Namun malam itu, meski sedari tadi memejamkan mata, Aurora tidak juga terlelap. Dalam benaknya terus teringat perkataan Sophie. Ia juga teringat masa-masa indah dirinya dan Luan saat masih berpacaran.
***
Saat itu Aurora di pertengahan semester lima, tengah sibuk-sibuknya menyambut ujian menjelang akhir tahun. Seharusnya ia sudah berangkat sedari tadi, namun nyeri perut yang tiba-tiba dirasakannya membuat ia urung meninggalkan kamar.
Sembari menahan rasa sakit yang melilit, Aurora naik ke atas ranjang, berbaring meringkuk. Tidak sanggup rasanya memaksakan diri berangkat ke kampus, perutnya bukan main melilit, seperti sedang diperas.
Dering ponsel mengagetkan Aurora. Yang menelepon pasti Luan, dia tentu sudah sedari tadi menunggu di pintu gerbang asrama untuk menjemputnya. Aurora menjawab panggilan Luan itu.
"Luaan ...," panggil Aurora.
"Kamu kenapa, Ra? Sakit?" Luan menyahut dari seberang, langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Luan sudah mengenal betul Aurora. Dengan mudah dia bisa membedakan dan mengenali nada suara kekasihnya itu jika sedang berubah suasana hatinya, atau jika tengah merasa tidak nyaman pada tubuhnya.
"Sakitt," jawab Aurora. "Sakit perut ...," rajuknya.
"Ah. Ini tanggal berapa ... oh ya ampun, udah waktunya ya?"
"Heeh."
Terdengar Luan menghela nafas panjang. "Kasihan kamu. Sakit banget ya?"
"Bangett." Memang Aurora benar-benar merasakan kram yang bukan main, butiran keringat dingin mulai membasahi kening gadis itu.
"Tapi ... tapi, nggak bisa ditahan, Ra? Minum aspirin, terus absen di kelas, udahnya langsung pulang lagi. Bisa? Soalnya ini kelasnya Mr. Killer lho, Ra, kalau kamu sampai nggak dateng ... takutnya ...."
"Lagi sakit banget aku nggak bisa gerak, Luann! Sakit!! Kok maksa sih! Biar aja si Mr. Killer itu mau apa, terserah! Apa dia baru sadar kalo nggak selamanya mahasiswanya bisa hadir terus! Kalo ada mahasiswanya yang mati, baru sadar dia?!" Aurora menginjak gas emosi.
Luan tergagap, terburu menenangkan. "Iya iya. Maaf. Nggak, kamu nggak harus masuk. Istirahat aja ... aku coba cari cara siapa tahu aku bisa absenin kamu ya."
"Bodo amat! Terserah!"
"Iya Sayang, maaf tadi ngomong aneh-aneh. Udah, kamu kompres aja perutnya pakai bantal hangat, hati-hati jangan sampai kabel bantalnya malah melilit kamu. Minumin air yang banyak, nanti aku bawain kamu makan sama snack ya ... nanti aku titip ke Sophie seperti biasa. Lagi kepengen apa? Coklat aja? Atau mau terang bulan yang waktu itu? Atau mau yang lain?" tawar Luan.
Aurora merajuk. "Hmmm. Mau terang bulan. Toppingnya yang biasa aja, tapi pake keju yang banyak. Bilangin ke penjualnya, kental manisnya juga banyakin, tuang sebanyak-banyaknya kalo perlu sekaleng abisin."
Luan terkekeh, menegur, "Heh. Nanti kamunya yang ngembang."
Nada suara Aurora kembali naik. "Emangnya kenapaa kalau ngembangggg? Nggak sukaa??"
"Iya iya, oke. Nanti aku ke sana habis kelas," balas Luan.
"Hmm."
"Ada pesanan lain? Obatnya masih?" Luan memastikan.
"Masih. By the way, yang jual terang bulan kan jauh, Luan? Nggak apa?" Aurora tahu penjual terang bulan ada di kota sebelah, satu-satunya penjual terang bulan di negara itu. Ia tidak enak juga meminta Luan melakukan perjalanan jauh hanya demi memenuhi keinginan perutnya semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...