20 - Papa Minta Cucu

52 0 0
                                    


"Ah. Sudah dimulai, ya, Pa," sahut Luan. Dia tahu, bisnis baru yang dimaksud Roland adalah bisnis hasil tender kedua keluarga yang sudah bersatu ini.

Roland mengangguk. "Benar, Luan," katanya. Dia melanjutkan, "Dan mungkin, kami akan lama meninggalkan Deshnea. Tadinya kami, terutama Mama Rossa-mu ini, cemas kalau harus meninggalkan kalian di sini bertahun-tahun. Tapi, setelah kami lihat sendiri bahwa kalian baik-baik saja, dan berbahagia, tampaknya nggak ada lagi yang perlu kami kuatirkan."

Luan mengangguk-angguk paham. "Papa Mama nggak perlu cemas. Kami baik-baik saja," ujarnya meyakinkan.

"Baguslah kalau begitu," sahut Roland.

"Lho ... tapi, kalian semua ke HongRong? Tante Mustika juga?" Luan memandangi Santoso dan Mustika dengan tatapan bertanya.

"Iya, Tante juga ikut, Luan," jawab Mustika.

Santoso turut menjawab, "Tentu. Tante kamu ini harus pergi kemana saya pergi. Adik kepercayaan saya."

Luan hanya manggut-manggut. "Pantas. Kirain hanya Papa, tanpa Tante."

Berarti dalam seminggu ke depan, nggak bakal ada yang mengawasi gue dan Rora. Bisa sedikit longgar nggak perlu akting selama mereka nggak di sini, ujar Luan dalam hati.

"Tapi ingat ya Luan, meski kami nggak di sini, tugasmu tetaplah sama. Jangan mangkir," ujar Santoso seakan tahu apa yang ada di dalam benak sang anak.

Luan nyaris gelagapan.

"Terutama, tugasmu yang satu itu. Yang terakhir kali saya minta itu," lanjut Santoso dengan penekanan.

Luan memandangi sang ayah bingung. "Tugas yang terakhir?"

"Kamu tidak ingat?"

Luan menggeleng lugu.

"Saya minta cucu, tidak ingat?"

"Ah." Luan baru menyadari maksud Santoso. Dapat dirasakannya Aurora menegang di sebelahnya. Sementara Roland dan Rossa, tersenyum-senyum penuh arti mendengar permintaan Santoso.

"Benar ... kami mengharap secepatnya dapat cucu, lho, Aurora ...," timpal Rossa sambil tersenyum pada sang putri. "Papamu juga nggak sabar ingin menimang cucu dari kamu," lanjutnya.

Aurora jelas tergagap.

"Kalian nikmatilah masa-masa indah menjadi pengantin baru," ujar Roland. "Sambil tetap berusaha dan juga berdoa. Nanti kalau ada kabar positif, segera kabari, kami pasti langsung secepat kilat pulang ke sini!"

Luan tidak nyaman duduk di tempatnya.

"Duh, nggak sabar yaa ... pengen segera lihat Aurora punya bayi! Pasti cantik atau tampan!"

Luan juga dapat merasakan kegelisahan Aurora yang kini tampak tidak lagi tenang. Tentu saja, bukankah Luan sendiri pernah menyampaikan pada Aurora, suatu saat nanti Aurora mungkin akan diminta agar segera hamil dan memberikan keturunan? Kini Aurora rasakan sendiri dicecar demikian. Apa yang akan ia lakukan setelah ini? Memberikan Luan lampu hijau? Atau, tetap berkeras memasang lampu merah?

"Saya pun tidak sabar," sahut Santoso. Dia berkata pada Luan, "Luan, ayolah, jangan tunda nanti-nanti. Kalau bisa sekarang, kenapa tidak? Lebih cepat lebih baik! Lihat, papa Rolandmu dan mama Rossamu juga sama-sama nggak sabar menantikan kehadiran cucu. Kami sudah sangat ingin punya cucu, lho, Luan. Kamu jangan terlalu santai. Ok?"

Ada sedikit keraguan yang membuat Luan tidak segera menjawab.

"Ok?" Santoso mengulang lebih keras.

"Ok. Baik, Pa," jawab Luan.

***

"Dengar sendiri, nggak?" Luan bertanya tanpa menoleh pada Aurora saat mengantar keempat orang itu pulang.

"Biar aja mereka minta apa, itu hak mereka," jawab Aurora cuek tanpa memandangi Luan pula.

"Dan kamu nggak ada keinginan untuk memenuhi permintaan mereka?"

Aurora mendengus. "Nggak. Mereka punya hak meminta. Gue juga punya hak untuk menolak. Juga menolak lu selama-lamanya," ujarnya.

Luan berdecak, gusar. "Tolong kamu jangan terlalu egois gitulah! Kamu nggak dengar tadi, berapa kali Santoso meminta padaku, dengan penuh penekanan seperti itu, itu artinya serius! Dia memang meminta agar aku segera berikan dia cucu! Ya aku paham, kenapa dia kepengen banget segera menimang cucu, aku paham! Nama keluarga ada di tanganku dan aku harus, aku harus, mau nggak mau, harus memberikan generasi penerus Tamawijaya! Ini nggak hanya tentang kamu, Aurora! Harap kamu juga pikirkan situasi aku, kondisi aku gimana!" seru Luan tertahan.

Emosi Aurora tampaknya terpelatuk, yang tak ragu langsung menginjak gas. "Oh! Sekarang lu yang tuduh gue sebagai orang egois! Lu nggak punya kaca, Luan? Lu pikir lu nggak punya salah apa-apa sampai keadaannya jadi seperti ini? Lu yang punya andil seutuhnya atas keadaan ini, lu nggak paham? Lu bilang gue egois, lah, terus yang lu lakuin itu apa namanya kalau bukan super egois? Lu rancang strategi jahat, Luan. Strategi JAHAT sampai lu bikin gue dan Sena terpaksa berpisah. Lu sengaja rancang hal menjijikkan cuma agar lu bisa menikah sama gue. Apa namanya kalau bukan JAHAT? Apa namanya kalau bukan EGOIS? Lu yang egois, Luan, lu! Ngaca!! Terus, sekarang lu suruh gue pikirin gimana situasi lu, kondisi lu. Lu sendiri dulu itu pernah nggak pikirin gimana gue?? Pernah nggak lu mikirin gimana perasaan gue?? Nggak, kan! Yang lu pikirin tuh cuma diri lu sendiri, dan restu bokap gue buat lu! Lu masih nggak paham juga siapa yang layak disebut egois?!"

Tidak ada satu hal pun yang bisa Luan sanggah dari untaian kemarahan Aurora. Dia terdiam seribu bahasa. Tetap tak bergeming saat Aurora melewati dirinya, masuk ke dalam rumah.

***

Sampai seminggu berlalu, tidak terjadi lagi pembicaraan di antara keduanya. Bahkan sampai mereka mengantar keberangkatan orang tua mereka ke HongRong, mereka tetap saling mendiamkan satu sama lain. Tentu saja, perang dingin itu mati-matian mereka sembunyikan agar tidak terdeteksi radar para orang tua. Hanya untuk satu hal itu mereka bisa mencapai kata sepakat dan dengan senang hati bekerja sama.

Kini, nyaris dua minggu mereka berperang dingin, Luan tidak tahan lagi. Meski dia tidak berharap yang aneh-aneh dari Aurora, setidaknya dia masih ingin bisa berbincang dengan Aurora. Tidaklah aneh bila manusia sebagai makhluk sosial merindukan interaksi sosial, terlebih bersama istri sendiri.

Maka Luan memberanikan diri menghampiri Aurora di kamarnya. Semenjak mereka saling mendiamkan, Aurora sama sekali tidak pernah terlihat berada di luar kamar. Entah apa yang wanita itu lakukan di dalam kamar terus menerus. Barangkali mengerami telur emas, demikian isi di benak Luan.

Pintu kamar Aurora rupanya sedikit terbuka, Luan sedikit terheran dibuatnya. Bukankah biasanya Aurora selalu mengunci rapat pintu kamarnya? Kenapa kali ini terbuka?

Dengan sedikit kekuatan, dia mendorong pintu itu agar terbuka sedikit lebih lebar, hanya agar dia bisa melongokkan kepalanya ke dalam, dan melihat apakah ada Aurora di dalam. Sedang apa?

Di sanalah wanita yang disebut istrinya itu. Duduk di atas ranjang, sembari memegangi sebuah bingkai foto. Posisi Aurora memunggungi Luan, ia sama sekali tidak menyadari keberadaan sang suami. Yang lebih membuat Luan terheran, adalah saat dia menyadari bahu Aurora yang bergetar turun naik. Aurora menangis?

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang