13 - Suami Istri

62 0 0
                                    

Suara seorang pria menggema, mengalahkan suara Pastor yang seketika terdiam diikuti oleh tatapan mata semua orang yang menoleh ke arah asal suara.

Pemilik suara itu berdiri dengan gagah di sana, di barisan belakang bangku umat. Sena.

"Sebuah pernikahan paksa tidak akan direstui gereja, kan? Saya sanggup bersaksi bahwa pengantin perempuan tidak dalam kondisi yang ikhlas dan senang hati untuk menikah. Jadi lebih baik hentikan semua ini," ucap Sena lantang, seakan tidak peduli geremangan suara sekaligus tatapan sinis orang-orang yang dialamatkan padanya.

Tangis Aurora nyaris meledak, senang sekaligus lega mendengar perkataan Sena yang jelas-jelas membuat semua orang, terutama Pastor, terdiam seribu bahasa. Terlebih saat Sena mendekati dirinya dengan langkah lebar, tentu bermaksud membawanya pergi.

"Sena ...," panggil Aurora lirih.

Tidak ada yang bisa melukiskan betapa leganya hati Aurora saat ini. Seakan beban berat yang ditimpakan di bahunya, yang membuatnya sesak bernafas, telah diangkat dan dibuang jauh-jauh. Bayangan kehidupan yang membahagiakan hati memenuhi kepalanya.

Sena sudah berdiri di hadapannya, mengulurkan tangan. Dan saat Aurora hendak menyambut uluran tangan itu ...

Aurora tersadar dari lamunan.

Semua itu hanya imajinasi belaka!

Tidak ada Sena. Tidak ada yang menghentikan ritual keagamaan ini. Tidak ada apa pun selain dirinya dan semua orang yang khidmat mendengarkan kotbah Pastor. Luan yang ada di sebelahnya juga tampak serius mendengarkan.

Aurora menelan ludah, semakin merasa berkecil hati. Bahkan untuk sekedar berangan-angan pun sepertinya tidak diperbolehkan. Inikah akhirnya? Benar-benar harus menjadi istri seorang Luan yang tidak dicintainya?

Hingga tiba prosesi ritual yang dinanti-nanti, Aurora masih seperti mayat hidup. Ia bahkan tidak menyadari apa saja yang terjadi di hadapannya, dan baru tersadar saat Pastor menyebut namanya. "Aurora Wardana, bersediakah Anda menerima Luan Tamawijaya menjadi suamimu dan berjanji setia mengabdikan diri kepadanya dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, serta mau mengasihi dan menghormati dia sepanjang hidupmu?"

Tidak, jawab Aurora lantang dalam hati. Nggak. Aku nggak bersedia!!

Sanggup dan tegakah Aurora menjawab kata tidak?

"Tidak, saya tidak bersedia." Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulut Aurora, dan jelas, semua orang terperanjat mendengar itu. Terlebih sang Pastor, dan tentu saja, Luan.

Dengan senyum penuh kemenangan Aurora melepaskan tudung berenda yang dikenakannya, lalu mencampakkannya ke lantai. Sungguh puas hatinya melihat ekspresi Luan yang bercampur aduk. Penolakan telah dilakukan, kini saatnya angkat kaki.

"Aurora?" bisik Luan, menyadarkan Aurora yang tampak hanyut dalam lamunan.

Aurora tersentak.

Lagi-lagi hanya sebuah imajinasi belaka!

Didengarnya Pastor mengulang pertanyaannya, "Saya ulangi. Aurora Wardana, bersediakah Anda menerima Luan Tamawijaya menjadi suamimu dan berjanji setia mengabdikan diri kepadanya dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, serta mau mengasihi dan menghormati dia sepanjang hidupmu?"

Aurora menggigit bibir. Bukan saatnya mempertaruhkan nama baik dirinya dan keluarganya. Lihatlah ada berapa lusin kamera menyorot dirinya, mengambil gambar serta merekam semua yang ia lakukan. Tentu saja Aurora juga sadar bahwa pernikahan ini ditayangkan secara online dan tengah disaksikan jutaan pasang mata yang ingin menjadi saksi penyatuan keluarga Wardana dan Tamawijaya. Semua mata tertuju padanya. Jadi sungguh bukan hal yang bijak jika ia sengaja menorehkan arang pada wajahnya, meski untuk itu ia terpaksa harus menggadaikan kebahagiaannya sendiri.

Hanya ada jawaban 'ya' yang bisa diterima oleh semua orang. Aurora sadari itu.

"Ya ... Saya bersedia," jawabnya lirih setelah beberapa saat terdiam.

Mengapa lamunan tadi terasa begitu nyata? Mengapa dalam lamunan itu ia tampak begitu bernyali? Tidakkah ia memiliki sedikit keberanian itu di dunia nyata? Kemana perginya nyali sebesar itu? Kalah oleh tekanan!

Saat Pastor meresmikan mereka menjadi suami dan istri, air mata tak terbendung lagi, mengalir membasahi pipi Aurora. Mulai saat ini ia adalah istri seorang Luan Tamawijaya, pria licik nan jahat yang merebut kebahagiaannya. Benih kebencian telah tertanam dalam hati sang pengantin wanita yang malang.

***

"Rora," panggil Luan saat acara melelahkan seharian itu usai. Pria muda itu menyunggingkan sebuah senyuman hangat, menatap wanita yang telah resmi menjadi istrinya tersebut.

Aurora hanya mendelik. Tidak menjawab.

"Rora," panggil Luan sekali lagi.

"Jangan panggil aku seperti itu!" sentak Aurora. Dalam keadaan berdua saja di dalam kamar suite, lalu didekati seperti itu, Aurora paham apa yang hendak Luan lakukan.

"Lho kenapa? Itu kan nama kecil kamu. Dulu waktu kita pacaran juga aku sering panggil kamu Rora," jawab Luan santai. Tangannya bergerak meraih kedua tangan Aurora, ingin menggenggam.

Tapi Aurora dengan kasar menyentak, menjauh dari Luan. "Mau apa pegang-pegang? Jauh-jauh sana. Oh ya, yang boleh panggil aku Rora hanya Sena," semburnya.

Kening Luan berkerut. "Kenapa aku nggak boleh?"

"Masih tanya lagi! Jelas kamu udah berbuat licik dan jahat pada Sena. Kamu rebut aku dari Sena, jebak aku! Padahal kurang jelas apa kalau aku nggak mau nikah sama kamu??" Aurora berseru marah.

Helaan nafas panjang lolos dari mulut Luan. "Setahu aku, yang duluan rebut kamu ya si Sena itu. Karena Sena kan, makanya kamu putusin aku sepihak? Aku udah duluan lamar kamu, dan saat kita mau tunangan, kamu malah kabur demi Sena. Padahal kamu dan Sena sebenarnya udah jadi masa lalu, kenapa maksain sih?"

"Karena hanya dia yang aku mau! Dan dia juga masih cinta sama aku, wajar dong kalau aku kejar kebahagiaan aku sendiri!"

"Dengar, Rora," ujar Luan, menghela nafas panjang. "Kita udah resmi sekarang. Udah jadi suami istri. Lupakan mantan kamu itu. Sekarang saatnya kamu fokus menjalani kehidupan baru kamu bersama aku."

"No way!"

"Apa kamu pikir aku nggak bisa bikin kamu bahagia? Apa sih lebihnya Sena dibanding aku?"

"Sena itu jujur, tulus! Nggak kayak kamu licik!" ketus Aurora.

Lagi-lagi Luan menghela nafas panjang. Sabar, sabar, ujarnya dalam hati. Rora baru aja tahu tengah malam tadi soal skenario gue dan Papa Roland. Jadi wajar kalau dia masih marah. Harus gue bujuk dengan sabar, batinnya lagi.

Maka Luan dekati Aurora yang kini sedang berdiri di depan jendela, menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sayang banget sama kamu, Aurora," bisiknya sambil memeluk Aurora dari belakang.

Tentu saja, Aurora tidak mau dipeluk. Ia langsung melepaskan diri dari Luan. "Apaan sih? Udah dibilang jauh-jauh sana!"

"Ra, kamu nggak percaya kalau aku sayang sama kamu? Kasih aku kesempatan untuk buktikan kalau aku juga tulus sama kamu. Kita udah menikah sekarang, kan. Mau apa lagi ributin orang lain," bujuk Luan.

"Karena aku nggak terima kelakuan licik kamu buat dapetin aku!"

"Itu bukan kelakuan licik ya, coba kamu lihat dari sudut pandang yang lain deh. Pernikahan kita itu ideal. Bisa bawa hoki buat semua pihak. Coba dong kamu terima kenyataan kalau kita emang udah menikah, udah resmi."

"Ya udah, cerai aja sekarang," ketus Aurora.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang