Part 24

5K 283 3
                                    

Jangan lupa vote dan komennya

Agar aku semakin semangat buat lanjutin cerita ini.

Aku bakal up 4 sekaligus kalau kalian komennya banyak, aku mau lihat gimana antusiasnya kalian nunggu cerita ini.

Happy reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Hari demi hari berlalu, Azka terus saja berjuang untuk bisa meluluhkan hati Aira. Seperti ucapan Azka, lelaki itu akan memantaskan dirinya. Perlahan-lahan sikap Azka juga sudah berubah, hanya saja lelaki itu terkadang tidak bisa menahan emosinya.

Begitu juga Aira yang sedikit demi sedikit sudah bisa menghilangkan rasa takutnya pada Azka, akan tetapi belum sepenuhnya. Memang bukan perkara yang mudah, tapi Aira terus mencoba untuk melawan rasa takut pasca kejadian itu.

Kini Aira semakin menjaga jarak dari Azka. Bahkan ketika Azka mengajak Aira berbicara, Aira menjawab seadanya saja bahkan terkesan singkat dan sedikit acuh. Bukannya Aira masih belum memaafkan lelaki itu, hanya saja terkadang Aira merasa tidak nyaman apabila berdekatan dengan Azka.

Walau sudah melupakan malam kelam itu. Jika terkadang Aira tak sengaja melihat wajah Azka, ia akan mengingat kejadian itu kembali. Dan rasanya sangatlah menyakitkan bagi Aira, membuat dadanya sesak seakan di hantam beban berat. Hatinya pun terasa sakit seolah ada sebuah benda tajam tak kasat mata yang menyayatnya begitu dalam.

Aira juga tidak mau memberikan harapan yang lebih untuk Azka nantinya. Soal menerima tanggung jawab dari Azka, entahlah apa yang harus Aira lakukan. Dia masih belum memikirkan itu, fokusnya sekarang adalah memperbaiki diri dan belajar.

Aira ingin melihat sampai sejauh mana Azka berjuang untuk dirinya. Apakah lelaki itu akan menyerah atau terus berjuang.

"Kamu udah ngambil keputusan soal tanggung jawab itu?" Dinda bertanya kepada Aira.

Kedua perempuan itu hendak pergi ke perpustakaan. Mereka ingin belajar bersama karena beberapa hari lagi Ujian Akhir semester akan dimulai.

Setelah bel masuk kembali berbunyi seusai jam istirahat tadi, ternyata guru yang mengajar di kelas izin tidak mengajar di karenakan ada urusan mendadak. Maka dari itu kedua perempuan berhijab terjulur hingga ke pinggang itu memutuskan untuk belajar bersama.

Menolehkan kepalanya sekilas lalu Aira menggelengkan kepalanya. "Belum, Din."

Perempuan yang lebih pendek dari Dinda itu berkata, "jujur aku bingung. Aku nggak tau harus berbuat apa, perasaan sedikit tidak nyaman ini selalu menggangguku saat aku berada di dekat Azka, Din. Apalagi saat melihat wajahnya, bayangan kejadian malam itu, kembali terlintas di kepala aku." Jelas Aira.

Wajahnya berubah sendu namun setelahnya ia berikan senyum tipis ke arah Dinda yang menatapnya sedih. Seolah lewat senyuman itu ia mengatakan pada Dinda bahwa ia baik-baik saja.

"Untuk saat ini aku nggak mau memikirkan hal itu dulu, Din. Aku juga enggak yakin kalau Azka tetap berjuang sampai aku menerima tanggung jawabnya."

"Suatu saat ada masanya Azka akan lelah, lalu pada akhirnya menyerah dan melupakan soal tanggung jawab itu. Aku nggak mau terlalu berharap, begitu juga aku yang tidak memberikan harapan kepada Azka. Biarlah semuanya berjalan dengan sendirinya, aku serahkan semuanya sama Allah, Din. Dan yang terpenting sekarang adalah aku harus fokus belajar karena sebentar lagi kita akan ujian. Udah itu aja." Jelas Aira panjang lebar.

Dinda merangkul Aira, lalu berkata, "aku salut sama kamu, Ra. Meski Allah memberikan kamu ujian yang bertubi-tubi, kamu tetap sabar, tidak mengeluh bahkan malah semakin mendekatkan diri kepada-Nya." puji Dinda.

AZKAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang