4 - Tamparan Ayah

73 0 0
                                    

"Kalau kamu masih mau Mama anggap sebagai anak, pulang!!"

Untaian kalimat terakhir telak menghantam Aurora. Bahkan ibunya sampai berkata seperti itu, apa yang harus ia lakukan??

Kegelisahan itu semakin nyata terlihat, memancing rasa cemas Sena. "Mama kamu bilang apa, Ra?"

Aurora menggigit bibir.

"Kamu disuruh pulang?" tanya Sena lagi.

Gadis cantik itu hanya bisa mengangguk pelan.

Sena menghela nafas panjang. "Pulanglah ... Jangan bikin mamamu menunggu terlalu lama."

"Mama bilang nggak anggap aku anak lagi kalau aku nggak pulang," ujar Aurora lirih.

"Tuh, beliau sampai bilang begitu. Sudahlah, pulang saja, Ra," bujuk Sena.

"Lalu aku gimana? Lalu kamu gimana? Aku nggak mau kalau harus pulang dan malah tetap dipaksa menikah sama Luan!"

"Semua masih belum terlambat menurutku, Ra. Kamu coba bicara baik-baik dengan orang tuamu. Katakan pendapatmu pada mereka, keinginanmu apa. Jangan lupa meminta maaf karena bagaimana pun kamu udah bikin mereka kecewa dan mangkir dari acaramu hari ini," tutur Sena hati-hati.

Aurora memandangi Sena dalam diam.

"Semua masih bisa dibicarakan baik-baik, kan, Ra. Kalau mereka menyayangi putri tunggalnya dan ingin ia bahagia, mereka nggak akan memaksakan kehendak. Dan setelah itu, baru aku akan maju dan meminta kamu baik-baik," ujar Sena lagi.

"Sungguh?" Pandangan penuh harap Aurora tertuju pada Sena seorang.

Sena mengulas sebuah senyuman hangat. "Sungguh."

***

Maka tidak sampai satu jam kemudian, Aurora sudah sampai di rumahnya lagi, memandangi orang tua dan keluarganya yang lain. Ada dua adik Roland dan anak-anak mereka. Merekalah yang tadi terpaksa ikut menahan malu di ballroom hotel lantaran terpaksa membatalkan acara. Semua orang di sana sedang makan malam, seolah tidak menyadari kehadiran Aurora. Ia hanya berdiri mematung di sana.

"Selamat malam, semuanya," sapa Aurora pelan.

Rossa, tidak sampai hati jika harus ikut mendiamkan, tersenyum menatap Aurora lalu berdiri menyambutnya.

"Ra, kamu akhirnya pulang juga. Dari mana saja?" tanya Rossa sambil merangkul Aurora. "Ayo cium tangan dulu pada papa," ajaknya.

Aurora menurut. Ia mendekati sang ayah, membungkuk mengulurkan tangan, berharap Roland menyambut tangannya agar bisa ia kecup. Dari ujung mata ia menyadari semua keluarganya sontak berhenti bersantap dan terdiam di kursi masing-masing.

Tapi malahan Roland menampik tangan Aurora sambil bangkit berdiri. Dengan wajah yang berkerut menahan marah, pria setengah baya itu memandangi Aurora seakan ingin menelannya bulat-bulat.

Beberapa detik kemudian suara tamparan bergaung keras di seluruh ruangan. Diikuti dengan pipi Aurora tertunduk menyamping, akibat tamparan yang sukses menghantamnya tersebut.

"Kamu ... Sudah bikin malu keluarga!" desis Roland marah sambil menunjuk wajah Aurora.

"Keluarga kita udah nggak punya muka lagi gara-gara kamu, Ra," sahut Raymond, adik Roland. Silvia sang istri yang duduk di sebelahnya juga memasang muka masam.

Aurora menoleh pada semua yang duduk di sekeliling meja makan. "Maaf. Maafkan aku, semuanya. Papa. Mama. Om Raymond. Tante Silvia. Semuanya, maafkan aku," ujarnya pelan.

Rossa memegangi lengan Aurora. "Apa yang ada di pikiranmu, Ra? Kenapa kamu nggak datang ke acara pertunangan kamu dengan Luan? Kamu kan tadi sedang dirias, kenapa malah pergi?"

"Aku nggak bisa menikahi Luan, aku nggak cinta dia," jawab Aurora dengan suara tertekan.

Suara berat penuh kemarahan milik Roland menyahut, "Lalu kenapa kamu mengiyakan saat dia melamar?"

Aurora terdiam sesaat. Air mata sudah mengalir sejak tadi, membasahi wajahnya. "Karena aku merasa ditekan. Karena aku tahu, pernikahanku dengan Luan adalah hal yang sangat penting untuk Papa. Saat itu aku udah merasa bahwa hatiku udah terbagi dua, tapi aku memaksakan diri menerima lamaran Luan, aku pikir aku bisa kembali mencintai Luan tapi ternyata nggak bisa. Aku nggak bisa mencintai Luan lagi seperti sebelumnya ... Terutama saat aku menyadari bahwa aku akan terikat dengan Luan seumur hidup. Aku nggak mau mengorbankan diriku sendiri, Pa, Ma. Aku nggak mau terikat dengan orang yang nggak aku cinta seumur hidup aku!"

Tidak ada yang bersuara di ruangan itu.

Aurora berkata pada Roland, "Papa, sungguh aku minta maaf."

Ia berpaling pada seluruh keluarganya yang ada di sana. "Aku minta maaf, semuanya. Aku tahu kalian semua pasti sangat menanggung malu. Tapi inilah yang aku rasakan ...."

Lalu katanya lagi pada Roland. "Aku sangat berharap Papa bisa memahami aku."

Roland memicingkan mata. "Apa yang kamu rasakan sudah bukan hal yang penting lagi. Kita nggak bisa mundur dari semua kekacauan ini, jadi sudah nggak ada pilihan lain lagi selain melanjutkan pertunangan kamu dengan Luan," tegasnya.

Aurora memandangi sang ayah dengan tatapan tidak percaya. "Papa ... Please.." pintanya. "Papa boleh minta apa pun asal bukan itu! Pa ... Aku kan anak Papa, tolong pahami aku, Pa. Toh aku kan selama ini selalu menurut apa kata Papa. Aku nggak pernah memprotes selama ini, aku anak yang patuh! Tapi untuk sekali ini saja, aku mohon, Pa," katanya lagi.

"Tidak, Aurora. Jangan minta saya memaafkan perbuatanmu, hanya karena kamu anak saya. Meski saya sayang kamu, tapi saya tetap harus menjaga reputasi keluarga kita yang sudah kamu hancurkan karena kejadian hari ini. Sebagaimana juga dengan reputasi dan kehormatan keluarga Tamawijaya yang kamu hancurkan juga! Jadi kamu harus lakukan hal yang benar! Kamu harus lanjutkan pertunanganmu dengan Luan!" seru Roland.

Aurora merasa lehernya tercekat. Ia menggelengkan kepala. "Pa ... Nggak mau ... Please," pintanya.

"Itu satu-satunya cara supaya kita bisa menyelamatkan kehormatan keluarga. Kalau kamu nggak mau menurut juga, kamu bisa pilih keluar dari rumah ini! Saya nggak akan mengakuimu sebagai anak lagi!"

Rasanya sakit sekali hati Aurora.

"Roland!" tegur Rossa. "Jangan terlalu keras pada putri kita."

"Saya sudah berjanji pada keluarga Tamawijaya, Rossa, kamu tahu itu! Dan saya nggak mungkin ingkar janji!" sahut Roland. Dia berkata lagi pada Aurora. "Jangan berpikir kamu bisa lolos dari hukuman karena kamu sudah jelas-jelas bikin malu! Jadi saya tegaskan, kamu pergi dari rumah ini dan tidak akan diakui lagi sebagai Wardana, jika kamu tetap tidak mau menikah dengan Luan!"

Usai bertitah demikian Roland pergi meninggalkan semua yang ada di situ, Rossa tergesa menyusul suaminya, sementara Aurora tetap berdiri di tempatnya, menangis terguguk.

Di ruang kerja Roland, Rossa tidak tahan menahan semua perkataannya yang semenjak tadi ia tahan. "Roland, kamu nggak bisa mengusir Aurora! Dia tetaplah putri kita, meski dia melakukan kesalahan-"

Roland segera berseru memotong. "Justru itu! Aurora adalah anak kita satu-satunya, tapi justru Aurora yang mencoreng arang di muka kita semua! Semua kolega bisnis kita ada di sana, menyaksikan bagaimana reputasi keluarga kita hancur lebur seperti itu! Jadi apa kamu pikir saya akan membiarkan Aurora? Bahwa anak kita sendiri yang menghancurkan keluarga kita?"

"Roland, cobalah mengerti Aurora. Jika dia nggak mencintai Luan, hal ini pasti sangat berat untuknya!" sahut Rossa.

Pasangan ini tidak menyadari bahwa Aurora ada di balik pintu, mencuri dengar perdebatan mereka.

"Kenapa dia harus menunggu sampai hari H pertunangan untuk mundur?" sela Roland.

"Karena kita memang menekan Aurora untuk menerima lamaran Luan!" jawab Rossa. "Roland, Aurora masih sangat muda, masih naif, belum dewasa! Jangan berharap dia akan selalu bisa mengambil keputusan yang benar. Dan kalau dipikir lagi, bukannya kita memang ada andil sampai dia nekad berbuat seperti itu?"

"Tapi dia adalah seorang Wardana!" sembur Roland. 

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang