"Sena ...," panggil Aurora lirih saat bertemu dengan Sena di kafe langganan. Wajah Aurora yang cantik itu semula lesu, terlihat lelah, namun menguap seketika begitu melihat wajah pria yang dicintainya.
Sena menyambut kadatangan Aurora dengan kecupan hangat di pipi. "Hai, Ra," sapanya. "Kamu kok kelihatan lesu," komentarnya sambil menarik kursi untuk Aurora, lalu dia pun duduk kembali di tempatnya.
"Kelihatan yah?" Aurora bertanya balik. "Gimana nggak lesu, Sen. Capek aku. Meski yang ribet urusan ini itu sama wedding organizer mamaku, tapi aku kan juga harus terlibat."
Sena mengangguk paham.
"Nggak terasa yah, tinggal tiga hari lagi," keluh Aurora. "Seandainya pernikahan itu nggak perlu terjadi ... Duh, aku bener-bener pengen segera selesai semuanya! Harus nunggu beberapa bulan sebelum aku bisa minta cerai dari Luan, baru bisa bebas. Aku harap kamu sabar menunggu yah, Sena ..."
Sena menelan ludah. "Aurora," panggilnya.
"Kamu nggak perlu cemas yah Sen. Aku janji. Aku janji nggak bakal biarkan si Luan sentuh aku. Pegangan tangan aja aku nggak bakal biarkan, apalagi yang lain," ujar Aurora sambil tersenyum. "Meski nanti statusku jadi janda - ih, jelek banget yah turun kasta jadi janda -, tapi yang jelas aku pasti akan tetap suci. Buat kamu," tutur Aurora panjang lebar. Semburat rona merah mewarnai wajahnya saat mengucapkan kalimat terakhir.
Sena masih saja berdiam diri.
"Sena?" panggil Aurora. "Kok diam? Ada masalah?"
Sena menarik nafas panjang. "Aurora, ada yang ingin kubicarakan serius denganmu," katanya.
"Mm?"
"Sebenarnya sejak awal aku nggak setuju dengan rencana pernikahan palsu kamu ini," ujar Sena pelan. "Meski kamu bilang kamu nggak ada rasa apa pun pada Luan. Meski kamu bilang kamu terpaksa menikahi Luan, tapi nggak seharusnya kamu mempermainkan pernikahan. Pernikahan itu suci, Ra, sakral. Kamu mengikat janji saling mencintai di hadapan Tuhan, tapi malah kamu anggap itu hanya sebagai akting. Jangan lakukan itu, Ra ... Kamu menikah dengan Luan karena memang ada desakan demikian dari orang tuamu, aku paham. Kenapa kamu nggak belajar terima kenyataan ini, belajar menyayangi orang yang akan menjadi suamimu? Sudah sejak dulu aku sadar kalau kita sedemikian berbeda, Ra, aku nggak pernah berharap banyak bisa memiliki kamu karena aku sadar diri. Kamu dari kalangan atas, siapalah aku berani-beraninya berniat memiliki kamu?"
Wajah Aurora memucat sedari tadi. Bibirnya terbuka, melongo saking tidak menyangka Sena berujar demikian padanya.
"Meski aku sempat berharap pada kekuatan cinta yang bisa menyatukan kita berdua, tapi tetap saja kita nggak bisa bersama, Ra ... Kamu dan aku ... Terlalu jauh, terlalu berbeda kalangan. Aku punya apa yang bisa ditawarkan pada papamu? Hanya Luan yang memenuhi ekspektasi papamu, kan? Yang menurut papamu layak menjadi pendamping hidupmu. Dan kamu juga nggak akan tega berkhianat lagi pada orang tuamu. Kamu memang harus menikahi Luan. Aku sudah ikhlas, Aurora. Aku ingin melihatmu belajar menerima Luan dan bisa hidup bahagia bersama dengan Luan," tutur Sena.
Tidak ada sahutan dari Aurora. Saat Sena memandang, wajah Aurora sudah basah oleh air mata. Aurora yang biasanya langsung menjawab jika diajak bicara, kini sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sena sadar betul, yang dia katakan mematahkan harapan Aurora, membuat gadis itu hancur dalam sekejap. Tapi dirinya sendiri pun merasakan hal yang sama! Hati Sena terasa teriris, pedih, lantaran terpaksa mengatakan itu semua pada Aurora.
"Kenapa semua orang ... Bersikap seolah tahu apa yang terbaik buatku?" lirih Aurora penuh penekanan. "Dan ternyata kamu juga bersikap sama, Sen. Yang menjalani siapa sih? Aku, atau kalian yang menyuruhku menikah? Yang jalani kan aku! Siapa yang bakal tanggung jawab kalau ternyata aku nanti nggak bahagia?? Siapa yang peduli kalau aku nanti bakalan jadi wanita menyedihkan yang merasa hidupnya hancur!"
"Rora, maaf, bukan maksudku membuatmu berpikir demikian," ujar Sena cepat. "Kamu kan ... Maksudku, kamu dan Luan kan seenggaknya pernah menjalin hubungan, apa selama kamu berhubungan dengan dia itu tanpa ada rasa sama sekali? Nggak, kan? Kenyataannya, kamu emang pernah memelihara rasa cinta pada Luan, dan kenapa kamu nggak lakukan itu lagi sekarang? Kamu pasti bisa bahagia dengannya, Ra, aku yakin Luan juga pasti bisa membahagiakan kamu."
Air mata terus mengalir deras di wajah Aurora.
"Aku ingin kamu bahagia dengan Luan, Ra. Ini keinginanku yang tulus. Aku nggak bisa menjadi pendamping yang layak buatmu. Dan aku pun sama denganmu, aku patah hati karena hal ini. Tapi melihatmu berbahagia, itu sudah cukup buatku," kata Sena, memaksakan diri tersenyum.
"Orang yang paling menyedihkan adalah, dia yang melihat kebahagiaan ada di depan mata, tapi malah melepasnya demi alibi kebahagiaan lain yang semu. Kamu ingin aku menipu diri sendiri yah?"
"Aku ingin kamu mencintai Luan lagi, seperti sebelumnya. Aku ingin kamu bahagia hidup dengan Luan, itu saja."
Aurora menyeka air matanya dengan tisu. Sekuat tenaga ditahannya gejolak yang ia rasakan, yang seakan ingin meledak saat itu juga. "Kamu tiba-tiba berubah seperti ini, ada apa?"
Sena menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Sebulan ini aku merenung terus memikirkan rencana pernikahan palsu kamu, yang seharusnya nggak kamu lakukan. Jangan bohong di hadapan Tuhan, Ra. Aku juga nggak mau menjadi alasan kenapa kamu melakukan itu," jawabnya. Dia menarik nafas panjang, lalu katanya lagi, "Jadi please, Ra, batalkan rencana palsu-palsu itu. Menikahlah dan bahagialah dengan Luan. Kumohon."
Hening. Sesekali terdengar isakan lolos dari bibir Aurora.
"Selama sebulan ini aku menahan diri, Sen. Berupaya sekeras mungkin agar aku bisa kuat dan bertahan. Kamu tau rasanya harus mempersiapkan pernikahan dengan orang yang nggak aku sayang? Aku menderita!" lirih Aurora. "Aku memaksa diri agar terus bertahan karena aku punya harapan, harapan untuk bisa bersama kamu meski butuh waktu sampai aku kembali bebas. Aku udah piara harapan itu selama ini, lalu sekarang kamu bilang, aku harus lupakan harapanku satu-satunya itu dan harus nikahi Luan sungguh-sungguh??" tanyanya menahan emosi.
Lidah Sena terasa kaku.
"Aku berjuang demi kamu, tapi rupanya kamu nggak bersedia berjuang demi aku. Hanya dengan alasan kamu nggak setuju dengan pernikahan palsu ... Kalau nggak terpaksa aku juga nggak akan lakukan itu, Sena ... Kenapa kamu nggak mengerti juga," isak Aurora.
"Rora," panggil Sena, merasa bersalah.
"Fine," ujar Aurora tiba-tiba. "Kamu yang ingin aku menikah dengan Luan, kan? Baiklah. Aku ikuti kemauan kamu. Kalau ternyata di kemudian hari kamu menyaksikan sendiri bahwa hidupku menderita ... Ingat saja bahwa itu semua adalah kesalahan kamu."
"Aurora dengar dulu-"
Aurora tidak memberikan kesempatan pada Sena untuk menyelesaikan perkataannya. "Kalau kamu emang punya hati, kamu pasti akan merasa bersalah. Dan saat itulah kamu baru sadar, sesal kemudian nggak ada gunanya. Tapi kalau kamu ternyata nggak punya hati ...," Aurora menyeka air matanya. "Ah. Sudahlah, aku kapok berharap padamu," lanjutnya. Satu ucapan terakhir dari Aurora sebelum ia beranjak pergi, "Selamat tinggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...