Keceriaan Juan dan Ian yang lugu nan menggemaskan rupanya membuat hati Luan terasa begitu hangat. Jadi inilah rasanya bermain dengan anak sendiri, demikian yang kerap terbersit dalam benaknya. Inilah rasanya menjadi seorang ayah. Saat Juan berada di rumahnya dulu selama beberapa bulan, Luan memang sangat jarang menghabiskan waktu bersama Juan, jadi bisa dibilang bahwa Luan baru sekarang ini menikmati perasaan haru bercampur bahagia, bisa bermain bersama anak-anaknya.
Main sama Juan dan Ian ... ditemani ibu mereka. Bukankah ini potret keluarga bahagia? Luan berkata dalam hati, senyum yang terkesan getir terulas di bibirnya.
Kenapa gue nggak bisa wujudkan keluarga seperti ini dengan wanita yang gue cintai sungguh-sungguh? .... Aurora. Luan terhanyut dalam benaknya sendiri. Apa kabar dia? Baru kemarin ulang tahun. Ini udah keberapa kalinya gue nggak ucapkan selamat ulang tahun ke Aurora. Betapa pun gue ingin sekedar kirim pesan ... tapi gue menahan diri. Nggak mungkin lagi berbuat demikian. Kalau gue kirim pesan, meski cuma ucapan selamat ulang tahun, usaha gue move on selama ini bakal sia-sia. Nggak. Gue nggak kepikiran buat ganggu dia lagi. Cukup. Biarkan dia hidup tenang dengan pilihannya, kalau itu bisa membuatnya bahagia.
Luan masih larut dalam lamunan. Dan kalau dipikir .... Gue udah bersikap nggak adil pada Inka selama ini. Gue serahkan Juan dan Ian, membiarkan Inka asuh mereka sendirian dua tahun ini. Sementara gue sibuk merintis usaha gue sendiri. Sibuk menyembuhkan luka dan sesal yang menggunung, yang gue buat sendiri. Padahal ... ternyata semenyenangkan ini bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak ini. Gue udah berbuat nggak adil. Gue salah.
Maka Luan menoleh, menatap mata Inka dengan penuh makna, senyum tipisnya melekat di bibir. "Sesekali ajak Juan dan Ian main ke rumah. Saya tunggu," kata Luan, mengubah suasana menjadi lebih hangat.
Inka terkejut mendengar undangan itu, matanya membulat penuh lantaran terpana. Hati kecilnya berdebar karena sadar bahwa Luan, yang selama ini bersikap dingin, tampaknya bersedia membuka hatinya lagi kepadanya. "Benarkah? Boleh?" tanyanya ragu.
"Boleh, tentu saja. Saya senang bermain dengan mereka," jawab Luan pasti.
"Oh, o-oke. Aku pasti akan mengajak mereka ke rumah kamu. Terima kasih, Luan," ujar Inka sambil tersenyum malu-malu.
Luan hanya mengangguk, tetapi tatapannya mengandung kelembutan yang membuat hati Inka semakin berbunga. Mereka saling pandang sejenak, suasana antara mereka penuh dengan nuansa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
***
Dengan penuh semangat dan hati yang berbunga-bunga, Aurora membuka bingkisan yang Sena bawakan untuknya. Aurora sudah tahu apa yang Sena bawa, sebab ia sendiri yang meminta agar dibelikan terang bulan dengan isian kesukaannya.
"Heran juga, saya pikir kamu pengen dibelikan kado apa buat ulang tahun kamu ... nggak tahunya cuma pengen itu?" Sena mengajak bicara sang istri sambil tersenyum.
Aurora terkekeh. "Iya. Kan udah aku bilang, nggak butuh apa-apa .... Terus tahu-tahu kepikiran terang bulan, ya udah aku minta bawain," jawabnya. "Makasih ya, Sayang."
"Sama-sama." Sena mengangguk. "Makanlah."
Aurora memang tidak sabar ingin segera menikmati terang bulan kesukaannya, namun, saat membuka kotak pembungkusnya, ia tertegun. Tidak terlihat isian martabak yang ia harapkan.
"Yah, Sayang .... Kok, cokelat kacang ...?" tanya Aurora, terdengar kecewa.
"Eh?" Sena terbelalak. "Memangnya bukan itu yang kamu suka? T-tadi kamu bilang bawain terang bulan kesukaanmu ... ya saya pikir, isiannya nggak masalah. Bukannya kamu suka cokelat?"
"Aku suka cokelat juga ... tapi nggak suka kacang. Yang aku bilang kan, terang bulan pake topping kesukaanku. Green tea keju ...," terang Aurora, jelas semakin kecewa.
Sena menepuk dahinya. "Astaga. Jadi saya salah beli dong," sahutnya. "Kamu nggak bilang soal green tea keju."
"Kamunya yang sering lupa ... masa aku harus ingetin terus," timpal Aurora.
"Maaf, Rora. Saya malah salah beli. Udah, biarkan aja itu, saya belikan lagi ya."
Cepat Aurora menggeleng. "Nggak usah," jawabnya. "Nggak usah. Makan yang ini aja. Sayang udah terlanjur beli."
Sena mengangguk, tersenyum. "Oke. Kalau gitu selamat menikmati, saya ke kamar duluan," pamitnya.
"Kamu yakin nggak mau makan malam lagi?"
"Nggak deh, tadi udah sekalian pas meeting," jawab Sena sambil berlalu meninggalkan Aurora di ruang makan.
Meeting terus, komentar Aurora dalam hati. Hmm, justru harusnya gue bangga ... Sena sekarang keliatannya makin terbiasa dan enjoy jadi eksmud. Memang ini yang pantas buat dia, sih. Cuma akibatnya gue yang jadi jarang diperhatikan.
Aurora mengambil sepotong terang bulan, mencicipinya segigit. Uh ... kurang enak, keluhnya dalam hati. Coba isiannya seperti yang gue mau. Kenapa sih Sena pelupa banget soal kecil seperti ini? Nggak peka lagi.
Ia yang tadinya bermaksud mengonsumsi terang bulan sebagai pengganti makan malam, malah berubah pikiran. Didorongnya piring berisi kudapan itu lalu meneguk air banyak-banyak.
Kalau Luan ... dia nggak pernah salah beli makanan yang gue pengenin .... Selalu tahu gue maunya green tea keju. Kalau bukan terang bulan ya cokelat impor kesukaan gue. .... Kenapa gue jadi ingat waktu dia rutin beliin ini itu buat bujuk gue .... Semuanya berakhir di tong sampah. Aurora merenung lama. Apalagi waktu dia beliin gue kalung berlian, yang malah gue pretelin semuanya .... Setelah itu, Luan kapok beliin gue macem-macem lagi ....
Gue keterlaluan banget ya. Tangan Aurora mengepal kuat, teringat lagi kenangan manis tapi pahitnya bersama Luan. Sesuatu yang ia tahu, tidak untuk diingat lagi, tapi apa daya, kekurangan Sena membuat Aurora jadi mudah teringat akan Luan.
Gue emang keterlaluan sama Luan ... meski itu bentuk hukuman buatnya karena udah licik, tapi harusnya gue nggak berbuat seperti itu .... Harusnya gue ingat semua kebaikan dia ... harusnya gue nggak perlu liburan lama yang bikin dia malahan bertindak di luar batas sama si Inka .... Harusnya dia nggak malah punya anak dan bikin gue semakin hancur.
Aurora menggigit bibir. Kilas balik semua peristiwa antara dirinya dan Luan yang bagai roller coaster meredupkan semangatnya.
Dia kelihatan menyesal banget waktu gue bilang apa alasan gue kembali ke rumah .... Tapi mau gimana lagi .... Dia punya anak, kembar pula, dan emang harus bertanggung jawab atas Inka dan anak-anak mereka .... Apa kabar Luan sekarang? Apa udah resmi sama Inka?
Aurora menghela nafas panjang. Padahal gue pikir akhirnya bisa berbahagia menikah dengan Sena. Tapi ... tapi ... kenapa malah sekarang gue kayak membayar karma atas apa yang gue perbuat pada Luan? Sena nggak ada perhatian yang bikin hati hangat ... apa iya karena gue yang terlalu menuntut, terlalu banyak maunya? Tapi gue rasa nggak .... Kalau memang punya sifat atentif, memperhatikan gue bukan hal yang sulit ... buktinya Luan selalu bisa perhatiin gue. Kenapa Sena kebalikannya? .... Meski dia baik dan lembut, tapi ... gimana ya?
Teringat sesuatu, Aurora tiba-tiba menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Eh. Gue nggak boleh begitu. Kenapa sih banding-bandingin Sena sama Luan terus? Sena suami gue. Suami gue! Gue harus coba lagi malam ini, ajak Sena .... Semoga malam ini dia nggak nolak, ujarnya membulatkan tekad dalam hati, kemudian segera beranjak masuk ke dalam kamar, menyusul Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...