52 - Istri Orang Yang Sengsara

36 1 0
                                    

Usai membasuh diri dan mengenakan pakaian tidur, Aurora segera naik ke ranjang, mendekati Sena yang tengah berkutat di depan laptop.

"Sen ... sedang apa, sih?" Aurora bertanya manja seraya menyandarkan kepalanya di bahu Sena.

"Hmmm." Sena hanya bergumam tidak jelas.

"Kamu masih kerja aja," komentar Aurora saat melihat yang terpampang di layar laptop Sena. Tabel dan grafik yang berwarna membosankan lengkap dengan sekian banyak teks di sekitarnya.

"Iya nih, buat bahan meeting besok," jawab Sena sembari menghela nafas dalam.

"Masih lama selesainya?" Aurora mendangak, menatap mata sang suami.

"Lumayan. Kenapa memangnya?"

Aurora mendengus gemas. "Tutup dulu laptopnya ... jangan kerja terus ...," pintanya.

"Mau gimana lagi, harus selesai malam ini," sahut Sena tanpa mengalihkan pandangan pada sang istri.

"Emangnya kerjaan kamu nggak bisa nunggu?" Aurora mulai tidak sabar.

"Ini buat bahan meeting besok, Rora," jawab Sena sekali lagi.

Aurora mendesah galau. "Kamu jadi makin jauh dari aku ... selalu kerja, kerja terus. Kapan kamu ada waktu buatku?"

Sena berdecak pelan. "Saya kan kerja buat kamu. Lagipula kamu juga yang terus mendorong saya supaya mau terima jabatan tinggi dari Papa Santoso. Dengan jabatan yang tinggi seperti itu wajar kalau saya jadi lebih sibuk," jawabnya, ada nada gusar dalam suaranya.

"Kok ... kamu jadi bahas itu?"

"Sudahlah, kamu kalau udah ngantuk ya tidur duluan aja. Saya masih harus selesaikan ini."

Aurora tidak menyahut. Hanya terdengar suara lembut papan tombol beradu dengan jemari Sena, yang tampak makin fokus dengan yang ada di hadapannya.

Setelah sekian lama terdiam, Aurora mencoba membujuk lagi. "Sen ... kamu benar-benar terasa jauh sekarang," keluhnya. "Jarang banget ada waktu buatku. Aku kan cuma pengen ada quality time sama kamu ... berdua aja ...."

"Apa lagi sih, Rora?" Sena mengernyit menatap Aurora. "Bukannya saya udah kasih kado buatmu?"

Aurora tersenyum getir, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Tapi aku butuh lebih dari itu, Sena. Aku butuh perasaan bahwa kita saling membutuhkan, bahwa kita masih memiliki hasrat satu sama lain ...," ujarnya pelan.

Sena memijit kening. "Dengar ... saya masih harus fokus selesaikan tugas saya," sahutnya.

"Tapi tugas kamu sebagai suami jarang banget kamu penuhi. Aku cuma minta waktu kamu sebentar aja, masa nggak bisa juga?" Aurora bertanya penuh harap.

Sena menghela nafas panjang.

Tidak mendengar sahutan apa pun, Aurora kemudian bertanya, "Emangnya kamu ... kamu nggak mau aku bisa segera hamil?"

"Ini dan itu lain soal," sahut Sena dingin. "Lagipula malam ini bukan jadwalnya melakukan itu."

Aurora mengernyit kesal. "Tapi kemarin jadwalnya kita, kamu malahan nggak mau juga dengan alasan capek," katanya.

"Ya emang saya capek. Saya juga manusia biasa yang punya rasa capek. Masa gitu aja kamu nggak paham?" balas Sena.

"Kemarin capek, sekarang sibuk kerja, lain waktu nggak mood," protes Aurora. "Sebenarnya aku dapat prioritas nggak sih, dalam hidup kamu?"

"Rora, please," sahut Sena sembari melengos. "Saya punya tanggung jawab besar di kantor. Nggak mungkin saya abaikan demi kesenangan pribadi."

"Termasuk untuk menyenangkan istri?" tanya Aurora tak percaya.

"Lain waktu, ya, Rora. Sekarang bener-bener nggak bisa," ujar Sena melembut.

Lagi, untuk kesekian kalinya Aurora menerima penolakan. Semua yang menjadi beban dalam hati semakin tak sanggup lagi ia tahan. Ia pun berkata lirih, "Kamu jarang ada waktu. Jarang ngobrol enak berdua. Jarang manjain aku. Jarang ada quality time .... Beliin oleh-oleh pun salah melulu. Nggak pernah hafal tanggal. Nggak pernah hafal favorit aku juga .... Padahal aku selalu kasih yang terbaik buat kamu. Selalu masakin yang kamu suka, meski kamu kadang jarang mau makan dengan alasan udah makan di luar. Kamu nggak ada perhatiannya sama aku. Dua tahun aku tahan-tahanin menghadapi sikap kamu yang seperti ini. Aku pikir bakalan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi rupanya nggak ...." Hati Aurora terasa pilu mengungkapkan sikap Sena selama ini.

Sena memandangi Aurora dalam diam, keningnya kembali berkerut-kerut.

Aurora melanjutkan, "Kalau dibandingin ... Luan jauh lebih punya perhatian dan selalu tahu maunya aku apa."

Sena terpancing begitu mendengar nama itu. "Kenapa jadi bawa-bawa Luan?" tanyanya dengan nada meninggi.

Aurora tersentak, sadar telah kelewatan berucap. Tapi ia malahan mencari pembenaran akan sikapnya barusan, dan menyahut, "Kamu yang bikin aku jadi membanding-bandingkan kalian."

"Kalau menurutmu Luan lebih baik, ya udah sana balikan lagi sama dia. Saya nggak suka caramu," ujar Sena sewot, lantas segera beranjak bangun. Dia mencabut charger laptopnya, dengan dingin berkata, "Saya harus kerja malam ini, mungkin sampai larut. Jadi saya tidur di ruang kerja aja."

Wajah Aurora memucat, memandangi punggung Sena yang menjauh darinya. "Sen ...?" panggilnya, berharap sang suami akan berubah pikiran. Tapi tidak. Lelaki itu segera menghilang di balik pintu.

Aurora meremas seprai, seolah bisa melampiaskan kekecewaan yang ia rasakan terhadap Sena. Mengapa semuanya jadi begini? Padahal Aurora hanya ingin mendapatkan waktu Sena sedikit saja. Hanya ingin dimanja oleh sang suami, apakah itu hal yang aneh? Mengapa Sena jadi semakin terasa jauh, tak teraih? Memang tadi Aurora sempat salah ucap dan menyinggung perihal Luan, yang mana Luan adalah sosok yang pastinya membangkitkan memori buruk dalam hidup Sena, tapi apakah Sena tidak mengerti apa inti dari keluhannya tadi? Mengapa Sena malahan ringan sekali berkata agar ia kembali saja pada Luan? Apakah kehadiran Aurora tidak ada artinya bagi Sena?

***

Di hari Sabtu pekan berikutnya, pagi-pagi sekali Aurora sudah keluar rumah, berkendara sendirian tak tentu arah. Tidak ada tempat yang ingin ia tuju sebenarnya, namun berada di jalanan dan melihat-lihat jauh lebih baik daripada diam saja di rumah. Sena juga sudah berangkat ke kantor sejak pagi, seolah tidak mengenal kata 'akhir pekan'. Perdebatan mereka berdua tempo hari juga turut memberikan andil dalam hubungan mereka yang semakin memburuk. Tidak adanya itikad dari Sena untuk mengajaknya bicara dari hati ke hati, meluruskan permasalahan antara mereka, membuat Aurora semakin terpuruk dalam kekecewaan. Ia merasa diabaikan.

Apakah seperti itu rasa sakit yang Luan telan mentah-mentah saat Aurora mengabaikan dirinya saat mereka menikah dulu? Mengapa perih ... sakit sekali rasanya? Tidak diacuhkan oleh orang tersayang, hanya diberi punggung? Mengapa Luan bisa tahan dengan pengabaian Aurora dulu?

Benarlah komentar Sophie waktu itu. Sahabatnya itu pernah berkata bahwa ia penasaran sekaligus kagum pada Luan yang selalu tahan menghadapi sikap Aurora. Aurora yang selalu egois, mau menang sendiri, galak, judes, selalu ingin diistimewakan ... dan segudang sifat negatif lainnya. Semuanya itu tidak berpengaruh buat Luan, lantaran Luan selalu mencurahkan perhatian padanya. Hal yang sama tetap Luan lakukan di masa pernikahan mereka yang seumur jagung itu, namun Aurora malahan mengabaikan Luan sedemikian rupa.

Sekarang keadaan justru berbalik dan membuat Aurora sengsara. Ia terpaksa menelan pil pahit bernama pengabaian yang diberikan oleh Sena. Entah sampai kapan Sena akan mendiamkan dirinya. Apakah pria itu tidak pernah punya maksud memperbaiki semuanya?

Tanpa Aurora sadari, ia telah tiba di depan rumah Luan. Rumah yang pernah ia tinggali bersama lelaki berkacamata itu.

Kenapa gue malah ke sini ...? ujar Aurora dalam hati, kalut. Ngapain ke sini? Nengokin mantan suami? Faedahnya apa?

Tawa yang terdengar getir lolos dari mulutnya. Lucu. Sekarang justru gue yang kangen Luan .... Gue beneran kena karma ..., katanya lagi dalam hati.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang