53 - Ada Apa Dengan Sena?

29 1 0
                                    

Aurora masih merenung, seolah ragu untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. Bukankah tidak pantas seorang istri seperti dirinya mendatangi rumah lelaki lain, meskipun itu adalah mantan suami?

Saat itulah, ia melihat sebuah taksi berkelir biru berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Luan. Seorang wanita bertubuh mungil berambut ikal keluar dari mobil itu, kemudian dua balita lelaki yang terlihat menggemaskan ikut turun menyusul sang ibu.

Inka! seru Aurora dalam hati begitu mengenali sosok yang ada tak jauh darinya itu. Anak-anak itu ... pasti Juan dan Ian ....

Pintu pagar terbuka dari dalam, tuan rumah sendiri yang keluar. Luan. Dengan wajah sumringah, dia menyambut kehadiran tamunya penuh kehangatan. Luan bahkan langsung menggendong dua bocah kecil yang juga tampak senang melihat dirinya. Pria itu tampak gemas mengecupi pipi kedua anaknya bergantian, sebelum kemudian mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah.

Luan ... Inka ..., batin Aurora. Mereka jadi dekat lagi ... atau emang udah dari dulu dekat ...? Atau beneran udah resmi? .... Tapi ... tapi tadi Inka datang naik taksi ... kalau mereka udah resmi, harusnya Inka kemana-mana diantar jemput supir, atau Luan sendiri yang antar, atau Inka bawa mobil sendiri. Gue rasa mereka emang belum resmi ... tapi udah dekat lagi ....

Aurora menelan ludah. Getir.

Bukannya ini yang gue mau? Bukannya ini yang terbaik buat semua? Bahkan Papa Santoso juga menginginkan agar Luan tanggung jawab pada Inka dan anak-anak mereka ... Luan udah ambil jalan yang benar. Gue juga udah dapatkan pria impian gue selama ini. Hanya saja ....

Tanpa diinginkan, perlahan bulir air mata mengalir turun di pipi Aurora, yang lekas ia seka.

Sena itu kenapa sih, sebenarnya ...? Ada apa dengan Sena? Apa dia nggak menginginkan gue? Apa gue nggak layak dapat prioritas dalam hidupnya ...? Apa gue nggak layak dapat perhatian ...? Apa gue harus selamanya membayar karma, atas apa yang gue lakukan pada Luan ...? Sena ... kamu kenapa, sih? Kalau kamu semakin jauh, aku nggak tahu lagi harus gimana .... Apa kamu sungguh-sungguh mengatakan agar aku balikan sama Luan? Sena, kamu kenapa, sih?

Tidak tahan lagi dirundung segenap perasaan yang bercampur aduk, Aurora pun segera mengendarai mobilnya pergi dari situ.

***

Suatu hari Minggu, Aurora yang tidak sanggup lagi bertahan dalam kondisi perang dingin dengan sang suami, memutuskan akan mengajak bicara pria itu. Ia mencari Sena, menemukannya tengah berkutat di depan laptop di teras belakang rumah.

Sedang kerja? tanya Aurora dalam hati. Tidak ingin mengganggu, ia menahan langkah, mengintip layar laptop Sena. Terlihat laman media sosial berlogo warna biru, Sena tengah asyik menggulirkan tetikus, membaca sekilas isi postingan di laman tersebut. Tampaknya dia tidak sedang bekerja, Aurora berjalan mendekat.

"Sen," panggil Aurora seraya menyentuh bahu Sena.

"Eh." Sena menengadah. "Iya, Ra," jawabnya.

"Sedang sibuk nggak? Bisa kita ngobrol sebentar?" tanya Aurora.

Sena terdiam sejenak. "Oke," jawabnya kemudian sambil menutup laptopnya. Dia memerhatikan sang istri mengambil tempat di sampingnya.

Canggung, Aurora memaksakan diri tersenyum, balas memandangi Sena. "Kamu kenapa, sih, kok jadi cuekin aku ...?" tanyanya.

Sena mengerjapkan mata, lalu menggeleng. "Cuekin kamu? Nggak .... Saya nggak bermaksud begitu," jawabnya.

"Aku merasa kamu mengabaikan aku ...," sahut Aurora lirih. "Apa karena aku sempat salah omong dan bawa-bawa Luan ...?"

Sena menghela nafas panjang, namun tidak menjawab.

"Aku minta maaf, Sena .... Aku emang salah. Nggak seharusnya aku ungkit-ungkit itu," ujar Aurora. Ia kini merasa yakin sikap Sena yang berubah akibat dirinya yang mengungkit tentang Luan.

Sena menyahut pelan, "Ya sudahlah. Nggak apa, Ra, saya nggak masukkan ke hati."

"Tapi kamunya jangan diamin aku terus dong, Sen .... Aku tersiksa diginiin ...." Aurora nyaris merengek.

"Saya nggak bermaksud begitu, Rora. Maaf. Saya memang agak lebih sibuk akhir-akhir ini," ujar Sena.

"Bener, kamu nggak cuekin aku?"

"Nggak."

Aurora menatap Sena tepat di mata, katanya, "Baiklah .... Aku percaya sama kamu. Lalu, bisakah, aku mendapat waktumu lebih banyak lagi? Aku kangen kamu, Sen ... aku merasa kamu makin jauh dari aku."

Sena menunduk. "Akan saya usahakan," jawabnya sembari menghela nafas dalam.

"Kamu janji?"

Gelengan kepala samar menjadi jawaban Sena. "Saya nggak bisa berjanji ... tolong pahami, Rora, saya memang sedang banyak pekerjaan. Sulit sekali saya membagi waktu," katanya.

Ekspresi kecewa nyata terlihat di wajah Aurora. "Aku selalu pahami kamu ... tapi apa aku nggak berhak dapat waktu khusus darimu? Kapan kita terakhir ngobrol dengan enak? Jarang. Apalagi untuk urusan lain. Lebih jarang lagi .... Kenapa, sih?" tanya Aurora getir.

Sena tidak menyahut. Dia tidak nyaman terlibat dalam arah pembicaraan Aurora. Hal yang cukup jelas terlihat karena dia enggan bertatapan dengan sang istri.

"Aku minta kamu jujur, Sen ... kenapa kamu nggak bisa janji untuk meluangkan waktu lebih banyak buatku? Apa kamu nggak seneng lagi sama aku? Apa aku ada salah? Kamu bikin aku merasa nggak layak dapat prioritas dari kamu," keluh Aurora pilu.

"Saya sibuk, itu saja," sahut Sena pelan.

Aurora mengernyitkan kening. "Sesibuk-sibuknya orang, dia akan sengaja meluangkan waktu kalau dia berniat. Aku nggak lihat ada itikad itu dari kamu. Kamu nggak ada niat dan maksud untuk meluangkan waktu buatku. Benar begitu kan?" desaknya.

Sena cepat menggeleng, katanya, "Kamu overthinking, saya nggak seperti itu."

Kedua mata Aurora terasa memanas. Hal yang sudah jelas terlihat saja masih disangkal oleh Sena. Mengapa pria ini menolak terbuka, mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya?

Aurora menghela nafas panjang berkali-kali. "Aku nggak heran kenapa dulu Inka berpaling dari kamu. Kamu sama sekali nggak peka dan nggak ada niatan meluangkan waktu untuk istri ...," rintihnya.

Ekspresi Sena segera berubah, keningnya berkerut dalam sembari memandangi Aurora tidak suka. "Baik. Kamu ungkit-ungkit lagi masa lalu. Kemarin kamu bawa Luan, sekarang kamu bawa Inka," ujarnya datar.

"Memang begitu," sahut Aurora bersikeras. "Kalau pendapatku soal kamu nggak punya niatan untuk meluangkan waktu adalah salah, harusnya kamu tegur dari tadi. Harusnya kamu bujuk aku supaya nggak berpikiran kayak begitu. Karena emang bener, kan? Alasan sibuk itu sebenarnya nggak valid ... itu semua tergantung di mana kamu tempatkan aku dalam skala prioritas kamu. Dan rupanya aku sama sekali nggak penting buat kamu makanya kamu nggak ada niatan untuk luangkan waktu. Kamu cuma sibuk kerja, kerja, kerja, seolah kerjaan kamu itulah istrimu yang sebenarnya. Aku nggak tahu di mana posisiku sebenarnya buatmu. Padahal aku pikir kita bisa berbahagia, tapi malahan aku harus rebutan perhatian sama laptop kamu," ujarnya pelan.

"Saya bener-bener nggak ngerti dengan jalan pikiranmu, Rora. Kamu terlalu overthinking, jadi mikirnya aneh-aneh. Melantur."

"Kalau emang aku salah, ya kamunya juga harus buktikan kalau aku salah. Buktikan kalau kamu memang masih inginkan aku. Tapi bahkan sampai sekarang pun aku nggak bisa dapatkan janji kamu untuk sekedar luangkan waktu lebih banyak. Aku bisa apa lagi?"

Sena menarik nafas panjang, namun tidak merespon.

"Kamu juga nggak mau jujur ada apa sama kamu, kenapa sejak kita menikah kamu jarang sekali perhatikan aku ...," lanjut Aurora.

Masih tidak ada sahutan dari Sena.

Lagi-lagi Aurora mendesak, bertanya, "Apa kamu emang nggak sayang aku lagi ...?" Rasanya pilu mengungkapkan kekecewaannya selama ini, namun yang diajak bicara malah menutup diri, seolah tidak bersedia memberikan penjelasan apa pun.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang