Usai mandi dan mengenakan piama favoritnya, Aurora duduk di depan meja rias, memandangi pantulan dirinya. Wajah di cermin terlihat kuyu, tidak bersemangat. Matanya juga tampak sembab akibat menangis cukup lama tadi. Entah bagaimana Aurora harus memperjuangkan keadilan sekaligus membalas sakit hatinya atas perlakuan Luan. Aurora menghela nafas panjang.
Ia hendak membuka tutup botol skincare saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Luan menerobos masuk dengan langkah lebar.
"Aurora!" panggil Luan, wajah pria itu merah menahan marah.
"Luan??" sahut Aurora yang terkejut. "Nggak sopan banget main nyelonong masuk!" tegurnya tidak suka seraya bangkit berdiri.
"Apa yang kamu lakukan?!" Luan berseru dengan nada tinggi. "Ngapain kamu ke rumah Inka tadi??"
Alis Aurora terangkat. Cewek amoral itu udah kasih laporan ke Luan, rupanya, batin Aurora. "Ohh. Gundik kamu udah ngadu kejadian sore tadi yah?" tanyanya sinis.
Ekspresi Luan semakin terlihat emosi, keningnya berkerut dalam mendengar sebutan 'gundik'. "Gundik?! Jangan asal ngomong kamu!" tegurnya.
"Kalau bukan gundik terus apa, dong? Ohh. Sorry. Selingkuhan kamu. Ibunya anak kamu. Tapi emangnya dia pantas disebut ibu? Setahu aku, yang namanya ibu itu sayang sama anaknya ... nggak ada ibu yang biarin anaknya dibawa pergi sama orang lain," sahut Aurora sambil menyilangkan tangan depan dada.
Luan berdecak. "Kamu tuh .... Gimana ceritanya kamu bisa tahu?!"
"Kaget ya, ternyata aku punya bakat jadi detektif? Percuma kamu sembunyikan serapi apa pun, selicik apa pun, aku bisa bongkar semuanya. Siapa yang rela terima anak orang lain? Apalagi nyuruh aku ikutan berbohong demi nutupin aib kamu. Denger ya, aku menolak terlibat lebih jauh dalam rencana kamu. Semua kebusukan kamu akan aku bongkar pas nanti orang tua kita ke sini. Lihat aja nanti, Luan, lihat aja nanti," ujar Aurora.
"Oh ya?" Luan berjalan mendekat. Di balik kaca mata itu, tatapan tajam yang nyalang diarahkan pada Aurora seorang. Telunjuknya pun terulur menuding wajah sang istri. "Jangan beraninya mengancam saya, Rora. Kamu pikir karena udah berhasil tahu siapa ibunya Juan, kamu bisa bersikap seperti ini? Jangan pernah kamu rusak rencana saya ... kalau kamu masih nekad, saya juga akan memberi tahu mereka soal sikap kamu selama ini. Kamu tidak pernah menjadi istri selama ini, bahkan kamu meninggalkan rumah berbulan-bulan," desisnya.
"Aduin aja, silakan!" Aurora menepis telunjuk Luan. "Kamu pikir aku takut? Kesalahanku nggak seberapa jika dibandingkan dengan kamu! Nggak nyadar ya? Siapa pun tahu yang namanya selingkuh itu salah. Ini lagi, selingkuh sampai hamil, sampai lahir anak kembar, lalu salah satu anaknya kamu bawa pulang ke rumah! Papaku nggak akan bisa terima 'cucu' jadi-jadian seperti itu. Dia nggak akan terima anaknya diperlakukan seperti ini!"
"Kenapa sih, kamu nggak nurut aja?? Jangan bikin semuanya jadi rumit, Rora!" seru Luan tidak mau kalah.
"Kamu duluan yang mulai!"
"KAMU yang bikin saya jadi seperti ini!" Suara Luan meninggi.
Aurora balas meninggikan suaranya. "Nggak usah playing victim! Hobi banget sih nganggep kalau kamu korban?? Yang korban itu justru aku, bukan kamu! Kamu tuh orang paling jahat!"
"Kamu sendiri playing victim!" balas Luan.
"Ya emang jelas aku korbannya! Semuanya tuh gara-gara kamu! Kalau kamu nggak berulah cuma demi nikahin aku, semuanya nggak akan seperti ini!"
Lagi-lagi Luan berdecak. Dia berjalan mondar mandir di depan Aurora, sesekali dia menyugar rambutnya dengan kesal. Setelah beberapa saat tidak ada yang bersuara, dia pun berujar, "Saya nggak ngerti lagi sama kamu, Rora. Kenapa sulit banget terima kalau kita itu sudah resmi menikah? Kamu maunya status kita hanya di atas kertas, saya turuti! Kamu perlakukan saya seperti sampah, saya telan! Kamu pergi liburan berbulan-bulan, apa saya menahanmu? Kamu sama sekali nggak mau sekamar dengan saya, menjaga jarak sejauh mungkin dari saya, saya bisa apa selain pasrah? Saya nggak mungkin paksakan hal itu, itu jatuhnya kriminal. Tapi saya juga dikejar tuntutan untuk segera punya anak, di samping itu saya juga ingin punya keturunan sendiri, terus saya harus gimana, secara istri saya sendiri nggak mau disentuh sama sekali? Saya nggak pernah lihat ada niatan darimu untuk berubah, itu berarti selamanya kamu akan seperti itu terus. Gimana saya bisa punya anak dari kamu? Lalu sekarang saya punya anak sendiri, dan saya hanya minta kamu rawat Juan seperti anakmu sendiri, kamu juga nggak terima. Padahal hitungannya saya bantu kamu juga biar nggak dikejar papa mama kamu terus soal cucu. Tapi kamu malah mencari tahu asal usul Juan. Malah cari ribut juga sama ibunya Juan. Kamu nggak terima kalau saya selingkuh? Saya selingkuh karena apa, nyadar nggak? Sebenarnya kamu anggap saya apa? Hanya sekedar suami di atas kertas yang kebetulan hidup seatap sama kamu, yang nggak kamu perhatikan, atau bahkan sekedar ngobrol pun nggak? Nggak bisa seperti itu terus, Ra! Kamu pikir saya robot yang nggak punya keinginan untuk punya anak, membangun keluarga sendiri? Robot yang nggak punya perasaan?"
"Bacotttt!" Aurora berseru kesal. "Siapa lu, ngomongin perasaan? Lu sendiri pikirin perasaan gue nggak, seenaknya bawa bayi merah pulang ke rumah, suruh gue yang ngerawat?"
"Ya makanya saya tanya, kamu anggap saya apa, sih? Kalau kamu emang nggak anggap saya, kenapa kamu semarah itu menyangka saya nggak mikirin perasaan kamu?"
Aurora tidak membalas. Bola matanya bergerak-gerak cepat, terlihat jelas tengah bergumul dengan dirinya sendiri. Haruskah ia memberi tahu Luan alasan ia kembali ke rumah? Memangnya itu akan mengubah keadaan?
Beberapa kali Luan menghela nafas panjang. Lalu katanya, "Sekarang gini, deh. Kamu udah terlanjur tahu soal Inka. Ya udah. Juan udah terlanjur ada di rumah ini. Ya udah. Mau gimana lagi, ikuti cara main saya."
"Ya udah ya udah apaan??" sergah Aura cepat-cepat. "Nggak ya! Nggak bakal! Ini tuh nggak adil buat gue! Nggak adil juga buat Sena! Dia yang paling nggak tahu apa-apa, dia bakal hidupin anak yang ternyata bukan dari benihnya sendiri. Nggak adil ya! Lu suruh gue tutup mata soal ini? Enak aja!"
"Cukup, Rora."
Aurora terus saja mencecar, "Kenapa sih lu nggak bisa jadi orang baik?? Kenapa harus berbuat jahat kayak gitu? Nggak hanya ke gue, tapi ke Sena juga! Sena ada salah apa sama lu, sampai lu ngerebut dan hamilin istrinya? Punya otak nggak sih?! Setan perusak rumah tangga orang!"
"Cukup!" bentak Luan. "Saya capek debat terus sama kamu, muter-muter doang nggak ada pangkalnya. Pokoknya kamu ikuti cara main saya." Luan kembali menatap tajam mata Aurora. "Dengar itu? Jangan ... pernah ... rusak ... rencana saya."
"Peduli amat." Aurora melengos, membuang muka.
"Jangan rusak rencana saya, atau kamu bakal lihat senekad apa saya sama kamu. Kamu nggak akan pernah sangka setan macam apa yang kamu tumbuhkan dalam diri saya, Rora. Bukankah kamu emang anggap saya setan? Sure, I'll be the devil and you are the angel. Jadi kamu lebih baik diam dan ikuti permainan saya. Jangan sekalipun kamu pancing setan yang lebih jahat lagi untuk keluar. Percayalah, kamu akan menyesal."
Aurora terbelalak memandangi pria di hadapannya itu.
"Kamu akan sangat menyesal, Rora. Ini peringatan keras dari saya. Jadi, lebih baik kamu diam saja. Oke?" Usai berkata demikian Luan berbalik, bermaksud meninggalkan kamar.
"Lu bukan Luan yang pernah gue kenal," desis Aurora pelan.
Luan mengangguk. Dari balik bahu dia menjawab, "Ya. Luan yang kamu kenal sudah mati, dia mati perlahan sementara kamu bersenang-senang traveling."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...