Aurora merasakan beban emosional yang tak terduga, melihat Sena yang tenggelam dalam gelombang pahit kebenaran. Setiap kata yang keluar dari bibir Sena memancarkan kekecewaan yang mendalam. Aurora duduk di sampingnya, merasa kehilangan kata-kata untuk menghibur seseorang yang spesial baginya yang kini terperangkap dalam rasa sakit yang begitu mendalam. Kepercayaan yang hancur dan kehidupan yang tiba-tiba berubah, menghadirkan suasana kelam yang mengitari mereka berdua. Kepedihan yang begitu menyesakkan sungguh terasa di udara.
"Saya tidak bisa percaya ini, Aurora. Saya tidak bisa percaya ini ...," desis Sena dengan suara yang penuh dengan rasa kecewa.
Aurora mengangguk perlahan, dadanya sungguh terasa sesak, menyaksikan Sena, yang semula selalu diliputi kebahagiaan, kini tak nampak sama sekali aura positif darinya. Semuanya sirna. Hilang, luruh bersama kehidupannya yang hancur dalam sekejap.
Sena mendesah berat. "Saya tidak pernah sangka ... Inka .... Bisa-bisanya Inka berbuat seperti itu pada saya. Setelah semua perhatian yang saya berikan padanya ... setelah semua kepercayaan penuh yang saya limpahkan .... Begitu teganya Inka mengkhianati itu semua di belakang saya," ujarnya lirih.
Aurora hanya diam mendengarkan. Tangannya maju meraih tangan Sena dengan penuh empati.
"Hingga hamil ... hingga lahir bayi ... betapa saya terperdaya olehnya. Bukan main bahagianya saya menyambut kelahiran Ian. Saya bahagia bisa menggendong bayi ... saya bahagia menyandang status seorang ayah. Seorang ayah. Tapi rupanya Ian bukan darah daging saya ...!" tutur Sena dengan suara tertahan. Tangannya mengepal kuat.
"Lebih parahnya lagi ... rupanya tidak hanya Ian yang lahir, huh? Ada seorang bayi lagi yang lahir, yang lalu langsung dibawa pulang oleh monster satu itu? Rupanya dia yang merekayasa kenapa saya nggak diizinkan paternal leave, dan malahan dikirim berdinas di tempat yang jauh? Dia yang rekayasa semuanya. Dokter. Suster. Pihak rumah sakit. Atasan saya. Semuanya. Sebegitu niatnya monster itu merekayasa agar bisa membawa pulang salah satu bayi Inka?" Sena menggeleng-gelengkan kepala, perasaan getir nan pedih makin menguar dari auranya.
Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat. Untunglah kafe tempat mereka bertemu dan berbincang kali ini sepi, tidak banyak pengunjung, sehingga tidak menimbulkan banyak distraksi.
Dalam keheningan yang terasa begitu berat, tangan Sena terkepal erat, mengisyaratkan ketegangan dan keguncangan yang menyelimuti dirinya. Jari-jari yang sebelumnya lembut dan penuh kehangatan, kini menjadi simpul tegang yang mencerminkan beban emosional yang tak terucap. Kekuatan dalam genggaman tangannya mencerminkan usahanya untuk menahan gelombang emosi yang melanda, seolah-olah menciptakan benteng terakhir melawan kehancuran yang merayap perlahan. Wajahnya yang dulu penuh senyum, kini dihiasi oleh bayangan ketidakpercayaan dan penderitaan yang mendalam.
Sena melanjutkan keluh kesahnya. "Dia lakukan ini pada saya karena memiliki dendam pada saya? Saya tidak pernah mengganggunya, apa salah saya? Apa karena saya dan kamu pernah berhubungan? Atau karena saya mendapat perhatian dari ayahnya, yang mana saya tidak pernah meminta hal itu? Apa salah saya sampai dia bisa memelihara dendam sedemikian besar hingga tega merekayasa semua ini?!"
Sena menarik nafas panjang, mendesis dengan rasa kebingungan dan kekecewaan yang tak terucap. Aurora masih membiarkan kata-kata itu keluar, memberikan ruang untuk semua uneg-uneg dan beban yang membebani Sena hingga saat itu.
"Kenapa ... apa salah saya?" tanya Sena dengan suara yang penuh dengan keputusasaan, mencerminkan kerinduannya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya.
Aurora tetap tenang, memahami bahwa saat seperti ini memerlukan kesabaran dan pemahaman.
"Yang makin membuat saya tidak habis pikir ...." Sena kembali menarik nafas panjang, seolah mencoba meredakan gemuruh di dalam dadanya yang dipenuhi pertanyaan tak terjawab. "Kenapa orang itu ... Santoso, tidak pernah mengatakan apa pun pada saya? Kenapa saya dibiarkan dalam kegelapan?" lanjutnya, setiap kata yang diucapkannya terasa seperti serpihan-serpihan hati yang terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You, Husband
Romance"Apa anakku tahu kalau aku berada di balik ini semua?" tanya Roland. Luan menggeleng. "Aurora sama sekali tidak ada kepikiran ke sana, Om." Senyum yang terkesan licik tersungging di wajah Roland. "Jadi dia percaya, kalau kamu murni ingin bantu dia...