26 - Menjadi Istri Luan Sesungguhnya

88 0 0
                                    

"Udah bangun lu?" Sophie menyambutnya begitu melihat batang hidung Aurora muncul di dapur. Wanita berambut model bob itu sedang menyesap kopi hitam sambil membaca koran pagi.

"Gue nggak bisa tidur," keluh Aurora, menarik kursi di samping Sophie, lalu duduk sembari menopang dagu. Wajahnya terlihat kuyu.

"Udah gue duga. Udah sewajarnya sih lu mikir. Lu pasti mikir omongan gue kemarin kan?" terka Sophie sembari menyuap panekuk.

"Ya menurut lu aja gimana," sahut Aurora malas.

"Ya menurut gue lu harusnya balik ke Deshnea sekarang, lu rujuk deh sama laki lu. Nggak usah gengsi-gengsian! Secara lu baru inget kalo Luan tuh tipe cowok yang baik banget dan nggak sepantasnya lu sia-siakan."

Aurora menatap sang sahabat dengan takjub. "Kok lu ngerti banget yang di otak gue sih?"

"Apa gunanya gue jadi sobat lu, heh?"

"Tapi ...." Pandangan Aurora menerawang. "Tapi apa nggak malu yah. Udah lama banget gue ninggalin dia."

Sophie berdecak gemas. "Udah gue bilang, lupain gengsi lu. Gengsi lu emang kegedean! Lupain dulu, singkirkan dulu! Lagian sih lu ... plesir ke Euro bukannya langsung ke sini, nemuin gue, terus langsung cerita ke gue biar gue bisa marahin lu langsung, ehh ... malah lu sempet-sempetnya plesir kemana tahu. Berapa bulan lu puas-puasin plesir? Baru terus lu inget gue, lu main deh ke sini. Padahal kalau aja lu langsung ke sini, gue bisa marahin lu, dan berkat omelan gue itu lu jadi langsung berubah pikiran dan balik ke Deshnea! Balik ke Luan. The end deh, happy ending! Nah sekarang? Gila juga lu udah sepuluh bulan ninggalin dia! Kalau ibarat hamil mah, udah brojol tuh, udah lewat sebulan malah," cerocosnya.

Aurora enggan menyahut, ia menghela nafas panjang.

"Udah sana! Balik lu ke Deshnea!"

"Siap, Bos."

***

Aurora merasa sedikit gugup saat pesawat yang mengantarkannya kembali ke Deshnea lepas landas. Bagaimana reaksi Luan saat melihatnya kembali? Ia pergi berbulan-bulan dan tidak mengabari Luan sama sekali, sementara Luan juga tidak memiliki nomor Aurora yang bisa dihubungi. Mereka putus kontak selama sepuluh bulan ini. Bagaimana reaksinya nanti? Apakah Luan akan menyambutnya dengan hangat, lalu mereka berbincang? Aurora sudah menetapkan hati agar ia tidak berlaku dingin lagi pada Luan. Ia akan menanggapi sang suami dengan manis. Setidaknya, itulah cara yang bisa ia lakukan demi menebus perlakuannya selama ini pada pria itu. Mungkin Luan akan bertanya-tanya mengapa ia bisa berubah ... tidak apa, tekad Aurora, wajar jika Luan bertanya-tanya. Yang jelas, Aurora tidak akan memasang nada tinggi lagi pada Luan. Ia tidak akan memasang wajah tak bersahabat lagi seperti sebelumnya. Sungguh, Aurora berharap, ia bisa menjalin hubungan yang baik lagi dengan Luan, dan bekerja sama membangun keluarga yang lengkap dan bahagia.

Satu setel jas dan celana bahan terbaik ciptaan seorang desainer ternama asal Neabofrench telah Aurora masukkan ke dalam kopornya di bagasi, yang nanti akan ia hadiahkan pada Luan sebagai salah satu caranya mengajukan gencatan senjata.

Semoga Luan suka dengan setelan itu, pikir Aurora. Semoga Luan nggak bertambah gemuk atau bertambah kurus ... seingat gue ukuran bajunya memang M, sih.

Semoga saja semuanya memang berjalan dengan baik. Luan menerima hadiah dan senyum Aurora dengan perasaan lega bukan kepalang, lantaran tahu bahwa dia telah mendapat maaf dari Aurora atas kesalahannya di masa lalu, kemudian bersama-sama merajut kembali tali kasih, menebus waktu yang telah hilang dari antara mereka berdua. Semoga saja demikian.

Begitu Aurora menginjakkan kaki kembali di rumah usai mengudara selama belasan jam, ia disambut hangat oleh para pengurus rumah tangga.

Aurora tidak mengacuhkan pertanyaan para pengurus yang bermaksud melayaninya, dan malah balik bertanya, "Dimana Luan?"

Saat itu sudah pukul delapan malam, seharusnya Luan sudah ada di rumah.

"Tuan belum pulang, Nyonya," jawab salah satu asisten rumah tangga.

"Oh," sahut Aurora singkat. "Nanti kalau Luan pulang, tolong panggil saya ya, saya mau mandi dulu," lanjutnya lagi seraya menaiki tangga.

Cahaya petir mengilat disusul suara yang menggelegar memekakkan telinga terdengar dari luar sana, mengejutkan Aurora. Gemuruh mulai bersahutan.

Kenapa tiba-tiba cuacanya jadi buruk, ujar Aurora dalam hati sambil terus melangkah menuju kamarnya. Tadi sih emang anginnya terasa dingin, kayak mau hujan. Sebentar lagi bakal hujan deras nih kelihatannya. Huff. Untung udah sampai di rumah. Semoga Luan juga udah dalam perjalanan pulang, deh. Kasihan kalau terjebak hujan, terjebak macet.

Aurora segera membasuh diri, mengenakan pakaian yang rapi dan manis, lalu merias wajah dan menata rambutnya. Tidak perlu memakai riasan berlebih, hari sudah larut, setidaknya Aurora tidak mau Luan melihatnya sudah kembali tanpa sapuan bedak di kulitnya. Ada sedikit perasaan canggung saat Aurora menilai penampilannya di cermin. Rasa gugup semakin terasa.

Duh. Kenapa makin gugup begini yah? Gara-gara berniat baikan sama Luan ... duh, kira-kira dia bakal ketawain gue nggak yah? Kenapa pulang dari plesir malah jadi dandan manis begini buat sambut dia. Kalau dia ketawain gue gimana? Malu dong, harus bilang apa? Terus nanti ... gue harus mulai dari mana ngobrol sama Luan? Kira-kira dia bakal gimana reaksinya?

Aurora dirundung oleh pemikiran liarnya sendiri.

Ah. Apa pun yang terjadi ... yang penting niatnya!

Petir dan gelegar lagi-lagi mengejutkan Aurora. Suara deras hujan telah terdengar. Deras. Sangat deras, membuat Aurora seketika merasa cemas.

Kenapa dia belum sampai juga ... hujan deras begini. Aurora menatap jam dinding, pukul sepuluh. Apa gue harus telepon? Tapi ... nanti jadi nggak surprise lagi .... Ah. Sudahlah, tunggu aja, nanti juga dia pulang. Gue nonton TV aja, katanya dalam hati.

Maka Aurora memilih menunggu di ruang keluarga di lantai satu, menyalakan televisi. Entah harus berapa lama lagi menunggu, sementara hujan semakin lebat. Tiap lima menit sekali, Aurora melirik jam, semakin lama ia semakin gundah. Acara di layar datar berukuran besar di hadapannya tidak mampu menghibur ataupun mengalihkan perhatiannya.

Cukup lama Aurora menunggu, menahan rasa gugup yang semakin menyangat. Hingga kira-kira pukul sebelas malam lebih, Aurora mendengar suara deru mobil di depan rumah, nyaris teredam oleh suara derasnya hujan. Aurora segera bangkit berdiri, merapikan dress yang dikenakannya, lalu melangkah mendekati pintu masuk. Ia menarik nafas panjang, sudah tiba saatnya. Dengan sebuah senyuman manis, Aurora menantikan sosok Luan dari balik pintu.

Begitu pintu dibukakan oleh pengurus rumah tangga, sosok yang dinanti-nantikan Aurora pun muncul. Tapi ... sosok itu rupanya tidak sendirian. Senyum Aurora memudar. Luan menerobos masuk dengan menggendong seorang bayi mungil.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang