Saat mentari pagi enggan meninggalkan tempat persembunyiannya di ufuk timur, dan tetesan embun masih setia memeluk setiap helai dedaunan, Luan justru sudah bersiap menghadapi hari dengan penuh semangat. Kaos, celana olah raga serta sepatu kets telah menempel di tubuhnya. Untuk kesekian kalinya dalam satu bulan itu, Luan mulai rutin lari berkeliling kompleks, sepagi mungkin. Penampilannya lebih segar sekarang, lebih berisi.
Luan baru membuka pintu pagar dan bersiap pemanasan sebelum berlari, ketika dilihatnya sebuah mobil putih terparkir di depan rumahnya. Mobil putih itu sudah ada sejak semalam saat Luan pulang dari kantor, mengapa sampai pagi seperti ini mobil itu tetap di sana?
Maka Luan menghampiri mobil putih itu, berusaha mengintip ke dalam.
Tampak seorang wanita tertidur di kursi pengemudi, berselimutkan kain seadanya. Luan mengernyit. Siapa pula perempuan yang tidur di dalam mobil di depan rumah orang seperti ini?
Seiring langkahnya yang semakin mendekat, Luan semakin merasa dia mengenali wanita tersebut. Luan memerhatikan lebih seksama ... dan terkejut begitu menyadari wanita tersebut adalah Aurora.
"Rora?" gumamnya tak percaya.
Diburu rasa heran sekaligus cemas, Luan segera mengetuk kaca pintu mobil Aurora berkali-kali. "Ra? Rora? .... Bangun, Ra," panggilnya.
Yang di dalam mobil perlahan membuka mata, tampak bingung sejenak menyadari di mana dirinya. Ia terperanjat begitu melihat keberadaan Luan di luar mobil, mengintip sambil memanggilinya.
"Ra? Kamu ngapain di sini?"
Aurora menghela nafas panjang, mengusap wajahnya. Ia menurunkan jendela kaca, lalu menyapa Luan, "Hai. Pagi, Luan ...."
Luan semakin merasa aneh dengan keadaan Aurora. Tidur di dalam mobil, di depan rumahnya semalaman, ada apa dengannya?
"Aurora? Kamu nggak apa-apa? Kamu semalaman tidur di sini?"
Aurora menggerakkan kepalanya ke arah kursi penumpang di sampingnya. "Masuk sini, Luan," ajaknya.
Luan yang masih saja keheranan sekaligus bingung menuruti permintaan Aurora dan masuk ke dalam mobilnya. "Hei. Ada apa denganmu? Kok ada di sini? Kok tidur di mobil?" Luan langsung mencecar pertanyaan.
"Hmm." Aurora bergumam tidak jelas. "Tadinya aku pikir mau langsung pergi sebelum jam kamu berangkat ke kantor .... Nggak tahunya malah kamu pergokin aku di sini," sahutnya.
Pagi yang tidak biasa. Setelah sekian lama tidak tahu kabar Aurora, menyangka Aurora sudah hidup berbahagia dengan Sena, tidak tahunya pagi ini Luan mendapati Aurora dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Mengapa ia bisa-bisanya tidur di dalam mobil di depan rumahnya? Mengapa tidak pulang ke rumahnya sendiri?
"Ada apa? Kamu sedang ada masalah?" Luan bertanya lembut.
Aurora mengangguk pelan. "Masalah besar."
Luan terbelalak. "Maksudmu?"
Aurora menggigit bibir. "Sena bilang dia nggak akan menahanku ... dia bebaskan aku ...," ujarnya lirih. "Bahkan minta aku mencari pria lain yang lebih layak buatku ...."
Kening Luan berkerut-kerut mendengar penuturan Aurora, matanya memandangi sang mantan istri dengan tatapan tak percaya. "G-gimana ...? Maksudmu ... kok bisa begitu?" tanyanya kebingungan.
"Nggak tahu ...." Aurora menggeleng lemah. "Aku udah hopeless."
Luan kesulitan mencerna keluhan Aurora. "Saya nggak paham, Aurora. Kenapa Sena bisa bilang begitu ...? Dia ... dia ingin berpisah?"
Anggukan lemah Aurora menjadi jawaban. Ia tidak sanggup berkata apa pun, malahan menangis sesenggukan, membuat Luan semakin kebingungan.
"Rora ... hei, sssh, jangan nangis," bujuk Luan sekenanya. Sebersit keraguan hinggap, namun Luan segera mengenyahkannya, lalu mengulurkan tangan membelai bahu Aurora, berusaha menghibur. "Kamu kenapa malah nangis? Ada apa sebenarnya?"
Tidak ada sahutan dari yang diajak bicara, hanya isak tangis yang terdengar, memaksa Luan berpikir cepat. "Ayo masuk ke rumah, minum teh dulu supaya kamu tenang, supaya bisa cerita dengan enak. Mau ya?" bujuknya.
Aurora hanya mengangguk, membiarkan Luan membuka pintu dan menuntunnya keluar dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah Luan. Luan membimbing Aurora duduk di ruang makan setelah meminta pelayan menyiapkan secangkir teh manis untuk Aurora.
Sungguh, Luan tidak pernah menyangka akan kehadiran Aurora yang sangat tiba-tiba, dalam keadaan yang seperti itu. Sangkanya, Aurora menjalani kehidupan pernikahan dengan Sena bak cerita dongeng, happily ever after. Sangkanya, Aurora sudah tidak pernah lagi mengingat dirinya, saking bahagia hidupnya. Tetapi mengapa kini Aurora malah menangis sesenggukan di hadapannya, dan mengatakan bahwa ia dan suaminya berpisah? Luan hanya membelai tangan Aurora yang masih terus terisak, kebingungan.
Teh telah tersaji, Luan mendekatkan cangkir teh pada Aurora. "Minum tehnya dulu, Ra. Kamu pasti haus, semalaman di luar rumah," bujuknya.
Aurora menuruti Luan. Ajaib. Usai minuman hangat dan manis itu meluncur di lehernya, Aurora merasa lebih baik.
Dengan sabar Luan menunggu Aurora menghabiskan teh. Benaknya dipenuhi prasangka, apa sekiranya yang membuat Aurora menjadi seperti ini?
Aurora menaruh cangkir yang nyaris kosong, lalu berkata pelan, "Aku nggak bahagia dengan Sena ...."
Luan hanya diam memandangi Aurora, menunggu wanita itu melanjutkan ceritanya. Jika saat ini yang Aurora butuhkan adalah telinga yang bersedia mendengarkan keluhan serta tangisannya, Luan akan berikan dengan senang hati. Hal apa lagi yang bisa dia lakukan selain meminjamkan telinga?
"Sena nggak pernah kasih perhatian ke aku. Pagi, siang, malam, kerja terus ... bahkan weekend juga kerja. Dua tahun aku tahan-tahanin, bukannya berubah lebih baik, dia malah jadi terasa makin jauh .... Nggak ada komunikasi yang enak. Nggak ada perhatian. .... Ulang tahun aku nggak pernah dia ingat, harus diingatkan. Kasih kado atau oleh-oleh, juga nggak pernah sesuai yang aku mau .... Aku nggak bisa andalkan dia untuk cerita ... karena perhatiannya hanya ke pekerjaan. Aku nggak bisa manja-manja ... dia bilang sibuk. Aku capek, nggak diperhatikan selama ini. .... Terus aku protes, aku nanya ada apa dengannya? Apa yang salah sama aku .... Apa aku bisa dapetin waktunya yang berharga, sedikit aja, spesial buatku seorang ... tapi dia nggak bisa kasih itu," tutur Aurora pelan.
Luan mendengarkan dalam diam. Sesekali dia menghela nafas panjang, mengetahui perilaku Sena terhadap Aurora selama ini.
"Dia nggak bisa kasih waktunya dengan alasan sibuk. Padahal, kalau emang aku penting buatnya, dia akan luangkan waktu, sesibuk apa pun dia .... Benar, kan? Aku nggak pernah jadi prioritasnya. Hanya bisnis, hanya kerja, hanya meeting yang ada di pikirannya .... Setelah aku nangis-nangis minta dia jujur, kenapa dia seperti itu ... dia bilang ... dia bilang karena dia sebenarnya masih belum pulih dari kejadian yang lalu," lanjut Aurora.
Luan lagi-lagi menghela nafas panjang.
"Dia bilang dia masih belum terima kenapa papa kamu membohonginya sekian lama .... Dia bilang dia belum terima kenyataan kalau dia adalah alasan di balik perilaku papa ke kamu selama kamu sekolah dulu. Dia nggak enak sama kamu, dia merasa punya andil kesalahan .... Meski sebenarnya dia juga masih marah karena kamu selingkuh sama Inka ... tapi dia juga merasa bersalah sama kamu."
Luan mengernyit bingung, menggelengkan kepalanya, namun tidak berkomentar.
"Dia bilang dia belum terima kenyataan yang bertubi-tubi dia terima pada hari itu. Kemarahan dia pada papa kamu. Kemarahan dia pada Inka dan kamu. Kekecewaan dia karena dikhianati dan ditipu. Bercampur rasa bersalah juga ke kamu. Dia belum terima kenyataan itu semua sepenuhnya .... Dia bilang dia belum berdamai dengan keadaan. Dia hancur saat hari pengungkapan itu ... dan sampai sekarang belum sepenuhnya pulih .... Dia bilang, dia butuh waktu sendirian untuk bisa pulih dari traumanya. Dia bilang, harus sendirian. Aku nggak boleh bantu dia hadapi semua ini bersama-sama. Aku nggak boleh menunggu dia sampai pulih dan kembali pada aku. Bahkan aku nggak boleh mengharapkan dia bakal kembali .... Aku merasa nggak dibutuhkan ... nggak diinginkan. Dia bilang juga ... kalau dia telah bersalah karena seharusnya dia pulih dulu dari semua ini, baru menikahi aku. Tapi dia malah pendam semuanya itu .... Dia minta maaf karena aku malah jadi menderita karena menghadapi dia yang masih belum pulih itu. Dia bilang, dia akan terus bersalah kalau biarin aku terus berada di sisinya .... Katanya aku bakal lebih lama lagi menderita ...."
Luan memejamkan mata. Ternyata seperti itu ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...