21 - Cemburu dan Dendam

63 2 0
                                    

Apa yang Rora tangisi? Pegang apa sih itu? tanya Luan dalam hati. Tanpa suara dia pun masuk ke dalam, mendekati Aurora, berupaya mencuri pandang apa yang Aurora pegang sambil tangisi seperti itu. Sesekali terdengar suara isakan Aurora samar.

"Sen ...," panggil Aurora lirih, tertangkap indera Luan, yang langsung mengernyitkan kening. Aurora mengusap bingkai tersebut penuh perasaan.

Ternyata ia memegang foto Sena, Luan menyadari. Aurora masih saja menangisi Sena.

Gemuruh di dada Luan sama ramainya dengan gemuruh dalam kepalanya, seolah tengah berlomba-lomba mengeruhkan pikirannya. Sebelum dia melakukan hal yang tidak diinginkan, Luan perlahan melangkah mundur, selangkah demi selangkah, tanpa suara, sebelum akhirnya keluar dari kamar Aurora.

Sena. Meski lu udah menikah pun, lu tetap ada di dalam hati Rora. Lu masih saja ditangisi oleh Rora! Padahal lu udah menikah! Bukannya segera move on, tapi sampai sekarang Rora masih berduka?? Apa sih yang lu punya, Sena??? Apa yang lu punya yang gue nggak punya?!

Luan menghempaskan diri di atas sofa di teras belakang rumah. Wajahnya benar-benar masam. Pemandangan langit sore di hari Minggu yang cerah itu, suara burung bernyanyi merdu di kejauhan, tak mampu meredakan gemuruh di dadanya.

Sebenarnya apa yang lu punya? Kenapa lu selalu ... SELALU saja, bikin hidup gue berantakan? Lu yang kerap dianakemaskan Santoso meski Santoso nggak pernah mau mengaku. Lu yang dibela-belain Santoso dan nggak menganggap gue, padahal gue yang membawa namanya! Lu, bahkan lu nggak dibebankan tanggung jawab dengan mengurus perusahaan, nggak ada tekanan apa pun buat lu, hidup lu bebas! Bebas! Sebebas burung! Lu bisa lakukan apa pun seturut kehendak hati! Lu yang dapatkan semua itu! Dan sekarang, meski gue berstatus suami Aurora, tapi Rora tetap nggak anggap gue, hanya karena lu, Sena!! Rora masih saja menangisi lu setelah sekian lama! Sebenarnya apa yang lu miliki tapi gue nggak?!

Berulang kali lontaran kemarahan Luan terhadap Sena bergaung di dalam kepalanya. Mengapa, mengapa, mengapa? Ribuan mengapa, ribuan apa, semua membuat pemikiran Luan sungguh keruh. Namun suatu ketika, entah mengapa dan bagaimana, sebuah wajah tiba-tiba terbayang di dalam kepalanya. Wajah yang manis dan enak dilihat, milik Inka Maharani.

Luan teringat kejadian beberapa hari lalu saat jam makan siang di kantor. Luan bermaksud ke pantry untuk mengisi tumbler miliknya namun langkahnya terhenti di ambang pintu pantry saat menyadari keberadaan Inka di dalam. Inka, karyawati berambut ikal yang kini telah menjadi istri orang itu tampak tengah melakukan panggilan video dengan seseorang.

Tertangkap di telinga Luan, suara manis nan manja Inka berkata, "Sayang ... udah dimakan belum bekalnya?"

Suara Sena menyahut, "Ini lagi mau makan. Kamu sendiri, udah makan?"

"Sama, aku juga baru mau makan ...."

"Kamu bawain apa sih ini ... wah! Ini sih kesukaan aku!"

"Hihihi ... iya dong, aku kan harus siapkan bekal yang selain bergizi, juga harus enak di lidah. Biar kamu semangat terus!"

"Kamu emang bener-bener ya ... istri idamanku. Makasih ya, Sayang."

"Nggak usah makasih segala, Sayang. Kan udah tugas dan kewajiban aku sebagai istri .... Yuk makan, yuk? .... Enak, nggak, Sayang?"

"Enak. Enak banget. Masakan yang dibuat dengan cinta, pasti enaklah."

"Uuuh. Kamu bisaaa aja!"

Siapa yang tidak akan iri melihat pasangan suami istri romantis? Jauh berbeda dengan yang Luan alami. Jangankan dibawakan bekal, bisa berbincang santai dan enak dengan istri pun, Luan tidak pernah!

"Hari ini banyak kerjaan, Sayang?" Inka masih berbincang, sementara tangannya mulai menyendok nasi bekal miliknya.

"Hmm. Lumayan banyak nih."

"Ooh. Tapi bisa pulang cepat, kan? Aku nanti mau tenggo ah. Jam lima teng langsung go. Kamu jemput aku yah? Pulang bareng ...."

"Lihat nanti ... kalau kerjaanku belum kelar, gimana?"

"Yaa usahain udah kelar dong, Sayang. Masa aku pulang sendiri?"

"Hehe. Iya iya."

"Jemput yah, Sayang. Emangnya kamu nggak takut istrinya diculik orang?"

"Hus. Jangan ngomong sembarangan."

"Hihihi."

"Aku kelarin kerjaan aku secepatnya. Aku nggak bisa nolak kamulah, kamu tahu itu."

"Hihihi. Gitu dongg! Lagian kan harus puas-puasin naik mobil baru ... akhirnya bisa juga ngerasain pulang pergi kantor naik mobil. Udah nggak zamannya lagi naik bus seperti sebelum kita nikah! Iya kan, Sayang?"

"Haha. Kamu ini."

"Bener-bener yah, aku tuh nggak sangka lho. Beneran. Sama sekali nggak pernah nyangka kalau kamu tuh ternyata seakrab itu sama owner kantor aku! Beliau baik banget sama kamu sejak kamu sekolah, kan? Kasih kamu beasiswa ... kasih ini itu ... terus sebagai hadiah pernikahan kita, beliau kasih mobil baru! Kalau belum kenal keluarga kamu, orang pasti sangka kalau kamu anak beliau deh."

Santoso kasih hadiah mobil. Luan berkata dalam hati. Oke. Padahal saat mereka menikah, gue nggak lihat keberadaan Santoso. Tapi hadiahnya tetap diberikan, rupanya. Apa lagi yang sudah dia berikan?

"Masa iya sih," sahut Sena, tertawa ringan. "Beliau baik karena menurutnya, pernah hutang budi sama almarhumah mama. Aku jaga silaturahmi saja dengan beliau, toh, nggak ada salahnya menjaga silaturahmi dengan kerabat."

"Iya! Aku setuju!"

Luan malas mendengarkan lebih lanjut, bila diteruskan, rasa sakit di dadanya semakin tidak keruan. Maka dia melangkah masuk dengan santai, pura-pura terkejut akan keberadaan Inka. "Lho. Ada Inka," sapanya.

"Eh." Inka sedikit salah tingkah. "Mari makan, Pak Luan?"

"Silakan," sahut Luan sambil mengisi botol tumbler dengan air dari dispenser. Sesekali dia mencuri pandang pada isi bekal yang dibawa Inka. Nasi, ayam goreng mentega, tumisan sayur, lengkap dengan potongan buah segar dan minuman yogurt kemasan. "Wah. Lengkap sekali bekalmu," komentarnya.

Inka terkekeh. "Iya nih Pak ... sekalian masak buat suami," jawabnya malu-malu.

Terbayang dalam benak Luan, Sena juga menikmati bekal yang sama seperti Inka. Seperti apa rasanya bisa menikmati bekal makan siang yang dibuatkan dengan penuh cinta oleh istri sendiri? Luan mungkin tidak akan pernah bisa merasakannya, kecuali Aurora tiba-tiba berubah sikap padanya.

Dan kini, teringat kejadian hari itu, emosi Luan semakin tak terbendung.

Yang lu miliki adalah ... istri yang manis dan pengertian, yang sangat sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri. Yes. Lu punya istri yang baik, Sena. Nggak seperti gue. Inka adalah istri idaman yang bisa masak, yang perhatian, yang nggak malu bermanja pada suami ... jelas terlihat kalau Inka mencintai suaminya dengan segenap hati. Kenapa lagi-lagi hanya lu yang bisa mendapatkan semua itu? Perhatian Santoso. Juga istri yang baik. Kenapa gue nggak bisa mendapatkan yang sama? Dan kenapa gue nggak rebut aja perhatian Inka, bikin dia berpaling dari lu, supaya gue akhirnya bisa melihat lu sebagai loser. Pecundang. Lu nggak pantas bahagia, Sen, karena lu udah rebut semua yang ada pada Aurora dari gue, terutama hatinya. Lu nggak pantas bahagia. Akan gue buat hidup lu seperti di neraka.

Sebuah senyum terukir di wajah Luan, di penghujung lamunannya kali itu. Senyum yang jauh dari vibrasi positif ... apa yang akan Luan lakukan?

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang