19 - For The Last Time

54 1 0
                                    


"Kamu yakin, Ra?" Luan bertanya kesekian kalinya usai rapi berpakaian. Di hari Minggu siang itu, mereka akan pergi menghadiri resepsi pernikahan Sena dan Inka. Rencananya seperti itu, namun masih ada keraguan dalam diri Luan. Apakah Aurora benar-benar ingin menghadiri acara itu?

Aurora meraih tas tangannya yang berkilauan dari lemari. Meski ia merasa patah hati, namun itu tidak membuatnya lantas malas merias diri. Ia tetap tampil anggun dan berkelas, terlebih siang ini.

"Nanya melulu sih? Udah jelas kita akan pergi ke sana," jawab Aurora sembari memasukkan ponsel ke dalam tasnya.

"Nggak. Aku pikir kamu nggak akan mau pergi ke acara mereka. Untuk apa, kalau malah nantinya kamu jadi terbawa emosi," sahut Luan. "Yakin?"

"Aku nggak akan emosi di sana. Udah habis air mataku. Memangnya kamu nggak sadar juga, sejak tinggal bersama kamu, emosiku sudah terkuras habis. Jadi nggak ada ceritanya aku bakalan emosi di sana, melihat Sena duduk di pelaminan dengan wanita itu ... Siapa namanya? Inka. Iya. Inka itu. Lagian aku penasaran seperti apa bentuknya si Inka," jawab Aurora datar.

Luan diam, tidak menyahut.

"Lagipula, yang diundang kan kamu, beserta istri."

"Benar," jawab Luan sambil tersenyum. Apakah Aurora sudah menerima kenyataan bahwa ia adalah istrinya? Istri sungguhan, bukan hanya sebagai status.

"Jangan ngarep," lanjut Aurora seakan bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Luan. "Aku cuma mendukung pencitraan sebagai istri kamu. Bukannya itu mau kamu? Di luar, kita harus berakting seolah kita pasangan yang harmonis, kan? Bagaimana pun aku setuju ide kamu kali ini. Supaya nggak ada omongan nggak enak tentang aku, mau nggak mau aku harus ikut pencitraan yang kamu lakukan."

Luan menghela nafas panjang. "Baiklah. Trims. Kamu udah siap? Yuk berangkat. Jangan lama-lama di sana, nanti sore papa mama mau ke sini semua, kan?"

"Iya. Yuk."

***

Tak sedetik pun pandangan mata Aurora lepas dari Inka, sang pengantin perempuan yang kini bersanding dengan Sena di atas pelaminan. Pasangan pengantin itu tampak berbahagia, tampil serasi dan menawan dalam balutan pakaian tradisional Deshnea.

Inka? Jadi itu yang namanya Inka? Bogel yah. Dibanding gue, cakepan guelah, nyinyir Aurora dalam hati. Rasa sedih dan kecewa melihat pujaan hati menikah dengan orang lain membuatnya tak sanggup mempertahankan vibrasi positif, ia malahan terbawa emosi dan menjelek-jelekkan orang.

"Ngeliatinnya biasa aja, Ra ...," bisik Luan yang tampaknya menyadari ada aura mengerikan terpancar dari sorot mata Aurora.

Aurora ganti melirik Luan dengan tatapan judes.

"Duh." Luan berlagak ngeri menanggapi reaksi Aurora. "Kamu tahu nggak sih, ada berapa banyak kasus orang meninggal karena sebuah tatapan? Kurasa kamu salah satu orang yang bisa bikin nyawa orang hilang lewat sekedar tatapan mata," katanya sambil mengulum senyum.

"Benar!" tandas Aurora. "Gue nggak segan bikin lu kenapa-kenapa," ujarnya.

"Jangan dong, Ra. Soalnya aku masih pengen menyaksikan wajah cantik kamu. Apalagi kalau lagi judes begini, cantiknya .... nomer satu," rayu Luan.

"Pret," sahut Aurora sekenanya.

Luan belum berniat menghentikan cecar rayuannya. "Tapi jauh lebih cantik lagi kalau kamu tersenyum. Beneran, deh."

Aurora memutar bola matanya. "Dih. Apaan sih, nggak jelas."

"Aku tuh sebenarnya pria yang beruntung, beristrikan wanita secantik kamu. Coba lihat aja, orang-orang sering curi pandang ke arah kita berdua, bukannya perhatikan pasangan pengantin di pelaminan. Itu karena mereka terpukau akan kecantikan kamu, Rora."

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang