"Tapi dia adalah seorang Wardana!" sembur Roland.
"Dia tidak bisa gunakan alasan semacam itu untuk menolerir perbuatannya! Ada nama keluarga yang harus dia jaga! Rossa, saya sendiri juga kasihan pada Aurora. Saya paham yang dia rasakan, tentu saja saya paham! Tapi saya bertindak tidak hanya sebagai seorang ayah saat ini. Saya justru berharap saya bisa mengambil keputusan hanya berdasar peran saya sebagai ayah! Tapi harap diingat, saya juga harus berperan sebagai kepala keluarga Wardana, dimana saya harus mengambil keputusan yang bisa memberikan keuntungan pada seluruh keluarga, dan juga untuk menjaga kehormatan keluarga. Meskipun untuk itu saya harus mengorbankan perasaan putri saya sendiri!"
Rossa berdiri terpekur, tidak sanggup lagi menjawab.
"Roland sudah bertindak benar, Rossa," komentar Raymond. Adik Roland itu tiba-tiba sudah berada di sana, berdua dengan istrinya.
Rossa hanya mendelik. Tidak suka jika obrolannya dengan suaminya sendiri diinterupsi oleh orang lain.
"Anak itu mendengarkan kalian sedari tadi di luar," sambung Silvia sambil bersedekap.
"He?"
"Oh! Biarkan saja! Biar dia semakin paham bahwa dia harus menomorsatukan kehormatan dan reputasi keluarga!" sahut Roland.
"Apa dia masih di luar?" tanya Rossa.
Silvia menggeleng. "Dia langsung pergi saat kami hendak masuk ke sini," jawabnya. "Sepertinya dia lebih memilih dicoret dari daftar warisanmu, Kak Roland."
Terlihat kilatan di mata Roland.
***
Aku nggak diakui lagi di keluarga? Fine! seru Aurora dalam hati, menahan rasa sakit hati dan juga amarah yang bercampur baur. Ia menyeka air mata yang menyeruak di pelupuk mata, nyaris tumpah. Lalu menginjak pedal gas, mengendarai mobilnya keluar dari rumah yang sejak saat itu tidak akan pernah lagi ia singgahi.
Tanpa diinginkan, kenangan hidupnya selama ini terbayang di benaknya, bagai sebuah kilas balik. Aurora adalah anak gadis yang manis, kesayangan semua orang. Seorang putri yang selalu mendapatkan perhatian berlimpah dari Roland dan Rossa. Sungguh, selama ini Aurora bertekad tidak akan pernah mengecewakan Roland maupun Rossa, demi membalas kasih sayang serta perhatian dari mereka.
Namun rupanya situasi kali ini berbeda. Untuk pertama kalinya Aurora bersikap membangkang. Menolak dengan keras keinginan kedua orangtuanya yang seakan tidak mau memahami apa yang ia rasakan.
Apa boleh buat, ini hidupku. Aku yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku sendiri! Kalau memang mama papa nggak bisa mengerti ... Mungkin inilah jalan yang terbaik. Udah seharusnya aku bisa tegas memilih jalan hidup mana yang ingin aku tempuh ... Selamat tinggal Papa, Mama, Aurora akan selalu sayang kalian. Tapi kali ini Aurora harus bisa mengambil keputusan. Maaf bila Aurora bikin kalian kecewa. Selamat tinggal, batin Aurora dalam hati, berharap yang diucapkannya dalam diam itu bisa terdengar oleh Roland dan Rossa.
***
"Begitu ya, Om, jadi Aurora memilih pergi?" sahut Luan lesu saat menerima telepon dari Roland.
"Padahal tadinya saya berharap bisa memberimu kabar yang menggembirakan. Tapi malah ...." Roland berdecak. "Banyak yang harus saya bicarakan denganmu, Nak Luan. Besok langsung temui saya di kantor. Saya sedang suruh orang untuk cari tahu siapa orang yang membuat Aurora tega berbuat seperti ini padamu. Kita bahas selengkapnya besok."
"Baik, Om. Sampai ketemu," tutup Luan.
Tidak dia sangka, Mustika sang tante sudah berada di belakangnya. "Jadi Roland gagal menyuruh anaknya itu menebus kesalahannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Roman d'amour"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...