Segera setelah sajian minuman berisi kopi dan teh hijau disajikan oleh pelayan, Luan menyunggingkan sebuah senyum pada Aurora. "Saya nggak sangka kamu beneran cerai," ujarnya membuka percakapan.
Aurora hanya tersenyum sekilas, malas menanggapi.
"Padahal saya tahu, Sena itu sangat penting buatmu."
"Yah .... Dia penting buatku, tapi aku nggak penting buat dia," sahut Aurora pelan. Ia meneguk tehnya perlahan. "Tapi ya itu udah jadi masa lalu. Mungkin tadi kamu sempat lihat, Sena peluk aku. Udah nggak ada rasa apa pun di hati saat dia peluk aku. Aneh yah? Padahal dulu aku bucin banget sama dia," lanjutnya.
Aurora menarik nafas panjang sebelum melanjutkan lagi, "Sejak dia bilang ... maksudku, sejak dia konfirmasi kalau dia emang nggak bakal bisa kasih aku perhatian .... Yaa ... sejak saat itu aku mati rasa. Semua yang pernah aku rasakan terhadap dia kayak menguap, hilang begitu aja. Sakit hati, sih. Perih, awalnya. Tapi lama-lama ya menguap sendiri."
"Kamu bakal pulih, pasti bakal move on dengan sukses," sahut Luan sembari tersenyum hangat, berusaha meyakinkan Aurora bahwa ia pasti bisa melewati semuanya.
"Aku juga yakin demikian," balas Aurora, mengangguk.
"Terus Sena beneran bakal ke luar negeri, setelah ini?"
"Iya. Tadi dia bilang, berangkat besok ...."
"Besok?" Luan tampak terkejut. "Serius, besok banget?"
"Ya serius ... kenapa mesti nggak serius."
Luan menghela nafas dalam. "Dan nggak ada yang tahu dia bakalan pergi berapa lama, kan? Berapa bulan, atau berapa tahun, atau malahan punya rencana menetap entah di mana."
"Aku rasa emang itu tujuannya .... Dia mau melepaskan diri dari semua yang ada di sini," jawab Aurora.
"Nggak heran kalau seorang Sena bakal berbuat seperti itu," sahut Luan. "Hanya sayang aja ... kalau tahu ini hari terakhirnya di sini, saya ajak dia ngopi."
"Oh?" Aurora menatap Luan heran. "Tumben? Mau berdamai apa gimana, nih?"
"Hmm. Setelah dengar ceritamu waktu itu ... saya sedikit banyak kepikiran pengen ajak Sena ngopi, ngobrol santai. Katamu dia merasa ada andil terhadap yang saya alami, kan? Ya ... saya juga jadi nggak enak hati kalau dia berasa seperti itu. Ditambah, kalau diingat lagi, kami belum sempat saling memaafkan," tutur Luan, sesekali pandangannya tampak menerawang entah kemana.
"Ya udah ... ajak ngopi aja sekarang, atau habis ini, mungkin," usul Aurora.
Luan menggeleng, lalu menyahut, "Sudahlah, nggak perlu. Siapa tahu dia sedang sibuk packing atau gimana. Yang ada saya malah mengganggu. Biarkan saja. Toh, tadi saya sempat lempar senyum padanya, dan dia membalas. Mungkin lebih baik dibiarkan saja seperti ini."
"Oh ...."
"Santoso ada komentar apa terhadap perceraian kalian? Dan juga ... gimana reaksi papa mama kamu?"
Hela nafas Aurora terdengar berat. "Tentu aja ... papa kamu kecewa banget. Lebih kecewanya sama Sena, karena Sena sendiri yang bilang kalau dia ceraikan aku. Tapi apa yang bisa beliau perbuat? Sena gitu-gitu tipenya keras juga ... nggak bisa dibilangin, meski yang ngomong papa Santoso langsung. Kalau papa mama aku ... yah. Kurasa mereka kasihan melihat anak satu-satunya resmi jadi janda dua kali. Saking kasihannya, mereka sama sekali nggak ada omongan mau balik ke sini, sekedar temenin atau hibur aku, atau apalah." Ada nada sinis di dalam suaranya, mengindikasikan hal yang sebaliknya.
Luan yang menangkap nada sinis itu hanya berdiam diri.
"Tapi ... seperti kamu, atau seperti Sena, mungkin aku juga udah mulai harus biasakan hidup mandiri. Berdiri kokoh di atas kaki sendiri, nggak bergantung pada siapa pun lagi. Apalagi bergantung sama orang tua ... udah bukan waktunya lagi seperti itu. Bener, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...