Mengetahui hal yang mengerikan ini membuat Rossa lemas, sempoyongan nyaris rubuh jika saja Roland tidak refleks menahan tubuh sang istri dan sang 'cucu' yang masih dalam gendongan Rossa. Roland segera mendudukkan Rossa kembali di sofa.
"Luan ...? K-kamu ... bisa-bisanya kamu lakukan ini ...?" tanya Roland nyaris berdesis, menatap Luan tidak percaya. Ekspresi wajah pria separuh baya itu terlihat campur aduk. Marah, terhina, kecewa, juga sedih. Ternyata pernikahan putrinya selama ini dengan Luan, sang menantu pilihan, tidak berjalan seperti yang dia bayangkan. Ada rasa sesal menyusup dalam dirinya menyadari dialah yang paling bernafsu menjodohkan Aurora dan Luan. Dan ternyata hal ini justru membuat Aurora, putrinya sendiri, menderita sedemikian rupa.
Luan mengunci mulut, tidak menyahut maupun merespon reaksi ayah mertuanya itu. Dia hanya berdiri diam di sana, menunduk. Tangannya mengepal kuat, menahan diri untuk tidak menampar Aurora yang nekad membongkar skenario yang dirancangnya selama ini. Tidak. Tidak mungkin dia melakukan itu. Dia tidak akan menampar seorang wanita, terlebih wanita itu adalah satu-satunya orang yang dia cintai.
Selama sekian menit Luan mematung seperti itu, tidak menduga sang ayah sedari tadi memandanginya dengan ganas.
"Jadi, anak ini ... adalah anak Luan dengan Inka," desis Santoso menahan murka. "Inka istrinya Sena?" tanyanya lagi sambil melirik Aurora.
"Benar, Pa. Inka istrinya Sena," jawab Aurora pelan.
Santoso menggeram. Tampak jelas amarah yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. "Luan ...!! Berani-beraninya kamu ...?!!"
Ketegangan yang sedari tadi memenuhi udara semakin memuncak, seolah-olah kilat menyambar di antara ayah dan anak itu. Sebelum ada yang bisa mencegah, langkah Santoso terayun jauh tanpa penundaan, menunjukkan bahwa dia telah mencapai titik puncak emosinya.
Santoso, penuh dengan kemarahan atau emosi negatif, tanpa ragu melancarkan serangan fisik pada Luan tanpa memberikan ruang untuk pertimbangan. Ekspresi wajah pria yang tampak murka itu mencerminkan intensitas emosi yang menguasainya pada saat itu. Setiap pukulan yang dilemparkannya melahirkan dentuman keras, menciptakan aura kekerasan yang mengisi ruangan.
Luan yang menjadi sasaran amukan Santoso tidak memiliki kesempatan untuk menghindar atau merespon sebelum terkena pukulan. Serangan Santoso datang dengan kekuatan penuh, menciptakan momen ketika Luan terhempas jatuh mencium lantai. Suara pekikan para wanita yang terkejut menambah tensi di ruangan itu.
Aurora menyaksikan dengan mata terbelalak lebar. Ngeri. Aduan yang ia lakukan di depan para orang tua rupanya memancing murka Santoso sampai sedemikian rupa.
"Beraninya kamu mengusik Sena?! Apa maumu sebenarnya?? Anak nggak tahu diuntung!!" maki Santoso.
Tangannya yang dipenuhi emosi itu terulur menarik kerah Luan, lalu melesat menuju wajah lawan dengan kecepatan kilat. Sebuah suara bergemuruh melanda, merayakan momen sentuhan tangan dengan wajah yang menyiratkan ketegangan tak terucapkan. Ekspresi keterkejutan dan rasa sakit merayap di wajah yang menerima hantaman, namun Luan rupanya telah mengeraskan hati.
"Pukul! Pukul terus, Pa! Bela terus si Sena!" seru Luan marah. "Kenapa hanya Sena yang Papa pikirkan?! Sejak dulu, kenapa selalu Sena yang Papa nomorsatukan?! Saya nggak dianggap??"
"KAMU ITU UDAH BIKIN MALU SAYA!!" Santoso semakin kuat berteriak. "Bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu, hah?! Meniduri istri orang, bahkan sampai lahir anak?? Dan anak itu malah kamu bawa, minta istrimu yang urus?! Kamu tuh bisa mikir nggak!?"
"Jangan salahkan saya begitu saja!" balas Luan. "Papa nggak sadar kalau semua ini akibat ulah Papa juga??"
Santoso semakin tak terkendali oleh kata-kata Luan. "Saya?! Apa yang telah saya perbuat?? Kamu yang malah menghancurkan segalanya!" teriaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...