22 - Semi Duda

65 0 0
                                    

Aurora baru saja selesai mengepak pakaian dalam kopor ketika mendengar para pelayan menyambut kedatangan Luan di lantai bawah. Ia keluar dari kamar lalu berdiri bersedekap di ujung tangga, menunggu pria berkacamata itu naik. Setelah sekian minggu diam-diaman baru kali ini Aurora berniat menyampaikan sesuatu pada Luan.

"Hai Rora," sapa Luan begitu melihat keberadaan sang istri.

Aurora mengerutkan kening. Ada angin apa Luan juga tiba-tiba membuka suara? Bukankah mereka tengah perang dingin?

"Saya tadi mampir beli terang bulan, topping green tea keju. Sedang disiapkan ART, ambillah kalau mau," kata Luan enteng.

"Hah?" Aurora mengerjapkan mata. Bukankah sudah sekian lama Luan berhenti membawakan dirinya oleh-oleh? Terakhir kali Aurora begitu sadisnya mempreteli sekian butir berlian dari kalung bernilai fantastis yang dibeli Luan untuknya, dengan niat membuat Luan kapok membelikannya macam-macam. Kenapa sekarang pria itu kembali membawakan oleh-oleh? Dan lagi ... terang bulan? Makanan itu juga adalah salah satu kesukaan Aurora.

Luan menghentikan langkah, berkata, "Saya ingat waktu kuliah dulu kamu sampai mogok ngapa-ngapain gara-gara kangen terang bulan." Luan tersenyum-senyum sendiri, teringat kenangan yang menyenangkan baginya. "Sampai akhirnya ketemu satu-satunya penjual terang bulan di sana ... kamu bukan main senengnya. Langsung pesan yang toppingnya green tea. Ingat?" tanyanya sambil menatap Aurora dengan hangat.

Tapi meski tatapan itu terasa hangat, Aurora masih juga mengeraskan hati. Tegar seperti batu karang. Pengkhianatan dan kebohongan Luan sangat membekas di hati wanita itu.

"Nggak ada untungnya juga ingat-ingat," sahut Aurora judes.

"Ya nggak apa. Cuma menawarkan siapa tahu kamu mau. Ambil saja sendiri di bawah ya. Saya mau istirahat," pamit Luan.

"Mungkin gue bakalan udah berangkat saat lu bangun," ujar Aurora menghentikan langkah Luan. "Gue cuma mau pamit."

Alis Luan terlihat nyaris bertautan, dia menatap Aurora dalam-dalam. "Berangkat?" tanyanya.

"Iya."

"Kemana?"

"Liburan," jawab Aurora, senyumnya terukir di wajah, terlihat gembira. "Gue bakal liburan lama kali ini. Jadi lu nggak usah nunggu, nggak usah telepon juga. Ok?"

Luan terdiam lama. "Liburan kemana? Berapa lama?"

"Liburan kemana kek, suka-suka gue. Lu nggak usah kepo," jawab Aurora seenaknya.

Luan berdecak. "Perkara ditanya mau liburan kemana disebut kepo?? Kamu mau kemana? Sama siapa?"

"Tuh kan, kepo!"

"Ya kamu tinggal jawab pertanyaan saya!" Luan meninggikan suara. "Bagaimana kalau papamu nanya kamu kemana? Saya harus jawab apa? 'Maaf pa, saya nggak tahu karena saya dilarang kepo'? Begitu?? You wish!"

"Ya lu nggak usah main ngadu-ngaduan kalau gue pergi!" balas Aurora tak kalah sengit. "Mereka nggak akan tahu kalau gue pergi secara mereka ada di HongRong, lu nggak usah ngadu! Kayak bocah aja sih tukang ngadu!"

Luan menatap sinis Aurora. "Ternyata benar. Kamu memanfaatkan absennya papa mama untuk kabur dari rumah."

"Kalau iya, kenapa? Nggak suka?"

"Kamu nggak akan keluar dari rumah ini sejengkal pun," ancam Luan. "Kularang kamu pergi."

"Apaan sih?! Sejak kapan lu bisa perintah-perintah gue?!"

"Kamu nggak saya izinkan pergi!"

"Eh gue punya hak mau pergi kemana pun!! Gue manusia bebas, bukan tahanan lu!"

"Rora!"

"Gue muak di sini, tahu!! Gue muak! Gue muak lihat lu! Lu tuh orang paling jahat yang pernah gue kenal! Dan lu ngarep gue mau terus berada di sini, sementara lu tahu kalau gue BENCI banget sama lu, Luan! Kenapa sih lu nggak mati aja?! Lu tuh udah bunuh gue! Lu bunuh impian gue! Jadi jangan salahin gue kalau sekarang gue menyumpahi lu untuk mati juga! Emangnya lu ngerasa kalau lu punya hak untuk disayang, huh, Luan? Setelah apa yang lu perbuat pada gue dan Sena?! Lu tuh nggak sepantasnya hidup bahagia karena lu juga udah rebut kebahagiaan gue!" seru Aurora pedas.

"Begitu," sahut Luan datar.

"Begitu! Lu nyadar diri makanya, Luan, lu tuh setan! Lebih busuk dari setan, malahan!"

"Terserah kamu mau maki saya seperti apa. Tapi ada satu kenyataan yang nggak bisa kamu ingkari, kamu pernah pacaran dengan setan ini," timpal Luan.

"Memang! Dan gue menyesal bukan main karena gue terlampau bodoh waktu itu! Jadi itu yang bikin lu terus-terusan berusaha bikin gue takluk? Huh? Lu ngarep gue bakalan mau lagi sama lu? Ngarep aja terus! Ngarep!!" Aurora mengatur nafasnya yang memburu. "Seperti yang gue bilang tadi, lu tuh nggak pantes disayangi, Luan, karena emang nggak ada hal yang bisa dibanggakan dari lu! Lu tuh sampah! Lu nggak paham-paham juga seberapa besar rasa benci gue ke lu?"

"Fine. Kamu benci saya, makanya kamu mau pergi."

"Bingo!" Aurora berseru. "Akhirnya paham juga!"

"Setidaknya jawab satu pertanyaan saya. Berapa lama? Kamu akan balik lagi, kan? Kalau suatu saat orang tuamu pulang, kamu bersedia langsung pulang juga, kan?"

Aurora mendengus kesal. "Itu tiga pertanyaan!"

"Jawab saja apa susahnya??"

"Iya iya! Gue bakal pulang kalau mereka pulang!" jawab Aurora.

"Fine. Berarti setidaknya, di atas kertas kamu masih istri saya," sahut Luan datar.

"Ya emang iya. Kan lu yang memaksakan pernikahan! Lu makan deh tuh kertas!"

"Hmm. Jaga dirimu baik-baik," kata Luan, beranjak menjauh dari Aurora.

Ada nada getir tertangkap dalam suara Luan barusan, dan ekspresi pria itu ... terlihat menyedihkan. Aurora memandangi punggung sang suami yang semakin menjauh.

Ah. Peduli amat. Suruh siapa nikahin gue? Nyesel kan lu, sekarang? Aurora berkata dalam hati. Ia pun kembali ke kamar untuk mengambil kopor, bersiap dengan penerbangan tengah malamnya.

***

Benarlah, saat Luan terbangun keesokan paginya, kamar Aurora telah kosong. Kepalanya terasa pening. Sesungguhnya semalaman itu Luan tidak kunjung terlelap lantaran terus kepikiran niatan Aurora untuk pergi. Bagaimana Luan bisa mencegah? Lampu merah dari Aurora benar-benar jelas terpampang nyata untuknya, dan kini wanita yang disebut istrinya itu telah pergi meninggalkannya.

Bagaimana nasib pernikahan keduanya? Apakah akan seperti itu terus? Bagaimana dengan permintaan Santoso yang terus menanyakan soal cucu? Bagaimana bisa memberikan orang tua itu cucu, sementara sang istri malahan pergi dengan menorehkan kata-kata benci padanya, seakan rasa benci itu sudah mengakar dan tak bisa diubah lagi?

Maka demi mengenyahkan pemikiran yang menyiksa itu, Luan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Dia membuat dirinya sesibuk mungkin, agar pikiran tentang Aurora tidak menghantuinya terus menerus. Seniat itu Luan menyibukkan diri, hingga untuk pertama kalinya dia ikut melibatkan diri dalam meeting mingguan antar karyawan. Meeting mingguan itu sebenarnya cukup dikepalai oleh manajer masing-masing divisi, dimana kemudian para manajer itu yang memberikan laporan padanya selaku General Manajer merangkap Direktur, jabatan ganda yang dipegangnya lantaran Santoso Tamawijaya tengah disibukkan dengan urusan di negara lain. Sebenarnya sama sekali tidak ada kewajiban untuknya terlibat dalam meeting karyawan, namun, demi mengalihkan perhatian, Luan melibatkan diri.

Segera saja Luan memilih divisi public relation sebagai tujuan meeting favoritnya. Sebab, di sanalah Inka. 

I Hate You, HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang