12 - Wedding Day

56 0 0
                                    

Hingga malam menjelang hari besarnya, Aurora kerap murung, tak bersemangat. Bagaimana bisa bersemangat atau pun excited bila harus terpaksa menikah dengan seseorang yang tidak dia cintai? Meski memang antara dirinya dan calon suaminya itu pernah beberapa lama menjalin hubungan, namun rupanya nama Luan sudah absen dari hati Aurora. Sebab yang Aurora impikan hanyalah Sena, Sena seorang. Baginya tidak ada yang bisa menggantikan posisi Sena ...

Kakinya melangkah gontai menuruni anak tangga, ingin sekedar mencari angin di bawah. Sebab meski sudah lewat tengah malam, namun Aurora tetap tidak bisa terlelap tidur. Pergumulan batin yang dirasakannya, kekecewaan terhadap Sena yang malahan memintanya agar serius pada Luan, juga marah terhadap situasi dan kondisinya saat ini, semua itu sudah cukup mendera Aurora. Betapa ia ingin semuanya tidak rumit seperti saat ini.

Samar terdengar suara orang bercakap-cakap di teras belakang. Suara ayahnya dan suara Luan, Aurora bisa langsung mengenali dengan mudah.

Papa belum tidur, batin Aurora. Luan juga sedang apa di sini, bukannya dia di rumahnya?

Urung ke teras, Aurora bersandar di balik dinding, mencuri dengar apa yang kedua pria itu bicarakan.

"Akhirnya hari ini tiba juga, Luan," ujar Roland. "Saya tidak sabar ingin segera melihat kamu dan Aurora resmi! Hanya itu yang saya inginkan."

Luan tersenyum menanggapi sang calon ayah mertua. "Benar, Om," sahutnya.

"Tidak sia-sia perjuangan kita berdua membuat Aurora kembali, huh? Terutama kamu. You did such a good job."

"Nggak, Om. Justru semuanya ini berkat Om Roland," elak Luan. "Om yang telah berjasa mengatur agar Sena berada di ujung tanduk, sehingga saya bisa masuk di saat yang tepat. Kalau saja dia nggak terjebak di situasi yang rumit seperti saat itu, nggak mungkin Aurora mencari saya meminta pertolongan."

Roland mengangguk-angguk. "Ini memang hasil kerja sama kita berdua."

"Saya juga senang karena Om lebih memilih saya ketimbang Sena. Saya merasa tersanjung, Om. Terima kasih."

Roland terbahak. "Omongan apa itu, Luan? Sudah selayaknya kamu yang menjadi menantu saya! Saya nggak terima lelaki lain yang nggak sepadan dengan anak saya. Hanya kamu seorang yang layak!"

Luan tersenyum, merasa menang.

"Sudah tengah malam. Pulanglah. Kau harus segar saat acara besarmu nanti," ujar Roland.

"Baiklah, Om. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu," sahut Luan.

Di balik dinding, wajah Aurora pucat pasi. Ternyata kejadian Sena diteror oleh lintah darat dan harus mengeluarkan sebegitu besar jumlah uang hanyalah rekayasa belaka!

Ayahnya sendiri dan Luan yang melakukan rekayasa busuk itu!

"Aurora?" Luan tercekat saat menyadari keberadaan gadis itu. Perutnya serasa diaduk-aduk melihat wajah Aurora kini basah karena air mata, menatapnya dengan pandangan yang menyiratkan kekecewaan teramat sangat. Tentu Aurora sudah mendengar semua pembicaraan tadi!

Sebelum Luan sempat membuka mulut untuk berucap, tangan Aurora sudah mendarat telak di pipinya, membuat Luan tertunduk ke samping.

"Kamu licik, Luan. Keterlaluan!!" desis Aurora menahan marah. "Aku nggak sangka kamu bisa selicik ini! Aku pikir kamu temanku, di pihakku! Tapi apa!"

"Ra ... Tenang dulu-"

"Batal!" pekik Aurora memotong. "Pernikahan kita batal! Aku nggak akan datang! Kamu kawinin kembang aja sana!"

"Ra, tinggal hitungan jam lagi masa kamu mau batal??"

"Kalau mau kawin, kawin aja sendiri sana! Jangan ajak-ajak! Bye!" seru Aurora marah, menjauhi Luan dengan langkah lebar.

"Kamu mau mencoreng nama baik keluarga berapa kali, Aurora?" Suara bas Roland terdengar menggema, membuat langkah Aurora terhenti.

"Masuk ke kamarmu sekarang, persiapkan dirimu untuk acara nanti!" tegas Roland.

Aurora berbalik, menatap sang ayah dengan pandangan yang mengiba. Ada sirat kemarahan sekaligus kesedihan di sana. "Papa ... Kenapa Papa setega itu sama aku?" lirihnya.

"Karena kamu hanya boleh menikah dengan pria yang sepadan untukmu!" jawab Roland dengan nada tinggi.

"Sepadan! Dilihat dari mana sepadan itu? Dari segi cuan? Papa ingin aku nikah sama anak Tamawijaya cuma karena cuan, kan? Apa Papa sama sekali nggak memikirkan kebahagiaan aku? Papa sayang sama aku nggak, sih? Aku ini anak Papa bukan, sih?" seru Aurora tercekat.

Roland meradang. "Omongan apa itu?! Justru karena Papa sayang sama kamu makanya Papa menikahkan kamu dengan Luan! Kamu dan Luan adalah pasangan serasi dan Papa yakin Luan bisa bahagiakan kamu!"

"Yang merasakan bahagia kan aku, yang jalani kan aku! Darimana Papa bisa yakin kalau dia bisa bikin aku bahagia! Papa nggak ngerti-ngerti juga ..." ujar Aurora putus asa.

"Aurora, Aurora," panggil Roland melunak. Didekati putrinya itu lalu memegang lengannya. "Kamu sendiri, darimana kamu bisa yakin kalau Luan nggak bisa bahagiakan kamu?" tanyanya. Pria itu menarik nafas panjang, menenangkan diri. "Sekarang sudah larut malam, istirahatlah. Acara besar kalian tinggal hitungan jam lagi, jangan sampai kalian kurang tidur."

"Aku nggak mau, Pa ...! Aku nggak akan menikah dengan-"

Roland segera memotong. "Kamu mau bikin Papa mati jantungan atau mati karena menanggung malu lantaran keegoisan kamu?!"

'Yang egois siapa!!' teriak Aurora dalam hati. "Papa, aku-"

"Kamu mau seperti itu? Hah? Kemarin kamu membuat seluruh keluarga Wardana dan Tamawijaya menanggung malu di hadapan ratusan orang. Lalu sekarang kamu akan melakukan hal itu lagi?! Pernahkah kamu bayangkan bagaimana rasanya menanggung malu yang bukan main seperti itu? Lalu kamu mau siksa kami sekali lagi dengan cara yang sama?! Itu maumu? Papa bisa sekarat karena ulahmu! Juga mama kamu! Apa kamu pikir mamamu nggak kepikiran karena kamu? Mau seberapa jauh kamu menyiksa kami, Nak??"

Aurora tidak sanggup menjawab. Panas hatinya. Panas kepalanya. Seakan-akan perjuangannya meraih kebahagiaannya sendiri adalah hal yang sangat salah dan terlarang. Tapi bagaimana pun yang dikatakan Roland ada benarnya juga.

Haruskah Aurora menyerah?

Ya. Sepertinya memang Aurora harus menyerah. Saat kembali ke kamar, Aurora menyadari Roland telah mengutus beberapa pengawal untuk berjaga di depan pintu kamar, serta di sekitar jendela dan teras kamarnya. Roland mencegah Aurora kabur dengan cara demikian!

Gadis itu benar-benar putus asa. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Aurora hanya sanggup menangis sesenggukan, sendirian, tanpa ada yang menemani atau mendengarkan keluh kesahnya.

***

Aurora tampak memukau dengan gaun pernikahannya yang mewah, berjalan menuju altar diantarkan oleh Roland yang tersenyum-senyum bahagia. Di ujung sana, dekat altar, Luan yang tampak gagah dan tampan tanpa ada kacamata bertengger di wajahnya, menyambut kehadirannya dengan senyum yang menawan.

Inilah sebenar-benarnya neraka bagi Aurora.

Apalah senyuman palsu semua orang hari ini? Semuanya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tanpa ada yang mau sedikit pun peduli pada yang Aurora rasakan.

Semua yang diucapkan Pastor tidak ada yang Aurora resapi. Ia dalam mode auto pilot, sementara pikirannya kosong, melayang bagai burung terbang bebas di angkasa.

Tiba-tiba ...

"Aurora!"

Suara seorang pria menggema, mengalahkan suara Pastor.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang