35 - Kesaksian Sena

44 2 2
                                    

Barangkali ada sesuatu yang bisa gue korek dari Sena ... baiknya gue videoin dulu deh diam-diam. Aurora menekan tombol record di ponselnya, menaruh ponsel itu sedemikian rupa di dalam tas hingga bagian lensa kamera tidak tertutupi. Aurora bangkit berdiri, menghadap Sena yang masih duduk sambil terus memandangi dirinya. Dengan posisi demikian ia yakin kamera ponselnya dapat menangkap keberadaan Sena secara jelas.

"Kamu kenapa, Ra? Kelihatannya sedang simpan sesuatu yang berat?" Sena bertanya khawatir. "Apa kamu mau cerita itu, makanya ngajak ketemu?"

Aurora tersenyum tipis. "Nggak, kok. Nggak ada apa-apa. Terus? Gimana kesannya, gimana rasanya jadi ayah?"

"Wah." Sena tersenyum-senyum sendiri. "Rasanya luar biasa. Bisa tiap hari main sama anak, yah, meski anaknya juga belum bisa apa-apa cuma nangis kalau lapar. Bisa peluk, bisa cium. Rasanya terharu aja, tiap kali pegang tangannya, jemarinya yang mungil-mungil semua. Terharu, sih," tuturnya.

"Mmm. Kebayang ... happy banget ya pastinya ...."

"Tentu."

"Lahir normal?"

Sena mengangguk. "Normal."

"Kamu temenin Inka dong, waktu dia melahirkan? Pasti kamu temenin sih yaa. Kamu kan gentle."

Sena terdiam sejenak. Lalu menggeleng pelan. "Sayangnya, saat yang berharga itu, justru saya malah nggak ada di sana," jawabnya.

"Lho?"

Sena menghela nafas panjang. "Duh, kalau diingat, rasanya masih kesal, sih. Kesal sama atasan." Sena terlihat ragu sesaat. "Gimana ya? Atasan sudah lama tahu bahwa saya sedang menantikan kelahiran bayi. Saya juga berhak untuk ambil paternity leave demi temenin istri dan menyambut kelahiran bayi. Tapi ... tapi nggak diizinkan. Malah saya diutus dinas ke tempat jauh."

Aurora menegang. "Kamu ... nggak diizinkan cuti?"

"Begitulah. Bener-bener, pas banget waktunya. Kira-kira H-2 sebelum hari perkiraan kelahiran, bos saya, atasan saya yang sangat pengertian itu menugaskan saya untuk segera berangkat. Langsung berangkat, saat itu juga. Tiket udah siap, akomodasi segala macam. Semua atas nama saya. Jadi tanggung jawab saya. Saya sudah sampaikan bahwa saya nggak bisa lantaran menjelang hari kelahiran anak, tapi mulut saya sampai berbusa dan tanpa hasil. Malahan sempat ada ultimatum jika saya menolak, saya akan diberi SP 2. Padahal ya tenaga yang lain masih ada, nggak hanya saya! Tapi atasan saya yang budiman itu kukuh sekali menginginkan saya pergi. Entah karena percaya kemampuan saya atau gimana ... ya saya bersyukur jika dipercaya, tapi ini ... situasinya kan berbeda. Saya sedang menanti kelahiran. Saya sendiri nggak sangka kenapa perusahaan ini sama sekali nggak mau mengerti keadaan karyawannya yang akan segera memiliki anak. Pantas saja ajuan paternity leave saya ditolak. Karena mereka nggak ada toleransi," tutur Sena panjang lebar. Sesekali dia mengambil nafas panjang, mungkin meredakan gemuruh dalam dada yang masih tersisa.

Sena nggak diizinkan cuti, bahkan dikirim dinas keluar. Apa benar ada perusahaan yang seperti itu pada karyawannya? Atau jangan-jangan ada tangan yang mengatur ini semua? Supaya Inka nggak ditemani oleh suaminya saat melahirkan? Aurora bertanya-tanya dalam hati.

"Tapi ya sudahlah," ujar Sena lagi. "Toh, Inka sudah melahirkan dengan selamat. Sudah memberikan saya kebahagiaan bisa menimang bayi yang ganteng dan lucu. Rasa kesal saya menguap separuhnya berkat kehadiran bayi."

"A-aku nggak sangka ... ternyata seperti itu yah, kantor kamu," komentar Aurora.

"Hmm. Satu alasan waktu itu saya sempat kukuh dan ngeyel-ngeyelan dengan atasan saya, Pak Dar, adalah karena saat hamil, perut Inka lebih besar dari kondisi normal. Tiap kali ketemu ibu-ibu di rumah sakit saat kontrol kehamilan, pasti Inka disangka sedang hamil anak kembar. Karena memang besar," kata Sena.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang