Sejak usia dini, Luan telah merasakan kekecewaan yang mendalam dari hubungannya dengan ayahnya, Santoso. Ingatan akan momen-momen pahit itu masih membayangi setiap sudut pikirannya. Kekecewaan pertama terjadi karena ketidakpedulian ayahnya terhadap pencapaian akademisnya yang gemilang. Meskipun Luan selalu meraih peringkat pertama di sekolah, Santoso tidak pernah memberikan pujian atau penghargaan. Setiap kali Luan berusaha mencari pengakuan atau pujian dari ayahnya, dia hanya menemui dinding kehampaan emosional.
Tidak hanya itu, minimnya kualitas waktu antara Luan dan Santoso semakin menggambarkan jarak emosional yang terus membesar di antara mereka. Meskipun Luan berjuang untuk mendekatkan diri pada ayahnya, Santoso tampaknya lebih tertarik pada urusan bisnisnya daripada membangun ikatan dengan anaknya. Pada setiap momen yang seharusnya menjadi kesempatan untuk mengenal satu sama lain, Luan hanya menemui kehampaan.
Ketidakhadiran Santoso pada setiap acara penting dalam hidup Luan menjadi sebuah pola yang sulit dipatahkan. Setiap pergantian semester setiap tahunnya, selalu Mustika, adik Santoso, yang mengambil rapor Luan. Santoso tidak pernah hadir untuk memberikan dukungan atau mengucapkan kata-kata semangat. Ingatan pahit semakin dalam ketika Luan terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan melalui berbagai lomba dan kompetisi. Meskipun Luan meraih kemenangan, seperti saat memenangkan lomba pidato bahasa Inggris, Santoso tidak hanya menahan pujian, tetapi juga membatalkan janjinya untuk menyaksikan penampilan sang anak.
Salah satu momen yang benar-benar merusak hati Luan adalah ketika dia merengek, memohon kehadiran Santoso untuk menonton Lion King di bioskop bersamanya. Santoso menjanjikan kehadiran, memberikan harapan palsu kepada anaknya. Namun saat hari yang ditentukan tiba, Luan menunggu di bioskop tanpa tanda-tanda kedatangan ayahnya. Hingga akhirnya supir keluarga yang menjemput dan mengantarnya pulang, bukan Santoso. Rasa kecewa Luan semakin mendalam karena ayahnya tidak hanya gagal memenuhi janji, tetapi juga karena tidak pernah meminta maaf.
Kekecewaan demi kekecewaan lainnya terus berlanjut, seolah tidak pernah ada habisnya. Luan teringat saat Santoso lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, membatalkan janji bermain ke Dufan pada hari yang dijanjikan. Alasan yang sama muncul, bisnis selalu menjadi prioritas utama. Hari-hari yang seharusnya diisi dengan keceriaan bersama ayah malah dipenuhi dengan kekosongan dan ketidakpastian.
Puncaknya terjadi saat Luan mengalami momen besar dalam hidupnya, wisuda. Harapan Luan agar Santoso hadir untuk menyaksikan kesuksesannya hancur berantakan. Ayahnya sama sekali tidak datang, meninggalkan Luan semakin tenggelam dalam kekecewaan. Bahkan lebih menyakitkan lagi ketika Luan mengetahui bahwa Santoso lebih memilih menghadiri acara wisuda Sena, orang yang kerap menjadi obyek kecemburuan Luan, menunjukkan betapa tidak berharganya dirinya di mata ayahnya.
Sejak saat itu, Luan merasa mati rasa terhadap Santoso. Kekecewaan yang bertubi-tubi semenjak usia dini hingga sekarang menimbulkan ceruk yang sangat mendalam di hati Luan, juga telah membekukan hubungan mereka. Namun meskipun hatinya terluka, Luan memilih untuk tidak memberontak atau protes terhadap upaya Santoso untuk mendekati dirinya. Saat ayahnya mencoba mengajarkannya bagaimana mengelola perusahaan keluarga, Luan tetap menunjukkan dedikasi dan prestasi yang luar biasa.
Di balik sikapnya yang tegar, Luan merasa bahwa keberhasilan yang dicapainya adalah cara untuk membuktikan nilai dirinya, bahkan jika ayahnya tidak menyadarinya. Dia memilih untuk memisahkan emosionalitasnya dari pekerjaannya, menunjukkan kepada dunia dan terutama pada ayahnya bahwa dia adalah individu yang kuat dan berprestasi.
Dalam dinamika kompleks antara kekecewaan dan kesuksesan, Luan menemukan kekuatan untuk terus maju. Meskipun terhantui oleh kenangan pahit dan kekecewaan dalam hubungannya dengan Santoso, Luan tetap menjaga itikad dan integritasnya. Mungkin di dalam hatinya yang terluka, Luan berharap suatu hari Santoso akan menyadari nilai sejati dari hubungan keluarga dan mengubah arah kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Tapi lagi-lagi, rasanya untuk sekedar berharap pun percuma, Luan menyadari. Lihat apa yang terjadi sekarang? Dirinya menjadi pesakitan usai menerima beberapa bogeman dan pukulan penuh cinta kasih dari Santoso Tamawijaya.
"Aduh! Pelan-pelan!" protes Luan saat Mbak Inah tak sengaja menekan luka di pipi Luan. Lamunannya terpaksa berhenti.
"Ma-maaf, Tuan, nggak sengaja," sahut Inah kelimpungan, kali ini lebih berhati-hati mengoleskan kapas berbalut obat merah di wajah tuannya.
Suatu ketika Aurora muncul, mendatangi Luan yang masih diobati lukanya itu sambil bersedekap. Seulas senyum yang terpampang di wajahnya memberi kesan bahwa ia merasa puas melihat sang suami babak belur seperti itu.
Luan menyambut kedatangan Aurora dengan senyum tak kalah sinis. "Semoga kamu puas, bisa melihat saya dipukuli seperti ini," ujar Luan dingin.
Untunglah Inah rupanya cukup tahu diri. Pelayan itu berjingkat menjauh, memberikan kesempatan pada Luan dan Aurora untuk menyelesaikan urusan mereka.
Aurora mengangkat bahu. "Yah mau gimana lagi? Kalau kamu nggak berulah, kamu nggak akan dapat masalah. Anak kecil juga tahu hal itu," sahutnya.
Luan segera membalas, "Saya berulah karena saya buntu, tidak tahu bagaimana menghadapimu. Harus saya jabarkan ulang apa saja perilakumu selama ini?"
"Aku juga bisa jabarkan apa saja kejahatanmu. Kan, kamu duluan yang berbuat licik. Memanipulasi banyak hal sampai akhirnya aku terpaksa menjadi istrimu," ujar Aurora sewot.
Luan melengos. "Aku yang licik. Yeah. Tentu saja," sahutnya sarkas.
Aurora segera menyergah, "Lho, bener kan, apa kataku? Emang kamu duluan yang licik. Udah kubilang, jangan playing victim. Kamu duluan yang cari masalah. Awal permasalahannya tuh di kamu, kenapa sih nggak pernah sadar?"
"Iya. Fine. Aku memang licik, katamu," sahut Luan. "Tapi aku baru tahu kalau kamu hipokrit, Rora. Kamu bilang benci aku, kamu bilang nggak pernah sudi menganggapku, tapi kamu ngamuk begitu aku minta tolong kamu urus anakku. Maumu apa sebenarnya? Sekarang malahan bongkar semuanya di depan papa mama. Aku habis. Habis. Riwayatku tamat. Entah hukuman macam apa yang bakal Santoso berikan nanti. Kamu pasti puas melihatku seperti ini."
"Makanya kan udah kubilang, kalau kamu nggak berulah, mana mungkin kamu dalam kondisi kayak gini? Masa tiap kali obrolan kita muter-muter terus nggak ada juntrungannya, heran," sungut Aurora.
Luan membalas, "Aku juga capek muter-muter terus. Oke. Setidaknya beritahu aku, mau kamu tuh apa? Apa alasannya kamu nggak terima kalau aku punya anak ... emangnya aku harus beranak sama siapa? Sama kamu? Kamu nggak mungkin mau, kan? Sudah cukup penolakanmu sebelum-sebelum ini. Emangnya anak bisa muncul dengan sendirinya? Aku bermaksud dekati kamu, kamu tolak aku mentah-mentah. Giliran aku punya anak sendiri, kamu ngamuk. Aku bingung sama kamu. Hipokrit."
"Kamu yang bodoh dan nggak sabaran!" pekik Aurora. "Kamu tuh nggak tahu sama sekali ...." Aurora tampak menenangkan debar jantungnya. "Asal kamu tahu yah ... aku pulang ke sini setelah liburan kemarin itu ... dengan maksud ajak kamu baikan," akunya pelan.
Nanar, Luan memandangi Aurora dengan campuran antara keterkejutan dan kebingungan. Wajahnya yang semula sinis dan dingin, kini terlihat terguncang oleh pengakuan tak terduga dari Aurora.
Aurora menyaksikan reaksi Luan dalam diam, kemudian berkata, "Iya. Kamu denger itu, Luan? Aku bermaksud kasih kamu kesempatan."
Luan masih saja terdiam seribu bahasa. Binar matanya memancarkan kesedihan, kekecewaan terhadap dirinya sendiri dan keputusannya. Lelaki muda berkacamata ini bagaikan pungguk merindukan bulan.
Pelan Aurora bertutur, "Aku ingat semua kebaikan kamu waktu kita masih pacaran. Iya. Aku nggak lupa semua itu, Luan. Kamu sabar banget hadapi aku yang manja dan banyak maunya. Aku tahu kamu tulus waktu pacaran sama aku. Aku minta maaf karena aku sempat lupa dengan semua kebaikan kamu ... semua kebaikanmu langsung hilang lantaran kamu memanipulasi pernikahan kita. Aku minta maaf karena udah jahat dan ekstra dingin ke kamu. Aku baru ingat semua sisi positif kamu pas aku liburan .... Makanya aku langsung memutuskan untuk pulang ... untuk ajak kamu berbaikan. Aku mau kita mulai lagi semuanya dari awal .... Tapi ... di hari kepulangan aku ... kamu malah bawa Juan .... Terus aku harus gimana selain protes?" ujarnya dengan suara lirih, hampir bergetar.
Luan semakin tersiksa mendengar pengakuan dari Aurora. Ternyata seperti itu ceritanya. Aurora bermaksud mengajaknya berbaikan ... tapi malah Luan menorehkan luka tajam dalam hati Aurora dengan membawa pulang anak hasil perselingkuhannya. Hati Luan bagai tercabik menyadari kenyataan menyakitkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...