9×5=45

304 34 2
                                    






Bau obat-obatan terasa begitu menyengat dalam Indra penciuman. Tidak nyaman, itulah yang ia rasakan ketika duduk di dalam sebuah ruangan perawatan. Meskipun begitu, ia sama sekali tak mengeluh, demi menemani sosok yang begitu ia cintai selama hidupnya.

Tangan besar nan kasarnya itu, sedari tadi terus menggenggam tangan kecil nan ringkih milik sang istri yang telah terbaring lemah diatas kasurnya.

Tatapan penuh binarnya pun kini sudah berubah menjadi tatapan sendu penuh kelelahan.

Ingin rasanya ia mengakhiri semua rasa sakit yang ia derita, namun apa daya hatinya masih merasa tak tenang..

"Mas... kamu harus janji sama aku.." ucapan lemah itu entah kenapa terdengar menyakitkan. "Seandainya, aku pergi...tolong, kamu jaga Ian ya? Aku mohon sama kamu, jadilah ayah yang baik buat Ian.."

"Kenapa kamu ngomong begitu? Kamu gak akan pergi kemanapun.."

"Mas...apa yang kamu harapkan dari penyakit aku? Dokter aja sudah menyerah.."

"Ini salah aku, harusnya aku dari dulu membawa kamu berobat.."

Wanita itu nampak tersenyum manis di balik masker oksigennya. Di bawanya telapakan tangan itu untuk mengelus wajah tampan sang Suami.

"Jangan nyalahin diri kamu atas apa yang gak kamu lakuin, mas. Bukan salah kamu, tapi ini memang kemauan aku.."

"Kenapa?"

"Aku gak mau buat kamu sedih.."

"Tapi sekarang kamu justru buat aku semakin sedih, kamu tau itu?"

"Maaf...aku ngerepotin ya?"

Gelengan cepat langsung ia dapati dari sang Suami. "Kamu gak pernah ngerepotin sama sekali. Aku rela ngelakuin apa aja demi kamu—demi kesembuhan kamu...

...aku belum siap, kalau kamu pergi sekarang. Kamu tau, Ian gak suka sama aku. Dia lebih suka ibunya yang cantik dan penuh perhatian ini. Jadi kamu harus sembuh, hm?"

"Kamu juga ayah yang baik, mas...kamu jelas tau mana yang terbaik buat anak kamu.."

Ia tau, ucapan itu hanya untuk sekedar menghibur dirinya di keadaan terpuruk begini.

"Kamu harus hidup lebih baik lagi ya mas, jangan terlalu maksain diri buat ngerjain kerjaan kamu. Paham...?"

Ia mengangguk pelan, mencoba sekuat mungkin menahan Isak tangisnya yang bisa saja keluar kapanpun itu.

Meskipun sulit, dan pada akhirnya ia pun menangis di hadapan sang Istri yang terbaring lemah saat ini.

"Mas..." Suara lembut itu kembali memanggil, di tambah usapan yang di berikan wanita cantik itu pada prianya.

"Aku...a-aku bener-bener minta maaf...maaf karna aku belum bisa jadi suami ataupun ayah yang baik buat kamu sama Ian..

....aku gak bisa jaga kamu selama ini, aku minta maaf.."

"Kamu gak perlu minta maaf sama apa yang gak kamu lakuin, mas. Apa yang terjadi sekarang ini udah takdir...aku ikhlas Nerima semuanya, karna selama ini aku udah hidup cukup baik. Di cintai sama kamu, sama Ian, bukannya itu anugerah dari Tuhan? Aku bersyukur bisa membangun rumah tangga sama orang sebaik kamu.."

Kalimat itu entah kenapa terdengar cukup menyesakan untuknya. Apakah benar selama ini ia sudah cukup membahagiakan sang istri tercinta? Ia rasa tidak..

"Mas...aku sayang banget sama kamu.."

"Aku juga, lebih dari apapun yang ada di dunia ini.."

Satu kecupan lembut itu ia berikan di kening sang Istri, kecupan yang biasanya ia beri setiap hari, dan mungkin ini akan menjadi kecupan terakhir untuknya kepada Ghina..

Perfect || Seungsung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang