48 - Tidak Akan Pernah Ada Kata "Kita"

52 3 0
                                    

Ketika pintu rumah bercat putih itu terbuka, Luan dengan tegas memberi isyarat pada nanny yang menemaninya untuk menyerahkan Juan pada Inka. Inka, ekspresinya bercampur aduk antara kebahagiaan dan kebingungan, memandangi bergantian bayi Juan dan Luan. Bayi Juan tertidur pulas, tanpa menyadari bahwa ia kembali berada di pelukan ibunya.

Dalam momen yang penuh haru, Inka menahan diri, akhirnya bisa bersama dengan anaknya yang selama ini absen dari kehidupannya.

"Saya kembalikan Juan padamu. Di sini rumahnya yang sebenarnya, kan?" Suara Luan terdengar datar, tanpa ada ekspresi yang terpancar. Meskipun pertemuan ini merupakan kali pertama setelah Inka melahirkan.

Meskipun kata-katanya dingin, dia melanjutkan, "Kamu nggak usah cemas. Saya akan mengirim sejumlah uang ke rekeningmu setiap bulan, supaya kamu nggak kesulitan memenuhi kebutuhan Juan dan Ian."

Luan berlanjut dengan ketidakhangatan yang sama. "Begitu saja. Saya pamit pulang dulu."

Inka mencoba memanggilnya dengan ragu, "L-Luan. Kamu buru-buru, ya...?"

Namun, Luan tidak memberikan tanggapan.

"Please. Di sini dulu ... aku ... aku butuh temen ngobrol ...," rengek Inka pelan. Beban emosional yang berat selama beberapa minggu terakhir telah mengikis semangatnya untuk hidup, terutama setelah Sena menceraikannya.

Luan awalnya merasa malas untuk meladeni Inka, namun sesuatu menggerakkan hatinya, luluh karena belas kasihan melihat keadaan Inka. "Kamu pulang duluan dengan supir. Nanti suruh supir saya kembali ke sini dan jemput saya," titah Luan pada nanny yang menemaninya, dan nanny itu patuh menurut.

Inka menangis pelan, mencoba menutupi emosi yang meledak-ledak di dalam hatinya. Luan melangkah mendekat, tetapi tidak sepenuhnya menatap Inka. Pria itu tetap menjaga jarak, meskipun ada kelembutan yang terasa dalam gestur tubuhnya.

Tanpa banyak bicara Luan mengikuti Inka masuk ke dalam rumah. Wanita yang telah melahirkan anak-anaknya itu lalu berkata, "A-aku taruh Juan dulu di boks ya ... kamu duduk di sini aja dulu."

Luan menuruti perkataan Inka sembari menghela nafas panjang, membiarkan Inka masuk ke dalam kamar. Entah apa yang akan wanita itu bicarakan nanti. Dengan santai Luan mengambil sebatang sigaret putih dari sakunya dan memantik api. Sebuah kebiasaan baru yang tentu saja Luan tahu berbahaya untuk kesehatan, namun dia tidak memiliki pilihan obyek lain untuk mengalihkan beban hidupnya.

Inka tertegun begitu kembali ke ruang tamu, mendapati Luan tengah asyik mengisap racun. "Lho ... kamu ...?" Tapi Inka tidak berkomentar lebih banyak, memutuskan tidak akan mencampuri pilihan hidup Luan. Ia mengambil tempat di seberang Luan, duduk diam di sana sambil menunduk.

Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit. Luan asyik dengan racunnya, tampak tak acuh dengan keadaan Inka yang terlihat semakin tersiksa oleh pikirannya sendiri. Wanita itu merasakan kegelapan menyelimuti, seolah-olah dipenjara oleh ketidakpastian dan rasa sakit. Namun, di tengah-tengah kesenyapan yang menyiksanya, kekuatan batinnya merayap perlahan. Ia memandang Luan dengan mata penuh ketegasan, mencoba menahan getaran emosional yang merayap dalam dirinya.

Dalam sekejap, Inka mengumpulkan keberanian untuk berbicara, suaranya gemetar namun penuh dengan tekad. "Bagaimana dengan kita selanjutnya ... Luan?"

Luan tersenyum sinis mendengar pertanyaan itu. Diembuskan asap yang ada dalam mulutnya perlahan, lalu menjawab, "Kita? Tidak akan pernah ada 'kita'. Kamu jangan berharap."

Inka merasa dadanya sesak saat mendengar jawaban dingin dari Luan. Seolah-olah hatinya diinjak-injak, ia berusaha menutupi kesedihannya dengan senyuman pahit.

"Tidak akan ada kata 'kita', Inka. Kamu harus tahu posisimu," kata Luan dengan suara tegas, tetapi tanpa ada ekspresi penyesalan. Matanya yang dingin seakan tidak memedulikan rasa sakit yang mungkin dirasakan oleh Inka.

Mendengar kata-kata itu, Inka merasa dunianya hancur. Ia mencoba keras untuk menahan tangisnya, tetapi air matanya akhirnya menetes tanpa bisa ia kendalikan. Inka merenung sejenak, meratapi kegagalan cintanya yang begitu mendalam.

"Luan, aku pikir kita memiliki sesuatu yang nyata. Aku mengira ada perasaan di antara kita," ucap Inka dengan suara serak, mencoba menjelaskan perasaannya yang sulit diungkapkan.

Luan hanya menggelengkan kepala, tanpa sepatah kata pun.

Keputusasaan terus menyusup ke dalam hati Inka, merayap pelan-pelan dan membuatnya semakin terpuruk. "Kita punya anak, Luan," ujarnya sekali lagi. "Ada dua bayi yang membutuhkan kasih sayang orang tua yang lengkap .... K-kamu nggak ada pemikiran ke arah sana ...? Kamu nggak kasihan pada Juan dan Ian ...?" tanyanya dengan suara tercekat.

"Inka, kita hanya bersenang-senang. Saya tidak pernah berjanji apa pun padamu. Mohon maaf kalau saya terlalu berterus terang, tapi saya memang tidak berminat menikahimu," ujar Luan, seolah membenarkan bahwa semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah kesalahan besar.

Inka mencoba menjernihkan pikirannya, mencari kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini. Ia merenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan, merelakan dirinya menerima kekalahan dalam pertarungan cinta yang sebenarnya tidak pernah ada.

"Begitu, ya ...," ucap Inka sambil mencoba memperkuat dirinya sendiri. Meskipun hatinya hancur, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Luan. Inka memejamkan matanya sejenak, mencoba mengusir rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ia harus belajar melepaskan dan menerima bahwa cinta ini hanya sebuah ilusi yang hancur begitu saja.

Mungkin Luan merasa ucapan dan tingkah lakunya terlampau dingin terhadap Inka, saat melihat wanita itu tampak sangat terluka. Luan melunakkan sikapnya. "Maafkan. Tapi inilah yang terbaik bagi kita semua," katanya dengan suara lembut, meskipun tetap terdengar dingin.

Inka menunduk, mencoba meredam emosinya. Ia bisa merasakan seakan dinding antara mereka semakin tinggi, dan tak ada lagi celah untuk kembali ke masa lalu yang mereka bagikan. Meski Juan telah kembali, Inka merasa seolah-olah dirinya diusir dari kehidupan Luan begitu saja.

"Saya tahu ini sulit, Inka. Tapi kita harus menerima kenyataan. Kita berdua harus melanjutkan hidup masing-masing," tambah Luan, mencoba memberikan sedikit kelegaan pada Inka, meskipun cara penyampaiannya tetap kaku.

Inka mengangguk pelan, mencoba menyingkirkan air mata yang mengaburkan pandangannya. Ia mencoba menemukan kekuatan untuk menerima perubahan besar ini, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Luan memandangi wajah Inka, ingin berkata lebih banyak, tetapi dia terdiam.

"Baiklah .... Ini mungkin memang keputusan yang terbaik bagi kita semua," ujar Inka dengan suara lirih, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Luan hanya mengangguk, lantas bangkit berdiri. "Kalau sudah nggak ada yang ingin kamu bicarakan, saya pamit pulang," katanya tanpa menunggu jawaban. Dengan langkah mantap, dia meninggalkan rumah itu.

Inka tetap duduk diam di sofa, menata hatinya yang porak poranda. Tak hanya hati, namun hidupnya juga. Bahkan sekedar penghiburan atas perceraian dirinya dan Sena pun tidak ia dapatkan dari Luan, sebagai tokoh utama yang membuat hidupnya berantakan. Rasa kehilangan dan kecewa sungguh menyayat hatinya.

Mereka berdua, Luan dan Inka, kini berjalan di jalur kehidupan yang berbeda. Meskipun kebersamaan mereka telah termanifes menjadi dua anak manusia yang mendambakan kasih sayang orang tua yang lengkap, namun itu saja tidak cukup untuk menggugah hati Luan. Dan, seperti layaknya babak baru, kini Inka terpaksa belajar melangkah maju sendirian dengan keberanian yang harus ia tumbuhkan segera.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang