Lengosan kesal meluncur dari bibir Aurora sembari meletakkan novel yang tengah dibacanya. Keningnya berkerut-kerut, sama sekali tidak terpancar vibrasi positif dari ekspresi di wajahnya. Ini sudah kali keberapa ia merasa terganggu dengan suara nyaring tangisan manusia kecil di kamar sebelah, menuntut perhatian darinya.
"Kenapa lagi sih, itu anak??" sungutnya kesal. Meski rasanya enggan, Aurora memaksakan diri untuk bangun dan bergegas.
Ia menerobos masuk ke kamar bayi, mendapati dua pengasuh berseragam tengah kelimpungan membujuk si bayi agar berhenti menangis. Bayi itu diberi nama Juan oleh Luan, tanpa partisipasi Aurora memberi ide. Aurora enggan pusing memikirkan nama, berpikir, bayi itu hasil rencana gila Luan, kenapa ia harus ikut repot? Ia tidak peduli Luan memberi nama apa pada bayi laki-laki itu, tapi juga tidak sanggup menahan diri untuk mencemooh Luan dalam memberi nama. Bagi Aurora, Luan sangat tidak kreatif.
"Juan kenapa lagi?" tanya Aurora, nada kesal jelas terdengar dari suaranya.
"Anu ... rewel, Nyonya," jawab Santi, perempuan bertubuh agak gemuk yang baru beberapa hari menjadi pengasuh Juan. Juan terus menangis keras di gendongan Santi.
"Saya juga bisa dengar sendiri Juan rewel!" sahut Aurora sewot. "Rewelnya kenapa? Lapar? Sudah dikasih minum susu belum?"
"U-udah, udah kok, Nya," jawab Santi takut-takut. "Baru aja minum susu."
"Kamu beneran kasih dia susu apa nggak, Santi? Kenapa rewel terus? Kalau udah kenyang harusnya anteng, dong! Kamu bisa urus bayi nggak, sih? Nggak becus! Kamu mau saya pecat seperti yang lainnya??" Aurora berkacak pinggang, sementara lawan bicaranya semakin mengkerut ketakutan.
Pengasuh yang satu lagi, Emi, mencoba menenangkan. "Nyonya ... masa mau pecat-pecat lagi ... udah berapa banyak nanny keluar masuk ...," bujuknya.
"Diam kamu, Emi! Samanya, kamu nggak becus!" bentak Aurora. "Kalau emang kalian nggak becus bekerja, tentu saya punya hak untuk cut kalian! Tinggal minta yayasan untuk kirim lagi nanny ke sini! Ya habis lihat aja, Juan menangis terus tiap saat!"
"Mohon maaf, Nyonya, kami nggak pernah nggak becus .... Kami sepenuh hati urus dan jaga Juan," jawab Emi, menguatkan hati membela diri.
"Terus kenapa itu anak nangis terus?"
"Mungkin .... Mungkin perutnya kembung, Nyonya."
"Kembung?"
"Bisa jadi karena kurang cocok sama susunya ... mungkin lho, Nya ...," lanjut Emi.
"Lagi? Ini udah berapa sufor yang dipakai, kenapa nggak ada yang cocok?" Aurora jelas heran, sudah berapa merk susu formula ternama yang ia sediakan, namun tidak ada yang cocok.
"Saya juga bingung, Nyonya," jawab Emi. "Padahal Nyonya udah siapkan susu yang mahal-mahal, tapi ...."
Aurora mendelik galak. "Kamu aja bingung apalagi saya!"
"Sebenarnya ... yang paling cocok untuk bayi ya air susu ibunya, Nyonya ...."
"Ya saya juga tahu! Tapi kamu tahu di mana ibunya? Kalau kamu tahu, bilang! Biar saya labrak sekalian!"
Emi menggeleng pelan.
"Tuh, kan! Ngomong seenaknya aja. Kalau nggak bisa kasih solusi, diam!" Aurora masih belum puas menginjak gas.
"Maaf, Nyonya."
Perdebatan sang nyonya dan dua pengasuhnya itu terhenti saat tangis Juan semakin kencang. Baik Emi dan Santi sontak kembali membujuk si bayi.
"Nya ... apa nggak mau gendong? Siapa tahu kalau Juan digendong Nyonya, dapat perhatian Nyonya, dia jadi anteng," bujuk Emi.
Aurora meringis. Ia semakin bergidik tatkala pandangannya bertemu dengan Juan. Bola mata Juan yang bulat berlinang air itu memandanginya seolah berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...