44 - Guilty

56 3 0
                                    

Suara Luan yang penuh penyesalan terdengar serak ketika akhirnya dia menyahut, mencoba meresapi setiap kata yang terlontar dari bibir Aurora. "Kamu serius, Rora? K-kamu serius? Kenapa ... kenapa baru sekarang kamu menyampaikannya?" Suara serak itu seolah mencerminkan keputusasaan yang mendalam, ketidakpercayaan pada kesempatan yang datang terlambat.

"Aku serius," sahut Aurora dengan suara gemetar, menahan gelora emosi. "Aku sadar aku berbuat salah. Kamu juga ada salah. Tapi aku berpikir, ya udah, kita sama-sama salah. Aku ingin memberimu kesempatan untuk memulai lagi, untuk memperbaiki hubungan kita. Semula aku mau langsung ungkapkan semua begitu aku pulang. Tapi mulutku terkunci akibat shock ... shock karena kehadiran Juan. Kamu malah membuat semuanya semakin rumit ...," rintihnya. Aurora mencoba menahan tangisnya, namun kekecewaannya begitu mendalam sehingga air mata itu mengalir begitu saja. Niat baik Aurora untuk memberi Luan kesempatan itu tampaknya sia-sia, seperti bunga yang layu di tengah kehampaan.

"Ini akibat kamu nggak sabaran .... Kenapa sih, kamu nggak bisa sabar sedikit ...? Kenapa kamu nggak mau menunggu aku?" Aurora merasa kegetiran melanda setiap kalimat yang terlontar dari bibirnya, suara yang terdengar rapuh dan terhenti di antara helaan nafasnya. Dalam sorot matanya, tergambar kebingungan dan kekecewaan yang tak tersembunyi. Di hadapannya, Luan mencoba menangkap setiap nuansa kata-kata itu, menyadari bahwa saat-saat kebenaran yang sulit dihadapi telah tiba.

Pada saat yang bersamaan, beban yang menempa bahu Luan terasa semakin berat. Sungguh, dia menyadari betapa besar kesalahannya. Dia merenung tentang bagaimana keputusannya untuk tidak menunggu Aurora telah menghasilkan dampak yang begitu besar pada perasaan wanita itu. Sesal merayapi hatinya, karena dia tahu bahwa keputusannya telah melukai seseorang yang sangat dia hargai.

Begitu banyak pertimbangan dan perenungan dilalui oleh Luan dalam momen-momen berikutnya. Dia menyadari bahwa kecewa Aurora adalah akibat dari tindakannya sendiri, dan dia tidak bisa menghindari rasa bersalah yang begitu mendalam.

Luan merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Rasa bersalahnya bercampur dengan penyesalan, menciptakan beban emosional yang sulit untuk diatasi. Luan menyadari bahwa keputusannya telah merusak hubungan mereka dan membuat Aurora merasakan pahitnya kekecewaan. Aurora terus menangis, meratapi kehilangan dan kecewa yang begitu mendalam, sementara Luan mencoba merangkul penyesalan dan berharap bisa memperbaiki apa yang telah rusak.

"Kenapa, Luan ... emangnya kamu nggak pernah sadar kenapa aku pergi ...? Aku cuma butuh waktu, itu aja .... Kenapa nggak mau nunggu ...?" Rintihannya terdengar meresapi setiap sudut ruangan, seolah mencari jawaban yang mungkin takkan pernah ditemukan.

Luan, dalam wajahnya yang mencerminkan penyesalan mendalam, mencoba merengkuh kenyataan bahwa perbuatannya yang nekad telah membawa dampak yang tak terduga. "Maafkan saya ..., Rora," ujarnya pelan. "Saya minta maaf. Saya sangat menyesal."

Terdengar suara getir dalam kata-kata penyesalan Luan. Aurora, dengan mata yang masih mencari kejelasan, menggeleng, merasakan kepahitan yang masih memenuhi rongga dadanya. Mereka berdua tidak mungkin lagi bersatu. Luan sudah punya anak. Dua anak, malahan. Luan harus bertanggung jawab atas kehadiran anak-anak itu, itu sudah pasti.

"Seandainya maafmu berguna," sahut Aurora, cepat-cepat menghapus buliran bening di sudut matanya. "Sudahlah. Aku cuma mau ngomong itu aja. Berharap saja papamu nggak kasih hukuman yang terlampau berat ... sebab papaku, oh, beliau kelihatannya murka banget sama kamu. Aku harus redakan amarah papaku supaya nggak ikutan bikin kamu babak belur."

Luan hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Aurora. Dipandanginya punggung Aurora yang menjauh meninggalkannya. Betapa Luan berharap semua ini hanyalah mimpi buruk semata ....

***

Di bawah naungan sinar rembulan, hati Luan terasa terhimpit oleh beban penyesalan yang begitu mendalam. Suatu penyesalan yang menggunung dan terasa seperti batu besar di dadanya.

Setiap langkah yang diambilnya, setiap kata yang terucap, semuanya terasa seperti serangkaian kesalahan yang tak dapat dihapus begitu saja. Dalam keheningan malam, ketika bintang-bintang menatapnya dari kejauhan, Luan merenung tentang bagaimana tindakannya telah merusak satu hati yang begitu dicintainya.

"Seandainya bisa memutar balik waktu," gumam Luan dalam kesendirian. Kalimat itu terdengar seperti doa yang terlontar dari hati yang terluka. Dia merenung, memikirkan cara-cara untuk mengubah takdir, untuk membatalkan kelakuannya yang menyakiti Aurora.

Namun sayangnya, realitas tak bisa diputar balik seperti halaman buku. Luan menyadari bahwa setiap detik yang berlalu membentuk jejak tak terhapus dalam perjalanan hidup. Meski tahu itu sulit, tekadnya untuk memperbaiki kesalahannya tidak pernah surut.

Di malam yang sunyi, Luan mencari jawaban pada dirinya sendiri. Dia menggali-dalam dalam hatinya, mencari titik terang di tengah kegelapan penyesalan. Apa yang dapat dilakukannya untuk mengembalikan senyum di wajah Aurora, untuk menghapus jejak luka yang tanpa disadari telah dia timbulkan?

Rora ... kenapa saya bisa begitu bodoh? batin Luan, didera perasaan penuh penyesalan dan kekecewaan pada dirinya sendiri. Pertanyaan retoris itu mencerminkan kebingungan dan penyesalan yang mendalam, sebuah introspeksi pahit atas tindakan impulsif yang telah dia lakukan.

Kenapa nggak pernah terbersit di pikiranku kalau kamu sebenarnya hanya butuh waktu ... kenapa saya nggak bisa berpikir kalau kamu sebenarnya bisa memberi saya maaf? Luan berusaha menerima kenyataan bahwa maaf dari Aurora mungkin lebih dekat daripada yang dia kira.

Kenapa saya harus berbuat seperti itu ... kenapa saya malahan melukaimu di saat kamu bermaksud kembali pada saya? Penyesalan yang dirasakannya begitu dalam. Luan menyadari bahwa tindakannya bukan hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merusak hati wanita yang dipujanya.

Kamu telah terluka berkali-kali akibat ulah saya .... Satu per satu, Luan menyadari besarnya luka yang telah dia timbulkan pada Aurora. Rasa bersalahnya terasa begitu berat, bagaikan beban yang tak terangkat.

Apakah saya benar-benar nggak ada kesempatan untuk bisa meraih kebahagiaan bersamamu? Pertanyaan Luan terdengar hampa, mencerminkan kekhawatiran akan akhir dari hubungan mereka. Luan berusaha mencari jawaban pada dirinya sendiri, namun, dalam kegelapan hatinya, dia merasa kehilangan arah.

Apakah demikian? Apakah kisah kasih antara kita hanya sebatas memori saat kita kuliah dulu? Tidak ada lagi? batinnya, merenung dalam nostalgia yang terasa semakin jauh. Pertanyaan-pertanyaan itu menggambarkan kegelisahan dan keputusasaan yang melanda hatinya.

Luan sibuk membatin, bergulat dengan dirinya sendiri di tengah malam yang sunyi. Suara hatinya bergema dalam kekosongan, mencari pemahaman, penyelesaian, atau bahkan harapan baru. Dalam kesendirian, dia mencari keberanian untuk menyampaikan maaf yang terpendam.

Ra ... maafkan saya. Maaf, ujarnya lagi dalam hati.

Tidak ada yang bisa Luan temukan selain penyesalan yang terus menggelayuti pikirannya. Dia membayangkan momen-momen indah yang terlewatkan, kesempatan yang hilang begitu saja. Setiap detik yang tidak dia habiskan bersama Aurora terasa seperti hilang di dalam aliran waktu yang tak terelakkan.

Dalam keheningan yang semakin memendamnya, Luan menyadari bahwa penyesalan itu sebenarnya adalah guru yang tak kenal lelah. Ia memaksanya untuk introspeksi, belajar dari kesalahan, dan tumbuh menjadi versi yang lebih baik dari dirinya sendiri. Meskipun tak mungkin bisa memutar waktu, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang berharga.

Semua itu bukanlah kata-kata yang mudah diucapkan. Luan tahu bahwa kata-kata tanpa tindakan hanyalah angin lalu. Oleh karena itu, di bawah langit malam yang gelap, dia bersumpah untuk melakukan segala yang mungkin demi memperbaiki semuanya.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang