"Janinnya ada dua," ulang Inka menahan emosi. "Udah pun aku merasa bersalah pada Sena karena hamil, sekarang malahan hasil kesalahan itu ada dua, double!! Aku ... aku ... aku nggak punya muka lagi ketemu Sena!! Aku nggak mau ketemu Sena ... aku harus gimana?" ratapnya nelangsa. Ia pun memukul-mukuli perutnya sambil merutuk, "Ini kesalahan, kesalahan! Kenapa harus sampai jadi, sih??"
Luan spontan mencengkeram tangan Inka, menahannya kuat agar tidak lagi memukuli perutnya. "Anak kamu bukan kesalahan!" sentak Luan yang rupanya tidak terima mendengar ucapan Inka. "Bayi tidak pernah salah apa-apa, jangan pernah menyebutnya kesalahan," ujarnya tegas.
"Tapi ini memang salah! Karena bukan dari hasil pernikahan yang resmi!" Inka berkeras.
Luan cepat menyanggah, "Bukan kesalahan! Bayi nggak punya dosa!"
"Luan, kamu mikir nggak sihh??" keluh Inka. "Kamu pikir apa alasan aku kasih tahu kalau aku hamil? Sedikit banyak aku ada keinginan ... aku ingin mendengar kamu melakukan sesuatu sebagai bentuk tanggung jawab kamu! Tapi ... tapi dari yang kamu katakan, aku bisa menangkap kalau kamu nggak ada maksud tanggung jawab ke aku, malahan membiarkan Sena yang bertanggung jawab, dengan alasan dia adalah suamiku! Kita sama-sama tahu benih siapa yang berhasil membuatku hamil, dan itu bukan Sena ... itu benih kamu. Kamu nggak berniat tanggung jawab dan limpahkan tanggung jawab itu pada Sena yang nggak bersalah ... lalu sekarang ternyata bayinya ada dua! Sena menanggung hidup dua bayi yang sebenarnya bukan berasal darinya! Kamu setega itu, Luan?" Inka memandangi Luan kalut.
Cukup lama Luan terdiam, tampak fokus merancang sesuatu dalam benaknya.
"Luan, kamu dengar nggak?" tegur Inka.
"Jangan ke dokter ini lagi, Inka," ujar Luan setelah lama terdiam.
"He?"
"Saat kamu pulang nanti, lakukan seperti yang saya katakan tadi. Bersikaplah gembira menyambut kehamilan ini. Jangan katakan pada Sena kalau kamu sempat kontrol dan USG di sini. Kamu dan Sena yang harus pergi ke dokter kandungan berdua, dengan begitu dia tidak akan curiga sama sekali. Beri saya waktu sampai sore, nanti akan saya kirim alamat dokter kandungan yang mulai sekarang harus kamu temui," ujar Luan. "Harus dokter yang akan saya kenalkan. Harus, harus dia!" tegasnya, memberi penekanan pada kata harus. "Kamu paham?"
"He? M-maksudnya ... kenapa ...." Terang Inka bingung mendengar ucapan Luan.
"Saya akan urus semuanya. Kamu tidak perlu kuatir, semua akan baik-baik saja selama kamu mengikuti perintah saya," kata Luan tegas.
"Tunggu! Maksud kamu apa sih, Luan?"
"Inka." Luan mengambil nafas dalam-dalam. "Bayimu ada dua. Berikan satu bayimu pada saya nanti, segera setelah lahir."
Mata Inka membelalak lebar mendengar itu. "K-kamu gila!!" serunya.
"Dokter kenalan saya yang akan memberikan diagnosis bahwa kehamilanmu normal-normal saja, semua sehat. Dan yang ada di dalam, hanya ada satu janin. Jangan sampai Sena mengetahui bahwa yang tumbuh dalam rahimmu ada dua nyawa," terang Luan.
"Kamu bermaksud mengambil bayi aku?!" cecar Inka tidak terima.
"Bukankah fair? Kamu bilang aku harus tanggung jawab, kan?"
"Iya tapi maksudku bukan seperti ituu!!" Inka benar-benar tidak menyangka Luan akan bertindak sejauh itu. Meminta satu bayinya? Apa-apaan itu?
"Kamu dan Sena mendapat satu bayi, dan saya juga mendapat satu bayi. Bagaimana pun, yang membuahimu adalah saya. Saya tetap punya hak karena saya menyumbang benih saya padamu. Bayi yang akan kamu urus sendiri, kamu bisa anggap bahwa dia berasal dari Sena. Tak perlu ingat saya lagi, saya sudah cukup puas dengan mendapatkan satu bayi untuk saya urus sendiri," lanjut Luan, tampak sangat yakin dengan rencana yang dirancangnya sendiri.
Wajah Inka semakin pias. Ibu macam apa yang akan membiarkan orang lain mengambil bayinya? Bayi itu akan dipisahkan dari ibu yang melahirkannya ... akan dipisahkan juga dari saudara kembarnya .... Orang macam apa yang bisa-bisanya berbuat sekejam itu pada bayi tidak berdosa?
Wanita berbibir mungil itu memandangi Luan seolah menunggu, berharap Luan akan mengoreksi niatannya, atau kalau tidak, berharap Luan tiba-tiba menyeringai jahil sambil berkata bahwa dia hanya bercanda.
"K-kamu ... kamu bercanda, kan, Luan?" Inka terbata, bertanya memastikan.
Tapi sayangnya ekspresi pria di sampingnya itu sama sekali tidak berubah.
Luan menggelengkan kepala. "Tidak. Saya serius," jawabnya tegas.
Inka merinding menyadari Luan ternyata benar-benar serius dengan ucapannya.
"Yang harus kamu camkan, Inka, saya tidak menerima penolakanmu. Saya harus, harus, meminta satu bayi kamu untuk saya bawa pulang," lanjut Luan. "Kamu tahu sendiri, saya dan istri tidak pernah berhubungan. Dari semenjak menikah, sampai sekarang pun, kami sama sekali tidak pernah berhubungan suami istri. Sementara saya juga diwajibkan untuk segera memberikan cucu sebagai penerus keluarga saya. Lalu bagaimana saya bisa memiliki anak? Tapi denganmu, langsung jadi ... bahkan langsung jadi dua. Saya yakin ini adalah bentuk dukungan dari semesta, Inka, agar saya juga bisa memiliki anak yang bisa saya asuh dan rawat sendiri. Apa pun pendapat kamu terhadap saya, saya tidak ambil pusing. Yang jelas, saya akan membawa satu bayimu."
"Sampai kapan pun saya nggak akan serahkan bayi saya pada kamu!" seru Inka marah, dadanya bergemuruh mendengar permintaan ajaib Luan yang tidak berperikemanusiaan itu. "Kamu tuh gila! Mana mungkin aku biarkan kamu membawa bayiku! Sakit!"
"Inka ...," panggil Luan.
"Nggak! Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan nurutin kamu kali ini! Enak aja, udah bikin hamil orang, sekarang anaknya diminta pula! Gila! Bukannya tanggung jawab dengan cara yang bener, malah ngelantur parah! Aku jadi nyesel ngadu kalau aku hamil! Tahu gitu aku diem-diem aja!" Inka mencerocos penuh nafsu.
Luan menarik nafas dalam, raut wajahnya tampak seperti tengah memperhitungkan sesuatu. "Dengar, Inka. Jangan naif. Saya masih menyimpan foto dan videomu saat sedang intim dengan saya, bukankah kamu selalu setuju direkam? Tidak nampak wajah saya di dalam video ... tapi wajahmu, terekam jelas. Kamu tidak mau saya sampai nekad mengirimkan kopi video itu pada Sena, kan?" tanyanya lembut, namun menusuk, sungguh sangat manjur membuat wajah Inka semakin pias.
"J-jahat ...," rengek Inka. "Kamu jahat ...! Kamu ... kenapa kamu jadikan itu senjata ... padahal katamu cuma untuk koleksi pribadi?! Jadi rupanya kamu bohong? Itu bukan untuk koleksi pribadi, tapi untuk mengancam aku? Begitu?"
"Tenang, Inka. Saya tidak ingin berbuat sejauh itu, sungguh," jawab Luan. "Tapi kalau kamu berkeras menolak permintaan saya ... apa boleh buat? Pikirkan itu, Sayang."
"Kenapa kamu jadi sejahat ini, Luan ... padahal aku percaya sama kamu ...." Inka memelas, baru kali ini ia menguak sisi lain seorang Luan.
ps:Bab 30 udah tersedia di platform lain ya! Bisa kamu baca di KaryaKarsa, dengan judul "My Manipulative Husband". Link KaryaKarsanya ada di bit.ly/ihateyouhusband
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...