3 - Cinta yang Aurora Perjuangkan

75 1 0
                                    

Keluarga Wardana hanya bisa menunduk saat keluarga Tamawijaya pergi meninggalkan mereka di ruangan itu.

"Cari anakmu sampai ketemu, Rossa. Pastikan dia segera pulang. Banyak yang harus saya bicarakan dengannya," ujar Roland dengan nada datar pada sang istri.

***

Sena, pemuda seumur Luan yang berbadan tinggi tegap, terbelalak menatap Aurora. Bola mata berwarna cokelat yang biasanya bersinar penuh semangat dan percaya diri itu kini memancarkan ekspresi ngeri dan tidak percaya, begitu mendengar pengakuan Aurora bahwa ia sengaja mangkir dari acara pentingnya hari ini. Tapi mungkin yang lebih membuat Sena shock, adalah kenyataan bahwa Aurora ternyata sudah memiliki pacar sebelum bertemu kembali dengannya.

"Rora ... Kamu ...?" Hanya itu yang bisa terucap dari mulut Sena.

"Maaf, Sen," lirih Aurora. "Bukannya aku bermaksud menyembunyikan ini dari kamu ... Aku hanya bingung bagaimana menjelaskan semuanya padamu."

"Ya kamu tinggal bilang, apa sulitnya?" cecar Sena. "Kamu ternyata udah punya pacar lagi, terus kenapa kamu biarkan aku dekati kamu lagi? Itu artinya kamu mendua selama ini!"

"Maaf," sahut Aurora cepat. "Maaf. Mungkin semua ini terdengar seperti alasan aja, tapi percayalah, aku selama ini mencari cara supaya bisa lepas dari Luan, supaya putus darinya. Tapi malahan aku nggak bisa bergerak seturut kehendak aku, Sen. Orang tuaku selalu desak aku agar aku segera menikah dengan Luan."

Sena memandangi Aurora dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan.

"Aku nggak ada rasa lagi pada Luan, itu yang sebenarnya. Aku berat sama kamu ... Tapi aku juga nggak bisa begitu aja menolak keinginan orang tuaku karena keluargaku dan keluarga Luan ada tender bisnis yang jumlahnya nggak main-main, Sen ...."

Kening Sena berkerut saat mencerna penjelasan Aurora. Bisnis yang jumlahnya tidak main-main, di antara dua keluarga konglomerat terbesar di Deshnea, tentu bukan hal yang remeh.

"Lalu kenapa kamu di sini?" tanya Sena pelan.

"Justru itu. Justru karena aku ada di sini, kamu bisa lihat dengan jelas kan, kalau aku sekarang udah mengambil langkah yang penting. Dengan begini udah sangat jelas kalau aku menolak menikah dengan Luan, dan aku lebih pilih kamu. Kamu ... Kamu mau maafkan aku, kan, Sen? Karena selama beberapa bulan ini sejak kita ketemu lagi, aku malah jadi mendua antara kamu dan Luan. Maaf ...," pinta Aurora sambil mengusap pelan tangan Sena.

Sena menarik nafas panjang sebelum berkata, "Tapi katamu, keluarga kamu dan Luan ada bisnis besar yang ... Yang membutuhkan persatuan antara dua keluarga, yaitu pernikahan kamu dengan Luan, kan. Kamu yakin menelantarkan semuanya?"

"Tentu aku yakin, Sen! Aku nggak mau selamanya dijadikan boneka oleh orang tuaku, aku kan juga manusia biasa yang memiliki kehendak bebas. Aku mau memilih jalanku sendiri ... Dan itu, sama kamu," ujar Aurora seraya memberikan senyuman yang manis pada Sena.

Sena tidak menjawab, pun tidak membalas senyum Aurora.

"Kenapa ... Apa kamu ragu?" tanya Aurora.

Sena mengangguk. "Ya. Maksudku ... Sebelumnya, terima kasih karena kamu jelas mengatakan lebih memilih jalan hidupmu sendiri dengan bersamaku. Aku senang dan tersanjung mendengarnya, Ra ... Tapi, tapi apa yang kamu lakukan itu juga kurang tepat," ujarnya pelan.

"Lalu aku harus apa?"

"Ya ... Kamu ...." Sena tidak bisa menjawab.

"Aku nggak bisa apa-apa kalau nggak ambil jalan ekstrim seperti ini, Sen, kamu sendiri juga paham itu. Aku nggak mungkin negosiasi dengan papa supaya batalkan semuanya, karena papaku nggak akan menuruti ego pribadi dan membuang kesempatan tender dengan keluarga Tamawijaya. Demikian juga dengan keluarga Tamawijaya yang menyambut baik perjodohan aku dan Luan. Susah, Sen, susah ... Nggak bisa dengan cara baik-baik," tutur Aurora sengau. "Memang semuanya salah aku, Sen, aku salah. Aku salah karena saat di Neabofrench, aku meladeni Luan yang mendekati aku dan aku salah karena malah memutuskan berpacaran dengannya. Hubungan kami jelas langsung direstui dan disambut baik oleh keluargaku dan keluarga Tamawijaya ... Makanya mereka mendesak supaya kami buruan resmi. Apalagi udah ada tender di antara mereka terkait pernikahan itu. Aku nggak bisa apa-apa Sen, selain ambil jalan frontal seperti ini," lanjutnya.

"Pasti masih bisa dibicarakan baik-baik. Mereka keluargamu, pasti akan mendengarkan keluh kesahmu," sahut Sena.

Aurora melengos. "Oke. Tapi sekarang udah kejadian. Aku udah kabur dari acara, dan pasti semua orang sedang marah padaku karena aku bikin malu mereka semua. Udah nggak ada jalan mundur lagi," jawabnya.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

Aurora mengernyit, menatap Sena heran. "Kok tanya aku. Yah, kamu yang bawa aku kemana dong, kan kita udah nggak ada penghalang lagi. Kita bisa resmi, Sen!"

"Tapi Ra, maaf. Aku nggak bisa tenang kalau aku membawamu dengan cara seperti ini. Karena kejadian ini seakan-akan aku yang membawa kamu pergi dari acara pertunangan kamu. Seakan-akan aku mencuri kamu dari Luan."

Aurora tampak kecewa.

Sena melanjutkan. "Aku ingin kamu dengan cara baik-baik, Ra, bukan dengan cara seperti ini."

"Ta-tapi ... Udah nggak mungkin-"

Ucapan Aurora mengambang di udara saat ponselnya berdering nyaring. Pupil mata Aurora membesar saat menyadari mamanya yang menelepon.

"Mamamu telepon. Jawablah," saran Sena.

"Nggak." Aurora menggeleng. "Biarkan saja."

Dan memang Aurora membiarkan panggilan itu berhenti sendiri. Ia menghela nafas lega.

"Kamu jangan begitu, Ra," kata Sena. "Mama kamu pasti cemas. Kamu anak perempuan, dari keluarga terpandang, nggak sepantasnya berkeliaran tanpa diketahui orang rumahmu."

Aurora berdecak. Ingin rasanya ia bertukar posisi dengan pemudi lain yang terlihat bebas menikmati hidup. Bebas kemana-mana, tidak dikekang, tidak didikte.

"Setidaknya, kamu masih anggap beliau sebagai ibu kamu sendiri, kan?" bujuk Sena. "Apa kamu selamanya akan mendiamkan ibumu sendiri? Aku yakin beliau akan telepon kamu lagi sebentar lagi. Kamu jawab ya."

Benar saja, tepat begitu Sena berkata demikian, ponsel Aurora lagi-lagi berdering, dari orang yang sama.

"Bener, Mama telepon lagi," desis Aurora.

"Jawab, Ra," bujuk Sena.

"Tapi ...."

"Jawab."

Aurora akhirnya menurut. Ia menempelkan benda pipih itu di telinganya setelah menggeser tombol menerima telepon. Suara cemas sang ibu langsung menyapa dirinya, "Akhirnya kamu jawab Mama juga, Aurora! Dimana kamu?"

Aurora menggigit bibir. "Maaf, Mama."

"Maaf? Cuma itu yang bisa kamu katakan? Kamu tahu nggak betapa marahnya semua orang padamu? Hah?" gertak Rossa.

"Aku tahu ... Aku tahu semua marah padaku."

Rossa masih mengejar, "Kalau tahu kenapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu mempermalukan keluarga kita? Kamu anak satu-satunya, anak kebanggaan! Mama malu, Ra! Mama merasa udah gagal besarkan kamu! Kenapa? Hah? Kenapa, Ra?"

Terasa sesak dada Aurora. Sungguh ia hanya tidak ingin selalu didikte, harus selalu menuruti perintah sang ayah. Semua hanya demi bisnis! Matanya memanas.

Terdengar lagi omelan dari seberang telepon. "Kamu dimana? Katakan kamu dimana, Mama jemput sekarang supaya kamu bisa bicara dengan papa kamu!"

Papa menunggu Aurora untuk bicara berdua saja! Aurora semakin gelisah. "Jangan, Ma, aku takut," jawabnya.

"Kamu pantas takut karena kamu udah melakukan hal yang salah! Jadi katakan kamu dimana?" tanya Rossa menuntut sebuah jawaban.

"Ma, aku masih mau memikirkan semua ini dulu."

"Memikirkan? Kamu udah mempermalukan kita semua! Mama mau kamu pulang sekarang! Kalau kamu masih mau Mama anggap sebagai anak, pulang!!"

Dan telepon pun terputus.

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang