Helaan nafas Luan membuat rasa penasaran Inka semakin menjadi. "Tumben Aurora mengunjungi kamu ... pagi-pagi banget lagi," ujarnya memecah keheningan di antara mereka berdua.
Luan melirik sekilas wanita di sampingnya itu, lalu kembali fokus mengemudi. "Dia kebetulan lewat. Mampir hanya untuk say hi aja," jawab Luan sekenanya.
"Memang dia mau ke mana? Kalau say hi doang kan bisa kirim pesan aja," timpal Inka.
"Kenapa, sih? Cemburu?"
"Ya ... nggak juga, sih. Cuma kepikiran .... Gimanapun dia mantan kamu," gumam Inka.
"Nggak usah overthinking. Nggak ada yang harus kamu cemburui," timpal Luan dengan nada datar.
Sejak Luan dan Inka kembali dekat, nyaris tidak pernah lagi Luan berbicara dengan nada datar seperti itu padanya. Terakhir kali Luan seperti itu adalah saat Luan masih belum menerima Inka dan membiarkan Inka mengurus anak-anak mereka sendirian. Tapi nada datar seolah tidak peduli itu kini terdengar lagi. Apakah mood Luan tengah buruk? Inka menghindari terjadinya debat atau adu mulut dengan pria itu, maka ia memilih diam.
Namun kondisi Luan yang lebih sering berdiam diri semakin terlihat saat mereka telah tiba di taman bermain outdoor, Luan tidak terlalu bersemangat, padahal jalan-jalan mereka kali itu adalah ide Luan sendiri. Kecemasan Inka semakin menguat.
Apa keputusan saya melamar Inka salah? Luan bertanya pada dirinya sendiri. Apa saya harus membatalkan rencana saya menikahi Inka? Tapi apa yang harus saya katakan?
Inka, maaf, setelah saya pikirkan lagi, saya tidak bisa menikahimu.
Nggak, nggak.
Inka, maaf, saya rasa saya ....
Duh. Inka bakal merasa dipermainkan. Jelas dia bakal sakit hati kalau saya bilang agar pernikahan batal.
Tapi ... tapi saya juga nggak bisa kalau harus menghabiskan sisa umur saya dengan Inka. Saya sadar saya tidak terlalu dalam menyayangi Inka. Saya hanya menyayanginya sebagai ibu dari anak-anak. Itu saja. Yang ada di hati saya hanya Aurora. Sejak dulu sampai sekarang ... hanya Aurora.
Oh, God. Usaha saya move on selama ini hancur lebur gara-gara kedatangan Aurora tadi. Bagaimana mungkin saya melewatkan kesempatan ini, Aurora sudah jelas-jelas meminta balikan ...! Saya seharusnya bisa langsung mengiyakan Rora ... Saya seharusnya senang mendengar Rora berkata seperti itu. Tapi, bagaimana dengan Inka? Seharusnya saya tidak buru-buru melamar dia ... lihat, keadaan jadi rumit seperti ini!
Luan ... Luan. Masa iya, lagi-lagi saya menyia-nyiakan kesempatan bisa berbahagia dengan Rora? Setelah dulu pernah melewatkan kesempatan ... dan sekarang kesempatan yang sama hadir lagi, bodohkah saya jika menolak? Toh, saya yang tahu isi hati saya sendiri. Saya yang tahu apa yang akan membuat saya bahagia, yaitu hidup bersama dengan Rora. Saya tidak harus memaksakan diri mencintai Inka hanya karena dia sudah melahirkan anak-anak saya ... kan?
Tanpa Luan sadari, keadaannya yang gundah gulana itu diperhatikan oleh Inka secara seksama. Tanpa Luan beritahu pun, Inka bisa merasakan ada sesuatu terjadi antara Luan dan Aurora tadi pagi. Kalau memang tidak ada sesuatu yang harus dicemburui, mengapa Luan saat ini bersikap menarik diri, tidak seperti biasanya? Mengapa Luan tidak bercerita apa saja pembicaraan Aurora dan Luan tadi? Jelas Luan menyembunyikan sesuatu. Apakah Aurora dan Luan ada indikasi akan kembali bersama? Inka menggigit bibir. Mengapa begitu? Bukankah Aurora sudah memiliki Sena? Bukankah Aurora tidak pernah membalas cinta Luan? Benarkah Luan masih mencintai wanita itu sekarang? Lalu bagaimana dengan dirinya? Dibiarkan saja menjadi single parent selamanya? Inka benar-benar tersiksa dengan pemikirannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...