20 tahun kemudian ....
Dalam ruang kerjanya yang elegan, Luan duduk di kursinya yang nyaman, menatap layar komputer besar di hadapannya setelah selesai rapat yang padat. Aura kepemimpinan terpancar dari wajahnya yang penuh dedikasi, mencerminkan kesuksesan karirnya sebagai seorang CEO yang berpengalaman. Di usianya yang telah berkepala 4, Luan terlihat tenang, namun mata cemerlangnya mengisyaratkan kecerdasan dan ketajaman pikiran.
Sejenak setelah menyelesaikan serangkaian keputusan bisnis, Luan memutuskan untuk memberi dirinya sedikit istirahat. Dia mengambil smartphone-nya dan dengan senyuman lembut, menghubungi dua anak kembarnya yang berada di seberang benua. Juan dan Ian, dua sosok muda berbakat, kini tengah menempuh pendidikan tinggi di Eastland, sebuah petualangan yang telah memasuki tahun ketiga.
Wajah-wajah ceria dan bersemangat Juan dan Ian muncul di layar, membawa kegembiraan dan kehangatan suasana ke dalam ruangan yang sebelumnya dipenuhi kesibukan. Keduanya tampak segar, mungkin karena baru saja kembali dari liburan. Suara tawa mereka yang bersahaja seolah membawa semangat ke dalam ruang kerja Luan.
"Dad! How's it going?" sapa Juan dengan penuh semangat, sementara Ian mengangguk setuju di sampingnya. Mata keduanya berbinar-binar, penuh antusiasme menyambut hari perkuliahan yang akan kembali menjadi rutinitas mereka.
Luan tersenyum hangat, merasa bangga melihat anak-anaknya yang begitu bersemangat dan ceria. Kedua anak itu semakin hari semakin terlihat mirip dengan Luan di kala usia 20-an, hanya minus penggunaan kaca mata. "Everything's good here, boys. Papa cuma mau ngecek kalian sudah sampai di asrama belum?" tanyanya.
Layar ponsel Luan berubah seiring gerakan tangan Juan yang memperlihatkan kondisi sekelilingnya, menunjukkan bahwa keduanya telah tiba di kamar asrama mereka.
"Hmm. Katanya sebelum liburan kemarin mau beres-beres kamar, mana? Lihat itu, masih berantakan," tegur Luan dengan nada berguyon, terkekeh.
"Tuh kan, lu sok-sokan video isi kamar!" Terdengar suara Ian menegur kembarannya.
Juan kembali mengarahkan lensa ke arahnya, cengengesan. "Iya Pah, habis ini Ian yang kerja rodi beresin kamar," jawabnya asal.
"Ayo, jangan saling bully," kata Luan.
"Nggak, Pa! Beneran. Kan emang dari awal ada perjanjian, beresin kamarnya gantian. Terakhir giliranku, jadi sekarang gilirannya Ian," sahut Juan.
"Padahal yang paling males buang sampah si Juan, Pa," adu Ian. "Padahal udah sering diingatkan, habis pakai tisu langsung dibuang ke tempat sampah, selesai makan mie cup juga langsung buang. Iniii, sama dia, digeletakin sembarangan aja gitu. Kan jadi keliatan banget joroknya."
"Nyeenyee, ngadu," ledek Juan.
Luan terkekeh menonton tingkah kedua putranya itu. Dalam percakapan yang penuh canda dan tawa, dia bisa melupakan sejenak kerumitan dunia bisnis. Bagi seorang CEO yang sukses, momen ini mengingatkannya akan arti sejati kebahagiaan—keluarga. "Kalian itu nggak berubah," komentarnya. "Sudah, sudah. Juan, jangan dibiasakan ya, kasihan Ian udah harus beresin kamar, masih harus pungut sampah-sampah kamu juga. Padahal kan, bukannya lebih enak kalau beresin kamar sama-sama? Jadi cepat selesai juga, lho."
"Nah, tuh! Bantuin gue," kata Ian pada Juan.
Juan memutar bola mata merespon ucapan Ian. Dia beralih pada Luan, katanya, "Eh, Papa! Jangan lupa, lho!"
"Apa?" Luan bertanya balik.
"Ituu, yang terakhir kita bertiga bahas ... malam sebelum kami balik ke sini itu. Kita bertiga, kan, bakar-bakar jagung di halaman belakang!" seru Juan bersemangat, disambut anggukan Ian tak kalah antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...