"Aurora," panggil Sena. "Kamu jangan pikirkan soal ini, saya nggak mau kamu ikut jadi terbawa beban pikiran."
Aurora menggeleng cepat. "Nggak Sen, justru aku harus ikut bantu kamu memikirkan jalan keluarnya. Karena itulah fungsiku, menemani kamu ... Kita pikirkan semuanya bersama-sama ya."
"Jalan keluar," sahut Sena sambil mendengus pasrah. "Seakan ada jalan keluar. Uang sebanyak itu dari mana. Melihatnya saja nggak pernah."
Aurora mendesah. Seandainya Aurora masih bisa mengakses rekeningnya di bank, tentu Aurora tidak akan ragu mengeluarkan sedemikian banyak untuk menyelamatkan Sena dari jeratan hutang. Semenjak ia pergi dari rumah, ia tidak membawa uang sepeser pun. Rekeningnya pun dibekukan, tentu saja oleh Roland Wardana, sebagai reaksi sang ayah terhadap perbuatan yang ia lakukan.
"Aku ... Aku akan coba hubungi teman-temanku, siapa tahu mereka bisa bantu," ujar Aurora gamang. Tanpa buang waktu ia segera mengirimkan pesan pada beberapa teman dan sahabatnya, berharap yang terbaik.
Baru kali ini Sena merasa begitu rapuh, tak berdaya. Dia cemas akan hari esok, hari yang diharapnya tidak akan pernah ada. Sempat bermunculan pemikiran untuk meminta tolong pada seseorang yang pada zaman dulu pernah berjasa dengan menyekolahkannya di sekolah elit, sosok yang dermawan dan murah hati, namun Sena segera menepis pemikiran itu. Tidak pantas. Selama ini tidak pernah menjaga silaturahmi, tahu-tahu datang dan meminta dipinjamkan uang sedemikian banyak ... Sena tidak akan melakukan itu.
Aurora meremas tangannya sendiri saat membaca balasan pesan dari beberapa sahabat yang ia mintai tolong. Semuanya berkata senada : 'maaf'. Ada pula yang menjawab, tidak bisa memberikan bantuan apa pun karena tidak ingin terlibat dalam masalah Aurora. Entah mengapa Aurora yakin betul semua teman-temannya sudah diancam oleh Roland agar jangan ada yang membantu dirinya dalam hal apa pun, terutama dalam hal finansial.
Mengapa permasalahan Sena ini harus datang di saat ia sudah tidak bisa lagi mengakses fasilitas yang selama ini dimilikinya? Seakan semesta sengaja menunggu di saat dimana Aurora tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Senanya yang tersayang.
Sebuah nama berkelebat di benak Aurora. Luan.
Hanya nama Luan yang belum ia hubungi sampai saat ini. Maukah Luan membantunya?
Maka ia pun mengirim pesan pada Luan [Luan, apa kabar?]
Langsung ada jawaban dari Luan [Hey, Ra. I'm good. And you?]
Tangan Aurora gemetar saat mengetik balasan [Aku baik. Luan, aku mau minta tolong sesuatu sama kamu ... Bisa?]
Luan menyahut [Apa itu?]
Ragu, itulah yang dirasakan Aurora. Benarkah tidak apa meminta tolong pada Luan? Tapi siapa lagi yang bisa dimintai tolong? Aurora tidak mungkin mengambil uangnya sendiri, jika saja ia bisa, tentu ia tidak akan tinggal di kost kecil yang pengap seperti saat ini. Aurora juga sudah tidak bisa mengharapkan bantuan dari teman, semuanya pasti kena larangan oleh Roland. Hanya tinggal Luan yang mungkin masih bisa membantunya.
Maka Aurora membalas [Aku sedang ada masalah ... Butuh uang dalam jumlah besar. Apa aku bisa pinjam?]
[Tentu. Butuh berapa?] jawab Luan.
Harapan Aurora seketika menggelegak. Sudah pasti Luan memiliki uang sebanyak itu, dan, jika dilihat dari pesannya, sepertinya Luan tidak ragu mengeluarkan berapa pun yang ia minta.
"Sen!" seru Aurora tertahan. "Luan ... Luan pasti bisa bantu kita!"
Sena mengerutkan kening. "Luan ... Tunangan kamu?"
"Mantan," koreksi Aurora cepat. "Dia mau bantu kelihatannya!"
"Jangan. Jangan, Ra," cegah Sena. "Gimana ceritanya minta tolong ke orang yang udah kamu tinggalkan sesaat sebelum bertunangan-"
"Nggak apa, dia mau bantu, Sen," jawab Aurora. Dibacanya pesan Luan yang masuk lagi ke dalam ponselnya.
[Butuh berapa, Ra? Ayo ketemuan, supaya lebih enak ngobrolnya.] ujar Luan kemudian.
Aurora membalas [Oke. Ketemu di tempat biasa.]
***
Aurora tidak terlihat glamor seperti yang biasa Luan lihat sebelumnya. Tidak mengenakan riasan. Rambut juga hanya disisir seadanya. Luan diam-diam menggelengkan kepalanya.
"Luan," panggil Aurora. "Aku senang kamu bersedia bantu aku."
Luan memaksakan dirinya tersenyum. "How can I say no to you, Ra," sahutnya.
Aurora gelisah duduk di tempatnya. "Kamu ... Pasti kamu marah dan kecewa sama aku, kan? Tapi kenapa kamu masih mau bantu aku?"
"Aku patah hati. Sungguh, Ra. Yang kamu lakukan itu, kejam," ujar Luan pelan. "Aku sakit hati hingga kalau aku mau menuruti egoku, benar, untuk apa aku membantumu? Kamu sekarang lusuh, dan rasakanlah itu. Itu akibatnya kalau kamu memilih bersama dengan orang seperti pacarmu itu."
Aurora tidak menjawab.
"Dan kamu masih tetap lebih memilih dia," kata Luan lagi.
"Maaf," sahut Aurora. "Maafkan aku.."
"Tapi ini dan itu lain hal ya," ujar Luan dalam sekali tarikan nafas. "Bagaimana pun kamu pernah menjadi orang spesial buatku, dan itu saja sudah cukup menjadi alasan aku mau membantumu."
"Jadi ... Kamu benar-benar mau bantu, kan?" tanya Aurora penuh harap.
Luan mengeluarkan buku cek dan pena dari saku jasnya. "Berapa banyak yang kamu butuhkan?" tanyanya enteng.
"Emm. Sepuluh. Sepuluh miliar," jawab Aurora.
Berdebar Aurora menyaksikan betapa mudahnya Luan menggoreskan pena di atas selembar cek, menuliskan sejumlah nominal yang bukan main-main. Luan segera menyerahkan lembaran cek itu pada Aurora.
Lega rasanya bagi Aurora, melihat angka yang tertera pada cek itu. Masalah Sena sudah bisa teratasi!
"Trims, trims yah, Luan," ujar Aurora penuh syukur. "Aku janji akan kembalikan uang kamu ini, secepatnya. Apa kamu keberatan kalau aku cicil?"
Luan melambaikan tangan di udara. "Tidak perlu kamu kembalikan. Anggap saja hibah dariku, spesial buat kamu, Ra," katanya.
Mata Aurora membulat tidak percaya. "Beneran?"
Luan mengangguk. "Aku sungguh-sungguh."
"Oh my God," desis Aurora. "Tapi ... Tapi?"
"Tapi tentu saja ada syaratnya, Ra," potong Luan.
Ini dia yang ditakutkan oleh Aurora. "A-apa itu?" tanyanya.
"Karena perbuatanmu, keluargaku juga terpaksa menanggung malu. Kehilangan muka. Aku mau kamu kembali pada ayahmu dan bertunangan lagi denganku," jawab Luan. Dia tahu Aurora akan menjawab, maka dia melanjutkan. "Semata agar nama keluarga kita kembali pulih seperti sedia kala, Ra. Hanya sebatas pertunangan. Toh kan nggak harus lanjut sampai menikah? Katakan saja nanti, kalau kita berdua sama-sama sepakat bahwa udah nggak ada kecocokan antara kita berdua, dan kita kembali bebas. Bagaimana?"
Bertunangan lagi dengan Luan? ulang Aurora dalam hati.
Seharusnya Aurora menolak syarat yang Luan berikan.
"Tapi ...." Aurora tidak menyelesaikan perkataannya.
Luan memandangi Aurora dalam diam, menunggu.
Tapi saat ini Sena sangat membutuhkan uang itu! Selama beberapa menit Aurora bergumul dengan dirinya sendiri.
"Hanya sampai pertunangan aja? Setelah itu, sudah? Kamu bisa jamin?" tanya Aurora ragu.
Luan mengangguk sambil tersenyum. "Sesungguhnya aku masih belajar menerima kenyataan bahwa kamu udah nggak ada rasa lagi padaku. Meski sulit, tapi aku pasti bisa move on. Hanya saja sekarang ini nama baik keluarga harus kita prioritaskan, Aurora. Untuk mewujudkan itu kita harus rela berakting untuk sementara waktu, sampai acara pertunangan kita terlaksana. Setelah itu, kita bisa berpisah baik-baik. Kamu kenal aku kan, aku bukan tipe orang sadistis, yang senang melihat pasanganku menderita hidup bersamaku. Aku nggak akan menghalangi hubungan kamu dengan dia, hanya saja, acara kita harus tetap terlaksana agar aku bisa melepasmu," tuturnya.
Aurora menggigit bibir. "Apa aku bisa pegang omongan kamu, Luan?"
"Apa aku pernah menipumu selama ini?" Luan balik bertanya. Dia tahu dia sudah berhasil meyakinkan Aurora.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...