"Ya udah, cerai aja sekarang," ketus Aurora dengan entengnya.
Luan terperanjat. "Jangan ngomong macem-macem, Ra. Kita belom ada sehari menikah masa kamu udah minta cerai?"
"Lho kamu kan yang dari awalnya yakinkan aku kalau kita kapan pun bisa cerai? Kan yang penting pernikahan udah terjadi! Kamu bilang kamu di pihakku, kamu bilang kamu temanku, terus sekarang kamu ingkar janji? Lebih dari itu, kamu ternyata udah berhasil tipu aku mentah-mentah! Teman macam apa kamu tuh? Sekarang aku tagih janji kamu untuk ceraikan aku!"
"Ya nggak bisa begitu dong, Ra!" seru Luan. Dia menyugar rambutnya dengan kesal. "Okelah, kalau kamu emang mau pisah, tapi nggak harus sekarang ini dong! Tunggu tiga bulan kek, enam bulan, atau setahun! Apa kata orang nanti??"
"Bodo amat!"
"Rora! Kamu boleh marah, tapi jangan ambil keputusan saat kamu marah!" tegur Luan. "Lagipula aku nggak akan ceraikan kamu. Terserah kamu anggap aku seperti apa, kita akan tetap jadi suami istri selamanya," gumamnya, yang langsung membuat Aurora semakin tersulut emosi.
"Kamu tuh bener-bener ya! Jahat! Licik!!" teriak Aurora.
"Sssh," bujuk Luan sambil memegang tangan Aurora. "Ini udah malam, kita sama-sama udah capek, butuh istirahat. Jadi, kita tidur yuk?"
Aurora menyentakkan tangan hingga terlepas dari Luan. "Kamu tidur di sofa di luar! Jangan harap bisa seranjang denganku!"
Luan melongo bingung.
"Tunggu apa lagi?? Jangan bengang bengong begitu! Sana keluar!!" usir Aurora sambil mendorong punggung Luan hingga keluar dari ruangan.
Kamar suite mereka memang lega dan lapang. Ada dua ruangan terpisah di dalamnya, satu ruang duduk untuk menonton tv dijadikan satu dengan ruang makan serta dapur bersih, lalu ruang tidur. Aurora segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam usai mengusir Luan.
"Rora!" panggil Luan seraya menggedor pintu pelan. "Ra, tega amat sih aku disuruh tidur di luar?"
Terdengar sahutan dari dalam, "Itu pantas buat lu!"
"Ini kan malam pertama kita, Ra, seriusan aku harus tidur di sini?" bujuk Luan.
"Nggak ada malem pertama malem pertama! Ngarep lu? Pokoknya jangan pernah berharap bisa tidur sama gue!" jawab Aurora dari dalam.
"Rora! Rora ...," panggil Luan lagi. "Rora?" Sama sekali tidak ada sahutan.
Luan berdecak kesal. Ditekannya handle pintu, memang terkunci.
"Ra ..., di sini dingin," ujar Luan.
Masih tidak ada sahutan.
Sepertinya memang Luan harus terima tidur di sofa untuk malam ini. Benar-benar sebuah malam pertama yang berkesan. Berkesan karena pengantin wanita mengusir pengantin pria, menolak untuk tidur seranjang. Sedemikian besarkah rasa benci Aurora pada Luan?
Luan menghempaskan diri di sofa, lalu memijat keningnya. Semoga saja kemarahan Aurora hanya berlaku untuk malam spesial ini. Semoga besok Aurora bisa lebih lunak padanya, semoga. Demikian yang diharapkan oleh Luan.
***
Hari telah berganti, matahari mulai beranjak tinggi. Luan terjaga saat mendengar ponselnya berdering keras di atas meja. Dengan malas dia pun bangun, meraih ponsel lalu menjawabnya sambil menggosok mata. "Halo?"
Suara berat seorang pria terdengar di seberang. "Pagi, Luan."
"Siapa ini?"
"Memang nomor saya nggak disave? Bapakmu ini."
"Oh. Papa," sahut Luan cuek. Dia menggeliat, meregangkan otot yang terasa kaku dan pegal lantaran terpaksa tidur di sofa yang tidak cukup panjang menopang tubuhnya. "Ada apa?"
"Senang, semalam?"
"Hah?" Mata Luan membesar mendengar pertanyaan sang ayah.
Apa-apaan lelaki tua ini. Usil banget pengen tahu urusan malam pertama orang. Malam pertama yang gagal. Kalau sampai dia tahu, mau ditaruh di mana muka gue? gerutu Luan dalam hati.
Santoso mengulang pertanyaannya. "Bagaimana semalam? Senang tidak?"
Segala pake diulang nanyanya. Kepo amat sih?? batin Luan. Namun dia menyahut dengan balas bertanya, "Ngapain Papa tanya-tanya?"
Terdengar tawa di seberang telepon.
"Nggak ada apa-apa. Cuma mau memastikan kamu sudah melakukan yang benar."
"Benar? Menurut siapa?"
"Kamu lepas di dalam, kan? Duh, nggak apa ya Papa blak-blakan begini? Papa cuma ingin menantu Papa bisa segera hamil, itu saja."
Hamil, ulang Luan dalam hati. Gimana bisa hamil, nyatu aja nggak. Hamil nasi, paling banter.
Luan masih membatin saat Aurora keluar dari kamar, langsung menuju dapur dan mengambil minum. Sedikit pun ia tidak menoleh pada Luan, sementara Luan memandanginya tanpa berucap.
"Hey, gimana? Dengar tidak?"
Luan tersentak kaget. "Hah? Oh. Iya."
"Sudah saatnya regenerasi. Sudah waktunya juga buatmu untuk meneruskan nama Tamawijaya, Luan. Kamu harus sadari itu. Kalau perlu waktu untuk program hamil, dan untuk itu kamu butuh libur, silakan! Papa kasih kamu izin cuti selama yang kamu mau. Yang terpenting kamu harus segera berikan saya cucu."
"Pa," panggil Luan, merasa tidak nyaman. "Apa nggak bisa urusan itu nanti-nanti saja? Saya belum siap."
"Apanya yang belum siap? Apa yang membuatmu belum siap? Kamu kan sudah resmi menjadi suami Aurora, apa lagi yang kamu tunggu?"
Luan menatap Aurora yang masih berdiri di dapur sambil menjawab, "Punya anak kan butuh kesiapan juga, Pa. Kalau belum siap mentalnya jadi orang tua, gimana?"
Aurora, tidak mungkin tidak mendengar ucapan Luan yang masih menelepon itu. Ia meringis jijik saat menyadari maksud Luan.
"Omong kosong apa itu? Kamu dikasih enak tinggal membuahi istri sendiri, apa susahnya? Soal mental apa pun itu, nanti juga terbentuk sendiri saat kamu sudah gendong bayimu sendiri. Naluri kebapakanmu pasti muncul dengan sendirinya."
Luan merasa semakin tidak nyaman. "Pa, sudah dulu. A-Aurora manggil," kelitnya.
Santoso tertawa puas lagi dari seberang. "Oke oke! Saya juga nggak mau ganggu pengantin baru. Bersenang-senanglah! Sampai jumpa."
Luan melengos lega saat Santoso mematikan sambungan telepon. Dia pun membatin, Kenapa jadi gue yang digas disuruh beranak, disuruh meneruskan nama keluarga? Apa kabarnya anak lu yang lain, Santoso? Si Sena anak haram lu? Sampai selamanya dia bakal bebas dari tuntutan lu?
Luan menghela nafas panjang. Harus segera punya anak ya. Harus segera ambil hati Aurora lagi supaya mau gue dekati, jangan buang waktu, tekadnya dalam hati.
Sebuah senyuman hangat terukir di bibir Luan, dialamatkan pada Aurora. "Pagi, Rora," sapanya. "Enak tidurmu semalam?"
"Apa urusan lu," jawab Aurora datar.
Luan mengangkat bahu. "Aku lapar. Siap-siap sarapan di bawah yuk?" ajaknya.
"Papa kamu bilang apa?" Aurora rupanya penasaran juga dengan obrolan Luan tadi di telepon.
Luan terdiam sejenak. Dia malah balik bertanya, "Kalau kuceritakan, kamu sanggup penuhi?"
"Hanya penasaran."
"Papa minta aku segera kasih dia cucu. Papa pengen kamu segera hamil," jawab Luan sambil menatap mata Aurora.
Mudah diterka, gantian Aurora yang terbelalak mendengar jawaban Luan tersebut. Ia tidak menjawab, tapi Luan bisa menangkap adanya keengganan yang absolut dari ekspresi Aurora.
"Aku rasa, papa dan mamamu juga sama. Bakal menunggu-nunggu kehadiran cucu. Sekarang aku tanya, Rora. Bagaimana caranya kamu bisa berikan mereka cucu kalau kamu bersikap dingin seperti ini?" tanya Luan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...