Pasca pengunduran diri Luan dari Tamawijaya Golden, Luan merintis bisnis baru di dunia teknologi dan inovasi dari nol. Dia mendirikan perusahaan yang fokus pada pengembangan solusi teknologi terdepan, mulai dari aplikasi perangkat lunak hingga pengembangan perangkat keras. Keberhasilan Luan terletak pada visinya yang inovatif, kemampuannya untuk mengantisipasi tren pasar, dan kerja kerasnya yang tak kenal lelah. Dengan tim yang kompeten dan dedikasi tinggi, Luan berhasil memenangkan kepercayaan klien dan meraih proyek-proyek besar yang turut membantu pertumbuhan bisnisnya.
Melalui kombinasi strategi pemasaran yang cerdas dan pendekatan bisnis yang inovatif, bisnis Luan mampu berkembang dengan sangat pesat. Semua itu diraihnya hanya dalam waktu kurang dari dua tahun. Keberhasilannya tersebut tidak hanya mencerminkan kemampuan bisnisnya, tetapi juga dedikasi dan semangatnya untuk terus maju di dunia yang begitu dinamis seperti teknologi.
Namun, ada kalanya Luan merasa cukup lelah telah memforsir otak dan tenaganya selama ini, tanpa jeda dan tanpa hiburan sedikit pun. Maka suatu waktu Luan mengundang kelima sahabat lelakinya, Josh, Ricky, Fritz, Willy dan Marco untuk berkumpul di sebuah bar.
Kawanan itu mengambil tempat di sudut yang nyaman, yang didominasi sentuhan khas retro. Suara musik jazz mengalun merdu membentuk latar belakang yang penuh gaya, menciptakan atmosfer yang santai bagi mereka yang tengah menikmati malam. Gelak tawa para pemuda itu bersahut-sahutan, menyatu dengan dentingan gelas dan langkah-langkah lembut pelayan di sekitar mereka. Malam itu, Luan menjadi pusat perhatian, dan obrolan berkisar pada kehidupannya yang seakan penuh misteri.
Marco, yang selalu menjadi inisiator obrolan, mengangkat gelasnya dengan penuh semangat. "Nah, Luan, cerita dong, gimana ceritanya sih, lu bisa melepaskan diri dari perusahaan warisan bokap lu dan malahan bisnis baru lu langsung meroket cuma dalam waktu dua tahun?"
Fritz mengangguk penuh antusias. "Gue juga kepo! Lu tuh nekad, sumpah! Bisa-bisanya lu nggak take over bisnis bokap lu yang udah puluhan tahun ... terus rintis usaha baru segala!"
"Gue sih nggak bisa deh kayak si Luan. Gue keenakan di comfort zone," timpal Ricky.
Luan tersenyum, membalas anggukan sahabatnya. Dia menarik nafas dalam, seolah-olah bersiap untuk menceritakan sebuah kisah menarik. "Jadi begini, guys. Kalau ngomongin soal comfort zone ... ya emang, paling enak tinggal duduk di kursi warisan. Tapi semua yang terjadi dalam hidup gue, lu semua udah tahu kan ya ... posisi gue sangat nggak memungkinkan untuk terus bertahan di bawah bokap gue. Dan terutama, di bawah laki-laki yang namanya Sena itu. Gue nggak ada pilihan, gue terpaksa nekad buat rintis yang baru. Beneran, untuk berani nekad aja harus terpaksa, ya kan," katanya mengambil jeda untuk menarik nafas sejenak.
"Tapi ya gue jalani aja semuanya dari awal. Dan sampai gue bisa berada di posisi ini sekarang .... Puji Tuhan, sih, rupanya gue emang mampu. Buat gue, kunci sukses itu tekad, kerja keras dan inovasi. Nggak ada yang namanya jalan pintas. Gue pernah di bawah, sekarang gue di atas, itu adalah imbalan yang setimpal buat gue. Asal lu semua tahu, gue rela nggak tidur demi mewujudkan impian gue ini. Gue nggak ragu buat lembur, bahkan beberapa kali gue kerja sampai 17 jam sehari," tutur Luan panjang lebar.
Teman-temannya tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka terhadap pencapaian yang luar biasa itu.
Marco tertawa renyah, menyahut, "17 jam sehari? Gila, bro!"
Luan mengangguk serius. "Beneran, guys. Gue udah sering lembur sampai matahari terbit. Tapi lihatlah sekarang, hasilnya nggak bohong. Gue bangun bisnis dari nol, dan sekarang, gue sukses besar." Rasa bangga tersirat dalam senyum yang Luan lontarkan.
"Parah! Parah! Parah!" Willy berseru penuh kekaguman.
"Beuh. Asli ... gue sih salut sama lu, Luan," ujar Fritz.
Josh mengangkat gelasnya, mengajak Luan bersulang. "Lu bikin kita semua salut, Luan. Semoga usaha lu makin lancar ke depannya. Toast!"
Tiba-tiba, pembicaraan bergeser ke kehidupan pribadi Luan. Usai beradu toast kesekian kalinya, Ricky menyelipkan pertanyaan, "Eh, Luan, trus gimana kabar Aurora, mantan lu? Masih kontak nggak?"
Luan mengernyit sejenak sebelum menjawab, "Aurora? Nggak, kita udah nggak kontak."
Menyadari ekspresi Luan yang langsung berubah masam usai mendengar pertanyaan itu, teman-temannya mengangguk mengerti. Perihal Aurora pastilah menjadi kenangan pahit yang mungkin tidak ingin Luan ingat-ingat lagi.
Luan tersenyum tipis. "Gue bahagia dengan kesuksesan gue sekarang, dan dia juga udah happily married dengan Sena. Biarlah masa lalu tetap berada di masa lalu, nggak untuk diungkit lagi," ujarnya dengan nada datar.
Ricky mengangguk mengerti, menjawab, "Bener juga sih, masa lalu memang harus dilepas biar bisa maju ke depan."
Willy tak bisa menahan keingintahuannya, dia menyelipkan pertanyaan lain. "Lu serius, nggak ada rasa penasaran balikan lagi sama Aurora? Rebut dia lagi gitu dari si Sena. Kan lu cinta banget sama Aurora sejak dulu!"
Luan tersenyum simpul. "Nggak, bro. Gue udah belajar dari masa lalu. Sekarang gue murni fokus sama bisnis. Kalau suatu waktu gue tiba-tiba teringat Aurora, gue tinggal tambah jam kerja biar nggak ada waktu buat mikirin itu. Kalau suatu waktu gue tiba-tiba ingat bokap gue ... atau anaknya yang si paling cemerlang itu, ya gue tambah jam kerja lagi. Persetan, gue nggak pernah cari tahu dan mau tahu soal perusahaan bokap yang udah gue tinggalin itu. Nggak, gue nggak mau jadi kepikiran. Gue alihkan semua fokus gue ke bisnis baru gue. Jadi ... ya itu rahasia gue kenapa bisa tahan 17 jam sehari. Karena nggak mau ingat semua kenangan tentang Aurora dan semua yang menyertainya lagi," katanya. "Syukurnya sih, karena gue udah jarang teringat dia, ya gue mulai lebih bisa santai tiap kali namanya disebut."
"Wah, sebuah tips sukses move on dari Luan!"
"Ya move on lah, masa mau galau terus. Bukan gue banget!" Luan tersenyum penuh keyakinan, menghela nafas lega seolah melepaskan beban yang selama ini mengikat hatinya.
"Kita harus bisa move on, guys. Hidup ini terus berjalan, dan kita nggak bisa terus-terusan terjebak di masa lalu," ucap Luan lagi dengan suara yang penuh semangat.
Teman-temannya mengangguk setuju, mereka meresapi kata-kata bijak dari Luan. Suasana yang tadinya hening lantaran empati terhadap kisah hidup Luan, kini berubah menjadi penuh semangat.
Luan menjelaskan lebih lanjut, "Move on bukan berarti melupakan sepenuhnya, tapi lebih kepada membebaskan diri dari beban yang nggak perlu. Kita punya banyak hal lain yang bisa dikejar dan dinikmati dalam hidup ini, bukan hanya satu hal yang membuat kita terpuruk."
Seiring dengan kata-kata bijaknya, suasana semakin memanas dengan semangat positif. Mereka tertular oleh energi optimis Luan. Itulah keajaiban kata-kata sederhana dari seorang teman yang memilih untuk melangkah maju dan tidak terperangkap dalam kenangan yang menyakitkan.
Mereka semua tertawa bersama, menikmati suasana akrab di antara senda gurau. Pelayan datang mengantarkan minuman baru, dan obrolan pun bergeser ke topik-topik lainnya. Malam itu menjadi saksi bagaimana Luan merayakan kebebasan baru dan keberhasilan yang dia raih dengan tekad dan semangat yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...