32 - Penyelidikan

66 0 2
                                    

Aurora memicingkan mata. "Ada yah, orang kayak kamu?"

"Supaya kamu senang, ini saya bantu hubungi dokter buat konsultasi. Cukup?"

Aurora malas menyahut. Dibiarkannya Luan sibuk sendiri dengan ponselnya, tampak mengetik pesan. Setelah itu, hening. Hanya ada suara layar sentuh beradu berkali-kali dengan jemari Luan.

"Done," ujar Luan tak lama kemudian. "Dokter akan datang sebentar lagi. Kamu bersiaplah."

"Hmh." Aurora menggumam tidak jelas.

"Oh iya," lanjut Luan, sesuatu terlintas dalam benaknya. "Papa mama kamu dan papa saya baru bisa luang di minggu depan. Mereka akan pulang sebentar ke sini minggu depan, sekalian nengok cucu mereka yang baru lahir. Kamu siapkan semuanya ya. Cuma pesan aja, siapa tahu kamu lupa, papa saya alergi santan, jadi tolong jangan ada yang bersantan di sajian papa saya," tutur Luan, matanya masih menempel pada benda pipih di tangannya itu.

Aurora mengernyit. "Pulang?" ulangnya. "Serius, mereka ke sini, minggu depan?"

Luan menatap Aurora dengan aneh. "Ya seriuslah, apa anehnya? Mereka belum pernah lihat Juan secara langsung, wajar kalau mereka kepo pengen gendong," timpalnya. "Mereka baru aja jadi opa oma, pasti excited sama cucu."

Betapa entengnya Luan bertutur, seakan di balik itu semua tidak ada skenario apa pun yang direkayasa. Hal itu juga yang membuat Aurora terperangah tidak percaya.

"Kamu ...." Aurora memandangi Luan bingung. "Kamu cerita apa ke mereka? Apa yang kamu bilang?"

"Yah, seperti yang waktu itu saya sampaikan, Rora. Apa harus saya ulangi?"

"M-mereka percaya??"

Luan mengangguk. "Tentu. Memang kamu pikir skenario cerita saya nggak meyakinkan sampai mereka harus nggak percaya?"

"Emang ... emang nggak meyakinkan ...." Aurora terbata. "Tapi, kamu bisa yakinin mereka?"

"Seorang Luan tidak pernah gagal," sahut Luan yakin. Senyum penuh sirat kepercayaan diri terukir di wajahnya.

Aurora mengangguk-angguk meski rasanya ingin merobek senyum yang di matanya tampak menyebalkan itu. "Iya. Nggak pernah gagal bohongin orang tua," komentarnya.

"Kamu juga sudah terlanjur terlibat lebih dalam, dalam kebohongan ini. Sebagai sesama partner in crime, jangan saling menjatuhkanlah. Oke?" Luan menepuk bahu Aurora sambil masih terus tersenyum, menambah kejengkelan di hati Aurora.

Luan melewati Aurora usai berkata demikian. Tinggallah Aurora seorang diri, menahan rasa gemas bukan kepalang.

Gue harus cari tahu siapa perempuan itu. Bukan, bukan untuk minta air susu. Gue mau tahu seperti apa bentuk orang itu, bisa-bisanya dia kasih anaknya begitu aja ke Luan! Ibu macam apa?? Gara-gara itu gue juga jadi harus berkomplot bohongi papa mama. Itu artinya minggu depan gue harus akting happy? Happy sebagai orang yang baru punya bayi? Happy nimang bayi? Happy main-main sama bayi? .... Happy sebagai istri ... oh my God. Happy sebagai ibu ...?? .... Nggak, nggak, nggak! Gila. Gila, si Luan emang udah gila. Kan dia yang berbuat gila! Dia juga yang sinting susun rencana, terus, gue jadi keseret harus ikutan akting! Enak aja! Lihat aja Luan, gue bakal bongkar semuanya! ujar Aurora dalam hati.

"Permisi, Nyonya." Seorang pelayan melewatinya, yang langsung sibuk membereskan cangkir bekas minum Luan yang tergeletak di atas meja. Aurora memerhatikan gerak gerik pelayan itu, Inah. Inah adalah pelayan yang sudah cukup lama mengabdi pada keluarga Wardana, dan kini mengikuti Aurora pasca pernikahannya dengan Luan.

"Mbak Inah, sebentar," panggil Aurora menahan Inah yang hendak kembali menuju dapur.

"Iya, Nyah?"

Aurora malah diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia terus saja diam hingga sekian menit berlalu.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang