57 - Luan Ternyata Calon Suami Inka

57 2 0
                                    

"Kamu akan bertahan sampai kapan?"

Gelengan lemah kepala Aurora menjadi jawaban.

"Saya rasa ... Sena sudah berbuat benar dengan membebaskan kamu. Dia sudah memikirkannya, dan baginya, yang terbaik adalah membebaskan kamu. Kalau dia merasa yakin bisa memberikan kamu kebahagiaan, dia nggak akan mengatakan itu. Dia akan membuat janji, akan meminta kamu menunggunya sampai dia siap. Tapi nggak demikian, kan? Dia tahu dia nggak bisa membahagiakan kamu, makanya melepasmu," tutur Luan.

Aurora merenung lama.

"Saya yakin ini berat dan pahit buatmu ... tapi, ayo semangat, Rora, kamu pasti bisa menghadapi ini," ujar Luan lagi sambil tersenyum lembut, menggenggam tangan Aurora dengan hangat.

"Aku jadi janda lagi ... huh?" Aurora tertawa miris.

Luan berkata dalam hati, Dulu kita bercerai, kamu adalah janda yang masih perawan lantaran saya nggak pernah sentuh kamu. Sekarang kamu akan berpisah dari Sena .... Damn. Kalau dipikir, Sena itu sangat beruntung. Dia pria pertama buat Inka, sekaligus pria pertama buat Aurora. Bodoh sekali, bisa-bisanya melepas wanita seperti Rora. Sungguh. Bodoh. Dari dulu saya meragukan kecerdasan orang itu, sekarang makin terbukti .... Ahh. Sudahlah, Luan. Itu rezeki Sena, dan mau bagaimanapun, dia saudara saya. Agak amaze juga waktu tadi Rora bilang kalau Sena menyimpan rasa bersalah juga pada saya .... Yah. Mungkin suatu saat saya harus mengajaknya minum kopi, ngobrol yang enak. Mungkin. Kalau niat.

"Apalah janda, hanya status," sahut Luan sekenanya.

"Aku menyesal pisah sama kamu ... Luan," rintih Aurora.

Segera saja Luan merasakan gundah, tak nyaman duduk di kursinya.

"Apa kita ... apa kita nggak bisa ... balikan lagi?" bisik Aurora, menatap Luan penuh harap.

Merasa semakin tak sanggup memandang Aurora, Luan lantas mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Bisakah?" tanya Aurora sekali lagi, namun yang diajak bicara masih tidak memberi respon, membuat dirinya berpikir cepat. "Apa kamu ... euh ... kamu belum menikah lagi, kan? Aku nggak lihat ada cincin di jarimu. Me-memang aku sempat lihat Inka main ke sini ... sama anak-anakmu ... aku berasumsi kalian jadi dekat lagi. Tapi ... tapi kalian belum resmi, kan? Aku masih punya harapan ... kan?"

Luan mengerang tertahan, suaranya seperti angin sepi merayap di malam gelap. "Rora ... Rora .... Seandainya kamu datang lebih cepat ...," desahnya, beban penyesalan terasa menghimpitnya.

Sinar asa yang semula bersinar di bola mata Aurora tiba-tiba memudar, ekspresi di wajahnya kini dipenuhi bayangan kecemasan. Ia menangkap getaran kekecewaan dalam kata-kata Luan, sesuatu yang menghentak hatinya.

"Saya ... baru kemarin saya melamar Inka ...," ujar Luan dengan nada penuh penyesalan, lirih seperti daun yang berguguran di musim gugur. Rasanya sungguh berat mengatakan hal ini, yang mana itu berarti sebuah penolakan. Sungguh, Luan sangat berharap Aurora mendatanginya lebih awal, di saat Luan belum meminta Inka menjadi istrinya.

"Oh ...." Aurora menundukkan kepala dalam-dalam. Sekali lagi, niatan Aurora menyatukan perasaan dengan Luan terhalang hal lain yang tidak mungkin ia ubah.

"Maafkan," bisik Luan.

Aurora menggeleng cepat, berusaha mengusir kekecewaan bertubi yang ia rasakan. "Nggak ... kamu nggak perlu minta maaf," sahutnya, memaksakan diri tersenyum. "Jadi ... wah, kamu bakal nikah sama Inka? Selamat ya ...."

"Bagaimanapun saya memang harus bertanggung jawab atas Juan dan Ian," ujar Luan perlahan. "Meski terlambat dua tahun, tapi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Juan dan Ian sangat membutuhkan orang tua yang lengkap ... agar perkembangan mereka bisa maksimal."

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang