Aurora duduk di tepi tempat tidur, wajahnya mencerminkan ekspresi bingung dan kecewa. Cahaya remang-remang dari lampu malam menyinari ruangan, menciptakan suasana hening yang hanya terganggu oleh desir angin lembut dari jendela yang terbuka. Untuk kesekian kalinya, Sena, sang suami, menolak ajakan Aurora untuk bermesraan, menumbuhkan rasa kecewa dan frustrasi yang semakin mengakar dalam dirinya. Meskipun mereka telah menikah selama dua tahun, keintiman mereka malah semakin pudar. Padahal bukankah seharusnya pasangan muda seperti mereka tengah aktif dan penuh semangat bila berurusan dengan hal yang satu itu?
Aurora teringat saat dirinya dan Sena bersanding di pelaminan. Aurora sangat berbahagia lantaran akhirnya terlepas dari cengkeraman Luan si manipulator, dan akhirnya bisa bersatu dengan sang pujaan hati. Ia merasa yakin kehidupannya akan menjadi lengkap dan penuh kebahagiaan. Sudah terbayang di benaknya bahwa ia akan segera mengandung dan melahirkan buah hatinya, membangun keluarga yang utuh dan hangat, bersama Sena. Tapi ... mengapa malah Sena justru jarang menyentuhnya? Selalu Aurora yang berinisiatif mengajak, nyaris tidak pernah Sena yang memulai duluan. Mengapa?
Aurora merunut kejadian yang baru satu jam berlalu antara dirinya dan Sena. Aurora bermaksud mencoba lagi mendekati Sena. Polesan make up tipis dan gaun tidur yang mini menjadi senjatanya untuk memancing gairah Sena. Aurora tersenyum saat menilai penampilannya di cermin, memuji kecantikan dan pesona yang dimilikinya. Seorang suami yang normal pasti akan bereaksi bila melihat penampilannya saat ini. Saat sang suami masuk ke dalam kamar, Aurora langsung menyambutnya dengan pelukan manja.
"Hei, ada apa ini?" Sena terkekeh, namun tidak membalas pelukan sang istri.
"Ih, kamu lupa yaa, ini hari apa?" balas Aurora dengan nada manja.
"Hmm. Selasa?" jawab Sena seakan tidak menyadari arti pertanyaan Aurora.
Aurora mengernyit. Sejak pagi hari bahkan hingga saat itu, Aurora menunggu Sena agar teringat bahwa ini hari spesial baginya. Aurora tidak mengharap sebuah kado sebagai hadiah, ia hanya berharap perhatian dan ucapan tulus dari sang suami. Ia sendiri sadar, Sena memang tipe yang tidak bisa mengingat tanggal. Sejak mereka berpacaran dulu, Sena sering melupakan hari ulang tahun Aurora, selalu Aurora yang mengingatkan. Ia juga sadar, sejak Sena menjabat posisi tinggi di perusahaan, Sena menjadi jauh lebih sibuk. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengganggu Sena dengan pekerjaannya, maka ia bersabar menunggu Sena teringat sendiri. Tapi rupanya kesabaran itu tanpa hasil yang nyata.
"Beneran nggak inget?" tanya Aurora lembut.
Sena terlihat bingung.
"Sekarang 10 Oktober. Ulang tahun aku," kata Aurora. "Dan pas banget hari Selasa ... jadwal kita untuk ... emmm ....." Aurora tersipu malu, enggan mengutarakan lebih jelas.
Bola mata Sena membulat lebar, menyesali kealpaannya. "Astaga. Astaga," desisnya. "Maaf, Sayang. Maaf banget, saya lupa .... Selamat ulang tahun, Rora!" Sena balas memeluk Aurora erat, mengecup kening sang istri.
"Iyaa. Nggak apa kok, udah biasa ... kamu kan emang susah banget ingat tanggal," sahut Aurora sambil tersenyum manis. Ia mengeratkan pelukannya, bersandar di dada Sena.
"Maaf. Beneran, saya minta maaf," ujar Sena lagi. "Besok pulang kerja saya bawakan kado, ya. Harusnya hari ini saya bawakan, tapi malah lupa banget. Maaf."
Aurora menggeleng. "Nggak usah. Nggak butuh kado. Butuhnya kamu," katanya. Ia mendangak, menatap Sena tepat di mata, lalu tersenyum. "Yuk?"
Penyesalan semakin nyata terlihat di binar mata lelaki itu. Dengan lembut dia melepaskan diri dari pelukan Aurora, menjauh. "Maaf sekali lagi ... Rora. Saya hari ini bener-bener capek .... Meeting di beberapa tempat dari pagi sampai sore. Saya lelah. Maafkan ...," katanya penuh sesal.
Hilang sudah senyum dan kesabaran Aurora. Matanya terasa memanas. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, menahan sesuatu untuk tumpah.
"Maaf. Maaf, ya?" Sena mendekat, membelai pipi Aurora seakan menyadari perubahan mood sang istri.
Aurora memaksakan diri tersenyum. "Nggak apa. Aku tahu kamu pasti capek banget kerja seharian. Ya udah, istirahat sana," katanya pelan.
Sena membalasnya dengan senyum, sebelum beranjak menuju ranjang, bersiap tidur.
Dan kini, Aurora masih duduk diam di tepi ranjang, mempertanyakan penolakan Sena yang entah sudah keberapa kalinya. Mungkinkah ini bentuk karma untuk Aurora? Lantaran dulu selalu menolak Luan, bahkan bersikap sangat buruk padanya? Tapi bukankah Luan duluan yang berulah, makanya Aurora tega berbuat demikian? Apakah Sena memang selalu seperti ini, tidak terlalu tertarik diajak bermesraan? Mungkinkah ini sebabnya mengapa dulu Inka bisa-bisanya mengkhianati Sena dan berselingkuh dengan Luan? Karena Sena terasa jauh, tidak peka akan kewajibannya memberikan nafkah batin untuk istri? Lihat saja selama dua tahun pernikahan mereka, hubungan itu hanya terjadi beberapa kali saja, bisa dihitung dengan jari.
Dibandingkan dengan Luan, Aurora bisa menyimpulkan, Luan tipe pria yang aktif dan pasti senang bila diajak berhubungan. Luan juga tidak pernah alpa akan tanggal penting, ingatannya tajam. Luan kerap menghujani wanitanya dengan bermacam hadiah dan kejutan, membuat siapa pun seharusnya merasa bangga dan bahagia diperhatikan sedemikian rupa olehnya.
Luan sebenarnya pria yang baik. Hanya saja pernah berbuat kelewatan hingga memancing kekecewaan dan kemarahan Aurora. Jika saja Luan tidak berselingkuh dengan Inka, dan malahan membawa bayi hasil perbuatannya ke rumah, meminta Aurora mengurus bayi itu ... tentu saat ini mereka berdua sudah kembali rukun dan hidup berbahagia, seperti dambaannya. Luan selalu penuh perhatian. Luan selalu memanjakan. Luan selalu ....
Tidak. Aurora menggelengkan kepalanya. Tidak pantas membandingkan Sena dengan mantan suami yang entah bagaimana kabarnya sekarang itu.
Ia menoleh, dari balik bahu melihat Sena yang telah terlelap di sampingnya. Dengkuran samar terdengar dari pria yang kelihatannya sempurna tanpa cacat itu.
Sena keliatannya capek banget .... Apa gue yang terlalu banyak menuntut, ya? Aurora bertanya-tanya dalam hati. Ia membaringkan diri di samping sang suami, memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Benaknya dipenuhi kilasan perjalanan hidup mereka yang penuh liku-liku. Sudah banyak cobaan yang keduanya lewati bersama, yang membawa mereka resmi bersatu, namun mengapa keadaannya malah tidak sesuai yang Aurora harapkan?
***
Inka duduk di sofa dengan senyum lembut di bibirnya, matanya berbinar penuh kebahagiaan menyaksikan momen kecil yang terjadi di hadapannya. Ruang tamu yang hangat dan penuh cahaya matahari menyambut keceriaan anak-anaknya yang tengah tertawa riang bersama Luan. Juan dan Ian, balita-balita kecil mereka, terlihat begitu antusias dan penuh kegembiraan, sepenuhnya terbawa oleh permainan yang diatur oleh Luan.
Sesuatu yang tidak pernah Inka duga sebelumnya, bahwa Luan akan dengan inisiatif sendiri mendatanginya dan menengok anak-anak. Mungkin naluri kebapakan yang Luan miliki telah memanggil, membuatnya merasa kangen dengan si kembar. Luan, pria yang kini terlihat memiliki kehangatan dan kelembutan, dengan segera menjadi sosok yang akrab bagi Juan dan Ian. Meski harus menunggu dua tahun sampai naluri Luan terpancing, tapi Inka memilih untuk tidak memberatkan pikirannya akan hal itu. Inka bersyukur dalam hati, sembari terus tersenyum memandangi ketiganya. Terdengar gemerlap tawa anak-anak, mengisi ruangan dengan keceriaan yang membuat hari semakin berwarna. Pada setiap sentuhan mainan, setiap tawa kecil, Inka bisa merasakan kebahagiaan tulus yang meluap dari hati mereka.
Candaan dan suara riang di siang hari itu menjadi melodi indah yang memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer hangat dan harmonis. Inka menghargai momen-momen seperti ini, di mana ia bisa terhanyut dalam ilusi keluarganya bersatu dalam kebahagiaan sederhana, menciptakan kenangan yang akan membekas selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...