Makan aja sendiri sana. Kalau bisa jangan balik lagi. Menghilang aja kalau perlu," sambungnya lagi lalu ngeloyor pergi dari hadapan Luan.
Nelangsa sekali pengantin baru itu. Harus mengalami penolakan berkali-kali hanya dalam kurun waktu belum ada 24 jam. Tampaknya Luan harus mulai terbiasa dengan semua penolakan Aurora padanya, entah sampai kapan, dan entah apa ada akhirnya. Inilah harga yang harus Luan bayar karena telah bersekongkol dengan Roland Wardana untuk menyingkirkan keberadaan Sena Pramudya.
Lagi-lagi nama itu disebut, Luan melengos kesal. Lebih gondok lagi hatinya, saat teringat perkataan Aurora tadi, bahwa Luan sangat tidak mungkin mengadukan semua penolakan Aurora pada Roland - dan pada siapa pun - kalau tidak mau dianggap sebagai pria pecundang yang payah. Benar. Harga dirinya sebagai seorang pria bakalan terjun bebas jika dia sampai menceritakan semua ini. Jadi, tidak ada jalan lain selain berpura-pura rukun dengan Aurora di hadapan semua keluarga, sementara itu, Luan juga harus mulai gigih mengejar cinta Aurora.
Gue bakal dapetin hati lu lagi, Ra. Kata orang, tugas cowok adalah membuat cewek yang semula nggak mau menjadi mau. Ini saatnya gue buktikan ke lu, kalau gue lebih segala-galanya dibanding si Sena itu. Sena, ke laut aja lu. Gue heran kenapa ada makhluk seperti lu yang eksis di dunia ini. Parasit! maki Luan dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...