Ekspresi terkejut nyata terpancar dari wajah Luan begitu menangkap keberadaan Aurora.
"Aurora? Kamu sudah pulang?" tanya Luan.
Aurora mendadak bisu, matanya membelalak lebar memandangi Luan dan yang menempel di tubuh pria itu. Apa itu yang ada di gendongan Luan? Bayi? Bayi siapa?
"Syukurlah kalau kamu pulang," ujar Luan lagi, tidak peduli pertanyaannya tidak digubris. "Sangat tepat waktunya."
"M-maksudn-" Aurora bahkan tidak sanggup menyelesaikan ucapannya.
Luan tanpa basa basi lagi langsung mendekati Aurora dan menyerahkan bayi itu padanya. Aurora, tidak sanggup menolak, tidak mampu berpikir, refleks menerima manusia mungil yang masih merah itu. "Ini. Tolong rawat," pesan Luan.
Aurora kelimpungan. Apa yang paling membuatnya tak mampu bersuara? Kehadiran Luan membawa bayikah, atau ujaran Luan barusan yang memintanya agar merawat bayi itu? Lagipula ... merawat bayi??
"Ini bayi siapa, Luan??" Aurora akhirnya bersuara, meski tertahan dan ada getaran dalam nada suaranya.
Luan menatap Aurora, tidak langsung menyahut. Lalu dia menjawab dengan mantap, "Bayi saya. Bayi kita, Aurora. Saya harap kamu belajar menerima kehadiran bayi itu dan anggap dia sebagai anak kamu sendiri. Ok?"
Aurora semakin melongo. Ia hendak memprotes namun bayi dalam gendongannya mulai merengek.
"Oh cup cup cup, kamu lapar?" sahut Luan pada bayi merah itu sembari menyentuh pipinya. "Dia harus diberi susu setiap satu jam sekali," katanya pada Aurora. "Jangan kuatir, saya sudah siapkan susu formula, botol dan segala macamnya. Tinggal minta baby sitter buatkan." Luan menoleh pada dua orang berseragam nanny yang berdiri di dekat pintu masuk, "Mbak, ngapain? Ayo mulai kerja! Ini tolong siapkan susu," perintahnya yang langsung dipatuhi oleh kedua nanny tersebut.
Aurora baru menyadari keberadaan dua orang asing yang ternyata nanny yang telah dipersiapkan Luan. Saking terkejutnya dengan surprise Luan malam ini, ia tidak memerhatikan saat kedua orang itu ikut masuk ke dalam rumah.
"Saya baru hire dua nanny, rencana satu lagi, supaya bisa dibagi jadi tiga shift. Kamu cukup awasi kerja mereka dan pantau anak ini, Aurora, jangan sampai dia kelaparan, atau kedinginan, atau popoknya basah. Semua perlengkapan saya sudah siapkan. Tolong ya?" Luan menepuk pelan tangan Aurora lalu bermaksud pergi ke kamarnya.
"T-tunggu," sahut Aurora parau, menahan gerak langkah Luan. Aurora berpaling pada salah satu nanny yang stand by, lalu menyerahkan bayi itu padanya dengan berhati-hati.
"Hey, hati-hati menggendongnya, dia baru lahir, masih rapuh," ujar Luan memperingatkan.
Aurora tidak menggubris. Dengan langkah lebar ia menghampiri Luan lalu menarik tangannya, mengajaknya ke lantai dua.
"Ada apa?" Luan bertanya begitu mereka tiba di atas.
"Kamu masih nanya 'ada apa'??!" Tampaknya Aurora telah menguasai dirinya kembali setelah mendapat perlakuan mengejutkan dari Luan. "Apa-apaan?! Kenapa bisa ada bayi, kenapa kamu pulang bawa-bawa bayi merah??!" semburnya emosi.
Luan menghela nafas panjang.
"Bayi itu bayi siapa???" Aurora masih menginjak gas.
"Bayi saya, tadi sudah saya katakan, bukan?" jawab Luan tenang.
"Bayi kamu! Itu anak kamu??" Aurora memperjelas.
Luan mengangguk. "Tentu, dia anak saya. Belum saya kasih nama. Nama apa yang bagus ya?"
Aurora semakin membelalak memandangi Luan tidak percaya. "Ituu bayi kamu sama siapa?? Siapa ibunya?? Jadi ... jadi kamu tuh ......" Aurora lagi-lagi tidak sanggup menyelesaikan semburannya.
"Ada apa sih, Aurora? Kenapa emosi sekali?" sahut Luan.
Ketenangan Luan semakin membuat Aurora meradang.
"Jadi kamu selingkuh?! Kamu main-main entah dengan siapa, sampai dia hamil lalu melahirkan anak kamu?!" Aurora nyaris memekik.
"Selingkuh," ulang Luan, terkekeh sinis. "Sejak awal mula pernikahan ini tidak ada, tidak valid. Tidak ada valuenya. Bukankah, kamu hanya istri saya di atas kertas?"
Aurora terperangah memandangi Luan. Ia yang tadinya berniat memberi maaf pada Luan ... ia yang tadinya berniat mengajak Luan memperbaiki hubungan mereka, malah mendapat kenyataan yang mengerikan seperti itu. Air bening mulai mengaburkan pandangan Aurora, yang masih menatap Luan tanpa suara.
"Itu yang kamu katakan terakhir kali, bukan? Agar saya memakan buku nikah kita?" Luan balas memandangi Aurora, tidak memedulikan air mata yang hendak menyeruak tumpah di wajah wanita itu. "Aurora. Saya tanya, istri macam apa yang pergi meninggalkan suaminya berbulan-bulan, tanpa kabar sama sekali?" tanyanya dengan nada rendah.
Air mata Aurora telah menetes satu per satu.
Entah mengapa kali ini air mata milik Aurora itu tidak menggugah Luan. Dia berkata, "Jujur saja, saya tidak peduli kamu anggap saya apa. Peselingkuhlah, pezinahlah, apa pun. Yang saya lakukan hanya untuk memelihara nama keluarga saya, yang memang menjadi tugas saya. Saya memiliki istri, ya, memang, istri di atas kertas. Istri yang sayangnya tidak bisa saya harapkan untuk membantu saya meneruskan nama Tamawijaya. Bahkan, istri saya pergi meninggalkan saya. Lalu menurutmu, apa yang harus saya lakukan agar tugas meneruskan nama bisa tetap saya laksanakan? For your info, saya bukan makhluk hermaprodit yang bisa membuahi diri sendiri. Saya tidak punya rahim, dan tidak punya sel telur. Jadi apa boleh buat, saya menanam benih di rahim orang yang bersedia ... apakah penjelasan ini cukup?"
"Why did you do this to me?" lirih Aurora, nyaris berbisik. Wajahnya telah basah seluruhnya karena air mata.
Luan memicingkan mata. "Bukankah sudah saya jelaskan? Apa perlu saya ulangi? Bagian mana yang tidak kamu tangkap dengan jelas?"
"Apa kamu tahu apa alasanku kembali?" tanya Aurora dengan nada gemetar.
"Karena memang kamu harus kembali, kamu istri saya. Di atas kertas," jawab Luan dingin.
Aurora ingin menyahut, mengemukakan alasannya kembali pada Luan, dan betapa Luan telah menyakitinya dengan membawa pulang seorang bayi baru lahir! Ia sudah memiliki niat memperbaiki semuanya dengan Luan, tapi malahan ia harus menerima sayatan perih di hati. Namun rasa sakit itu, membuatnya tak sanggup berucap.
"Hal ini sudah saya pikirkan masak-masak berulang kali," ujar Luan dalam satu tarikan nafas. "Skenario saya adalah, kamu telah hamil namun kehamilan kamu beresiko ... kamu tidak boleh capek, tidak boleh berada di tempat yang banyak orang ... intinya, kamu tidak boleh mengalami mood swing. Kamu menghabiskan sembilan bulan masa mengandung di villa saya di puncak, tempat yang tenang dan sejuk, kamu tidak perlu bertemu banyak orang di sana. Kamu hanya perlu fokus pada kesehatan dirimu dan juga bayimu. Ini akan sangat menjelaskan mengapa selama sepuluh bulan terakhir kamu tidak terlihat oleh orang sekitar kita. Bukankah saya telah begitu baik, merancang skenario demikian untuk menutupi kelakuanmu yang pergi meninggalkan suami?" Luan menyunggingkan sebuah senyum sinis. "Hal yang sama juga akan saya sampaikan pada papa saya, dan terutama, papa mama kamu. Tenang saja, saya akan menjelaskan semua itu pada mereka dengan sangat meyakinkan, jadi mereka tidak perlu bertanya-tanya mengapa mereka sama sekali tidak tahu mengenai kehamilanmu," lanjutnya memperjelas.
"Begitu," lirih Aurora.
Luan mengangguk. "Tampaknya kamu sudah paham. Baiklah. Selamat menikmati peran barumu sebagai seorang ibu."
"Kamu pikir aku setuju?" Aurora menguatkan hati sebisa mungkin. "Kamu kira aku bersedia diinjak sedemikian rupa olehmu, dan menerima bayi kamu yang entah dari mana asal usulnya?!"
![](https://img.wattpad.com/cover/325921858-288-k531358.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Roman d'amour"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...