Luan duduk termenung di ruang kerjanya, matanya kosong menatap dokumen gugatan cerai yang masih tergeletak di atas meja tanpa tanda tangan. Stres membelenggu dirinya, melunturkan semangat hidup yang sepertinya sudah hilang entah ke mana. Pandangan kosongnya mencerminkan kekecewaan, terutama karena perhatian dari Santoso yang tak akan pernah dia dapatkan.
Ketidakpastian melingkupi hidupnya, dan kesempatan untuk bersama Aurora telah sirna. Dukungan yang diharapkannya dari Roland juga lenyap begitu saja, meninggalkannya dalam kehampaan. Luan merasa terpinggirkan dan kehilangan arah.
Saat dia mencoba mengenang momen bersama Inka, selingkuhan sekaligus ibu dari anak-anaknya, rasanya seperti menggali luka yang semakin dalam. Ingatan itu tidak membawa kehangatan atau kelegaan, melainkan pahit dan pedih. Kehadiran Inka di pikiran Luan hanya menambah beban emosionalnya, mengingatkannya akan kesalahan yang telah terjadi dan melukai hati Rora, wanita yang seharusnya menjadi pasangan sejati baginya.
Dalam kegelapan pikirannya, Luan mencari-cari arti dari segala yang terjadi. Semua seperti berantakan, dan dia merasa kehilangan landasan. Bagi Luan, hidup terasa semakin sulit dan tak jelas, seperti hujan deras yang tak kunjung reda.
Sementara dia tengah dalam lamunan, teleponnya berdering, mengumumkan panggilan dari sekretarisnya yang memberitahu bahwa Santoso menunggunya di ruangannya.
Luan bergegas ke ruangan Santoso, tanpa menyadari bahwa Sena juga berada di sana, tengah berbincang dengan bos, sekaligus ayah mereka. Saat Luan melihat Sena, senyum sinis terukir di wajahnya, dan Sena membalas tatapannya tanpa ekspresi apa pun. Luan duduk di hadapan Santoso, bersiap untuk mendengar pengumuman yang sepertinya sudah menanti.
Santoso dengan tegas dan tanpa basa basi berujar, "Bersiaplah untuk serah terima jabatan dengan Sena. Kamu akan saya demosi menjadi General Manager."
Luan menatap Santoso dengan ketidakpercayaan, tapi kemudian tersenyum sinis, seolah-olah sudah menduga rencana tersebut.
Santoso melanjutkan, "Kamu harus patuh dan menuruti apa kata Direkturmu yang baru nanti. Sena akan saya percayakan menjadi Direktur menggantikan posisimu."
Luan menanggapi dengan skeptis. "Pengalaman kerja? Apa jam terbangnya cukup untuk memimpin perusahaan? Tolong jangan asal memutuskan hanya karena sentimen pribadi," katanya dingin.
Santoso tetap teguh pendirian, berkata, "Yang sudah saya putuskan tidak akan saya ubah."
Luan hanya tersenyum sinis. Dia melirik Sena yang juga memandanginya tanpa ekspresi khusus.
Dengan dingin, Luan mengeluarkan selembar kertas beramplop dari saku jasnya. "Saya sudah bisa menduga ini adalah langkah pertama yang akan Anda ambil, Bapak Santoso Tamawijaya. Dan daripada saya harus menuruti anak Anda, lebih baik saya yang angkat kaki," katanya sambil menyerahkan surat pengunduran diri.
Santoso menatap surat pengunduran diri yang disodorkan oleh Luan, wajahnya tak berubah meski di dalam hatinya mungkin merasakan kekecewaan. Sena tetap diam, tetapi matanya mengikuti setiap gerakan dalam ruangan tersebut.
Luan, tanpa menunggu reaksi Santoso, melangkah pergi dengan langkah mantap. Seolah menantang, ia melemparkan pandangannya kembali ke arah Santoso sebelum melangkah keluar dari ruangan. Ruangan itu terdiam, hanya terdengar langkah tegap Luan yang semakin menjauh.
Sena, yang baru saja diumumkan akan menggantikan posisi Luan, tidak menunjukkan ekspresi kemenangan atau kegembiraan. Tatapannya beralih dari Luan yang keluar dari ruangan, lalu kembali pada Santoso. Ada sesuatu yang berbeda dalam matanya, mungkin pertanyaan, mungkin pertimbangan. Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang menyebar seperti rintik hujan yang hendak mengguyur.
Setelah beberapa saat, Santoso akhirnya menoleh ke arah Sena, katanya, "Tanggung jawab besar menanti kamu, Sena. Saya harap kamu bisa membawa perusahaan ini ke arah yang lebih baik."
Sena hanya mengangguk, memberikan janji tanpa kata-kata. Ruangan itu kembali diisi dengan keheningan, namun kali ini terasa lebih berat dan penuh makna.
Apakah Luan terima didemosi begitu saja lantaran kehadiran 'anak sulung' yang baru saja diakui oleh Santoso?
Tentu tidak. Luan menghabiskan hari dengan hati dan kepala yang panas, menunggu hingga jam pulang kerja usai. Dia tahu Santoso sudah lebih dahulu pulang ke rumah, di ruangan Santoso hanya ada Sena seorang. Dengan tak sabar dia menunggu hingga Sena keluar dari sana. Saat sosok yang dirindukannya muncul, Luan segera menghampiri Sena dan menghadangnya.
Luan berdiri bersedekap sambil melontarkan tatapan merendahkan. "Rupanya ada yang baru saja naik kasta jadi direktur, huh? Padahal mana pernah ada pengalaman sebesar itu. Posisi Anda itu rentan kalau dipegang oleh orang yang tidak cocok. Kursi panas. Saya yakin Anda hanya akan bertahan sebentar di sana. Paling lama juga tiga minggu."
Sena tersenyum menanggapi Luan. "Jadi seperti inilah mantan direktur Tamawijaya Golden. Gemar memandang rendah orang lain. Akan ada waktunya kesombonganmu itu akan runtuh, Luan," kata Sena percaya diri. "Dan saat itu tiba, semua akan sangat terlambat hingga kamu hanya bisa menangis menyesalinya."
"Imajinasinya boleh juga." Luan mengangkat alis. "Sayangnya nggak pernah ada sejarahnya singa jantan sejati menangis dan memperlihatkan kelemahannya. Beda sih dengan singa jadi-jadian sepertimu. Yang entah sudah berapa kali menangis bawang bombay. Menangis di bahu seorang wanita yang berstatus istri orang. Saya pikir bakat merebut istri orang hanya saya yang punya, rupanya kesayangan Santoso juga ada kecenderungan ke sana."
"Jangan samakan saya denganmu."
"Saya juga nggak sudi disamakan denganmu. Sebelum kamu mendekati Aurora, lebih baik bercerminlah dulu. Apa kelebihanmu? Jantan? Saya rasa tidak. Inka jelas-jelas kekurangan perhatian darimu. Saya hanya membantu Inka memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dia dapatkan dari suaminya. Kesuburanmu juga diragukan. Kenapa dengan saya istrimu bisa langsung hamil? Coba periksa Sen, siapa tau ada keajaiban jangan sampai dokter memvonismu mandul. Menjadi mandul adalah kutukan bagi pria sejati, kamu tahu?"
Ekspresi wajah Sena berubah sesaat, jelas dia tersinggung dengan perkataan Luan. Tapi dia lagi-lagi tersenyum, membalas, "Tidak heran Aurora meninggalkanmu. Tidak heran dia menggugatmu cerai. Lagipula Rora tidak layak menjadi istri orang sepertimu."
Luan tidak dapat lagi menahan emosinya begitu mendengar balasan Sena yang telak menyinggungnya. Tanpa ragu dia melepaskan segala kekesalannya dalam serangan fisik yang tak terduga. Dia menerjang Sena dengan penuh amarah, menggabungkan kecepatan dan kekuatan dalam setiap pukulan yang dilepaskan. Sena, meskipun terkejut dengan reaksi Luan, dengan gesit menghindari beberapa serangan, menunjukkan keahliannya dalam pertahanan diri. Ruangan itu menjadi medan pertempuran tanpa aturan, dengan meja dan kursi terpental sana-sini akibat keganasan pertarungan. Mata kedua pria itu memancarkan api ketidaksenangan, menciptakan aura peperangan di sekeliling mereka. Pertarungan ini tidak hanya fisik, tetapi juga mencerminkan konflik batin dan ambisi yang telah lama terpendam.
Sena bergerak cepat menyarangkan pukulan keras di wajah Luan yang membuat pria itu terjungkal. Dalam kilatan detik, Sena memanfaatkan keunggulan posisinya dengan bijaksana. Pria berkepala dingin itu dengan cermat menangkap setiap gerakan dan napas yang lepas dari Luan yang terkapar di tanah. Dengan lincah, Sena merosot di atas pria itu, mengunci tubuhnya untuk mencegah setiap upaya melarikan diri.
Saat Luan mencoba bangkit, Sena mengarahkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuhnya yang lemah. Pukulan itu terasa seperti dentuman keras yang memenuhi udara, menciptakan irama pukulan yang tak terhindarkan. Wajah Luan mencerminkan kekalahan yang tak terhindarkan, tapi tekadnya masih menyala dalam matanya.
Pertarungan itu mencapai puncak ketegangan, dan setiap pukulan Sena membawa pria itu lebih dekat ke ambang kekalahan. Meskipun begitu, Luan menunjukkan keberanian yang langka, tidak menyerah di bawah tekanan yang tak terelakkan. Sena, meski tenggelam dalam adrenalin pertarungan, tetap berpegang pada kendali dirinya, memastikan setiap gerakannya menghantam sasaran dengan kekuatan maksimal.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...