59 - The Decision

41 0 0
                                    

[Aku beneran pisah sama Sena.]

Demikian isi pesan dari Aurora yang Luan terima beberapa minggu kemudian, membuat mata Luan terbelalak lebar. Tanpa membuang waktu, Luan segera mengetik balasan.

[Kamu serius?] tanggap Luan.

[Iya.]

[Udah kamu bicarakan lagi baik-baik dengannya?] tanya Luan memastikan.

[Udah ....]

[Nggak bisa dipertahankan, Ra? Jangan sampai ada kesan kamu seperti anak labil, nggak cocok dikit, cerai, ada masalah dikit, cerai. Pernikahan bukan mainan.]

[Kamu sendiri juga pernah mempermainkan pernikahan. Enak aja aku dibilang anak labil ....]

Luan meringis canggung. [Maaf,] tulisnya. [Saya juga introspeksi diri, kok. Saya tahu dulu saya melakukan kesalahan. Makanya jangan kamu ulangi lagi sekarang.]

[Aku udah bicarakan baik-baik sama Sena ... berulang kali malahan. Nggak ada kata sepakat .... Jadi ... ya gitu.]

[Begitu. Sayang, ya, Ra.]

[Mau gimana lagi ....]

[Saya tulus doakan kamu bisa segera berbahagia,] tulis Luan dengan perasaan gamang.

[Apa dari kamu udah nggak ada harapan? Kamu beneran akan menikahi Inka?]

Luan menghela nafas panjang, tidak berminat membalas lagi. Dia hanya terdiam memandangi layar ponsel, bergelut dengan pemikirannya sendiri. Jemarinya mengetuk tombol back, mencari nama Inka di sana.

Luan mengetik perlahan, sungguh berat rasanya menyadari dirinya akan membuat ibu dari anak-anaknya merasakan kekecewaan. Berulang kali Luan menghapus tiap huruf yang akan dia kirim, tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk disampaikan.

[Inka, saya sudah memutuskan kalau]

Luan menggelengkan kepala kuat-kuat, menghapus semua untaian kalimat yang baru saja ditulisnya. Dia batal mengirim pesan.

Perihal sepenting ini nggak etis lewat pesan. Harus ketemu langsung, minta maaf secara langsung, ujarnya dalam hati.

Jemarinya mengetuk profil Inka, terlihat sejumlah foto dan video yang pernah mereka saling bagikan sebelumnya. Luan mengetuk salah satu video. Suara tawa renyah kedua anak kembarnya mengiringi rekaman video mampir di telinga Luan.

Senyum Luan merekah menyaksikan polah bocah kembar itu bermain balok susun berwarna-warni, membuat pesawat-pesawatan. Saat Luan menonton video itu, kilau bahagia terpancar di matanya. Ingatan akan momen spesial itu mengalir begitu indah, seperti aliran sungai yang tak pernah surut. Suara tawa anak kembarnya, begitu penuh keceriaan, seolah menjadi melodi pelipur lara di dalam hatinya.

Kedua anak itu, dengan kepolosan dan keceriaan yang mengalir di wajah mereka, membuat hati Luan menjadi trenyuh. Luan merasa luluh melihat bagaimana Juan dan Ian bersinar dengan kebahagiaan yang tulus. Mereka adalah cahaya dalam kegelapan, dan Luan tahu bahwa kehidupannya akan menjadi lebih indah dengan kehadiran mereka.

"Ian, Juan, kalian seneng nggak kalau Om Luan jadi papanya Ian sama Juan?" Terdengar suara Luan di video tersebut, membuat Luan tersentak menyadari sesuatu. Dia teringat bahwa video itu direkam beberapa waktu lalu, hari di mana Luan melamar Inka.

Baik Juan maupun Ian sama-sama kompak langsung membelalakkan mata mereka dan memandangi Luan dengan antusias. Bola mata yang bulat dan menggemaskan milik kedua anak itu berbinar cerah, jelas sekali mereka menyambut baik ucapan Luan barusan.

"Benelan, Om??"

"Ih, Om Luan bakal jadi papa!"

"Om Luan bakal jadi papa!"

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang